2 min read
Penampilan merupakan sesuatu yang hari ini sangat-sangat diperhatikan. Mulai dari kecantikan, style pakaian, serta gaya hidup dianggap menjadi sesuatu yang penting sehingga mendapatkan perhatian khusus di tengah-tengah masyarakat.
Oleh sebab itu, sebagian orang hari ini berlomba-lomba dalam penampilan agar terlihat up to date dengan tren dan gaya hidup yang sedang populer. Padahal, tanpa disadari aktivitas tersebut merupakan bagian dari sikap hedonisme.
Menurut KBBI, hedonisme adalah pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi merupakan salah satu faktor seseorang dapat terjebak dalam gaya hidup yang hedonis.
Hal ini disebabkan karena tanpa disadari secara perlahan seseorang akan terbawa pada gaya hidup yang tidak sehat dan serba mewah. Contoh kecil saja aktivitas sehari-hari yang selalu diposting dalam media sosial sudah mulai tampak seperti ajang kontestasi gaya hidup: pamer belanja, jalan-jalan, dan lain sebagainya.
Jika seseorang telah terjebak dalam gaya hidup yang hedonis seperti ini maka dapat menimbulkan efek negatif terhadap dirinya dan orang lain. Contoh kecil, seseorang dapat melakukan hal apa pun seperti mencuri dan korupsi agar keinginan hidupnya yang mewah dapat terpenuhi dan dapat tampil dengan fasion yang yang sedang trend di masyarakat.
Jika dilihat dari kacamata sosial, hedonisme merupakan gaya hidup toksik yang dapat menimbulkan kecemburuan sosial. Lantas bagaimana jika prilaku Hedon ini dilihat dari kacamata keislaman?
Hedonisme dalam Islam
Sebagai keyakinan yang perilaku dasarnya berangkat dari keimanan, tentu saja prilaku hedon tidak dapat dijauhkan dari peran keimanan. Iman mempunyai pengaruh penting dalam membentuk kepribadian seseorang. Hal ini adalah gaya hidup, selera, serta sikap terhadap sesama manusia.
Iman juga menjadi tolok ukur seseorang dalam melihat kapastias kepuasan material dan spiritual. Semakin bertambah atau berkurang. Jika kepuasan material bertambah maka dimungkinkan aspek spiritualnya menurun, begitupun sebaliknya.
Sikap hedonis ini telah Allah peringati dalam QS. al-Furqan ayat 67 dan QS. al-Isra’ ayat 27 yang artinya:
“Dan orang-orang yang apabila berinfak tidak berlebihan dan tidak (pula) kikir. (infak mereka) adalah pertengahan antara keduanya.” (QS. al-Furqan :67)
Dalam tafsir Ibn Katsir dikatakan bahwa mereka tidak menghambur-hamburkan hartanya dalam berinfak lebih dari apa yang diperlukan, tidak pula kikir terhadap keluarganya yang berakibat mengurangi hak keluarga dan kebutuhan keluarga tidak tercukupi.
Tetapi mereka membelanjakan hartanya dengan pembelanjaan yang seimbang dan selektif serta pertengahan. Sebaik-baik perkara ialah yang dilakukan secara pertengahan, yakni tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir.
“Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sagnat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. al-Isra’: 27)
Dalam Tafsir al-Misbhah pemboros dipahami sebagai pengeluaran yang bukan haq. Karena itu, jika seseorang menafkahkan/membelanjakan semua hartanya dalam kebaikan atau haq, dia bukanlah seorang pemboros.
Dalam hal ini persaudaraan setan dan pemboros adalah persamaan sifat-sifatnya serta keserasian antara keduanya. Mereka berdua sama melakukan hal-hal yang batil, tidak pada tempatnya.
Hidup Sederhana dan Secukupnya
Berangkat dari kedua ayat di atas sudah jelas sekali bahwa gaya hidup hedon merupakan sesuatu yang dilarang dalam Islam. Hal ini disebabkan karena gaya hidup tersebut lebih banyak mengandung mudharat karena lebih banyak menghambur-hamburkan uang bukan karena kebutuhan melainkan karena gengsi dan hawa nafsu.
Di sisi lain, gaya hidup yang seperti ini juga mengakibatkan seseorang menjadi boros dan tidak dapat mengatur diri dengan baik. Maka dari itu, perlunya mengurangi gaya hidup yang hedon dan dibutuhkan kesadaran diri yang sangat besar untuk hidup yang lebih sederhana, mengeluarkan harta sesuai kebutuhan dan bukan karena hawa nafsu untuk terlihat mewah dan kaya.
Memilih hidup yang sederhana bukan berarti orang tersebut miskin, melainkan lebih pandai mengatur pemasukan dan pengeluaran. Lagi pula dalam Islam, sederhana merupakan bagian dari konsep tawasuth yang berarti di tengah-tengah.
Tidak hanya menjadikan tawassuth sebagai sebuah konsep pemahaman Islam, melainkan langsung mempraktikkan tawassuth dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini dua ayat yang penulis sebutkan di atas selain perintah untuk tidak boros di sisi lain juga mengandung perintah untuk hidup sederhana dan secukupnya.
Tenang saja, hidup sederhana tidak akan membuat seseorang terlihat miskin dan serba kekurangan, melainkan akan memunculkan rasa syukur yang sangat dalam karena dapat menggunakan hartanya dengan baik.
Sebagai penutup, semoga harta yang kita miliki tidak menjadi hijab (penghalang) antara tuhan dan hambanya, melainkan menjadi perantara untuk bertemu dengan Allah SWT. Wallahua’lam [AR]