Nurul Nur Azizah, jurnalis Konde.co pernah menuliskan pengalaman beberapa temannya yang lagi menjalani hubungan toksik.
Gak cuma jatuh cinta, patah hati juga bikin hidup penuh emosi, apalagi jika kita lagi terjebak hubungan toksik. Emosi jadi gak stabil, juga bikin kamu cepat berubah pikiran. Block–unblock-terus block lagi sosmednya.
Suatu waktu, bisa aja kamu bisa curhat panjang-lebar di sosmed. Oversharing atau over-reacting sama hal-hal yang justru seringnya bikin kerugian buatmu sendiri.
Rasanya bisa nano-nano. Di bibir kamu bisa bilang:
“Udah, ngapain mikirin dia!”
Baca Juga: Konstruksi Patriarki Adalah Ujung Pangkal Superioritas Laki-laki
Eh tapi, tiap saat kamu masih suka kepoin akun sosial medianya. Masih suka stalking aktivitasnya apa, atau dia lagi deket sama siapa di akun alter.
Apalagi jika ini toksik, udah, lupakan saja. Walaupun pergi dari hubungan toksik itu tidak gampang. Pelaku seringnya piawai dalam memanipulasi emosi korban dengan menunjukkan sikap yang berubah-ubah (kasar, meminta maaf, penyayang, dst).
Ungkapin sedih saat baru patah hati dan menuntaskan itu harus dilakukan. Itu manusiawi. Tapi jangan lupa, yuk, hidupkan juga harapanmu untuk bisa melangkah ke depan. Move on!
Relasi toksik atau toxic relationship terjadi ketika pasangan punya hubungan yang tidak seimbang, bisa jadi yang satu ingin menguasai yang lain, atau membuat tidak nyaman pasangan lainnya.
Padahal sejatinya, dalam sebuah hubungan, kedua belah pihak harus saling menyayangi, maka ini akan tercipta hubungan yang sehat dan suportif. Namun, apabila banyak melakukan hal toksik di dalamnya hingga kekerasan, maka hal ini timbul menjadi hubungan yang tidak sehat, atau toxic relationship.
Psikolog klinis dari Yayasan Pulih Aenea Marella menyatakan, kondisi toxic relationship adalah suatu keadaan yang sangat tidak menguntungkan kedua belah pihak. Dalam suatu hubungan, seharusnya kedua pasangan mencari-cari dan mendapatkan manfaat (benefit) dari hubungan tersebut. Manfaat tersebut bisa seperti saling mengasihi, menyemangati, dan adanya hubungan timbal balik. Namun, kondisi-kondisi toxic relationship adalah sebaliknya, tidak adanya kondisi yang sehat dalam hubungan tersebut.
Terjalinnya toxic relationship karena adanya hubungan tidak sehat di kedua belah pihak dan hubungan tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam proses interaksi keduanya, banyak didominasi perasaan emosi negatif daripada emosi positif.
Baca Juga: Transpuan Jadi Korban Pacaran Toksik; Sering Dipandang Rendah Pasangannya
“Hubungan toxic biasanya ditandai oleh tidak adanya interaksi yang saling mendukung, menghargai, dan menghormati. Individu yang berada dalam hubungan toxic biasanya merasa lelah secara emosional karena energi mental mereka terkuras akibat banyaknya emosi dan pengalaman negatif itu.” ujar Aenea Marella.
Salah satu faktor penyebab hubungan toksik adalah adanya pengaruh dari ciri kepribadian seseorang. Kepribadian dari kedua pasangan yang bisa saja kurang adaptif (sehat), sehingga sulit bagi mereka untuk mewujudkan hubungan yang sehat, dapat menjadi salah satu faktor berkembangnya hubungan menjadi toksik.
“Hubungan toxic itu terjadi karena faktor karakteristik atau ciri kepribadian individu di dalamnya,” ujar Aenea.
Adapun beberapa contoh karakteristik atau kepribadian seseorang yang memicu adanya hubungan toksik adalah seperti bagaimana seseorang mampu berempati dan memiliki keterampilan dalam hubungan sosial, terampil dalam meregulasi diri dan emosinya, dan bagaimana seseorang menghayati pengalaman masa lalunya, terutama terkait relasi kepada para orang dewasa yang tumbuh bersama dirinya sendiri.
Dalam hubungan toksik, tidak selalu mengenai kekerasan fisik. Hubungan toksik juga bisa berupa kata-kata yang menyakiti, perilaku yang merugikan salah satu atau kedua belah pihak, dan adanya sikap pengabaian seolah-olah tidak peduli dengan pasangannya.
“Bisa jadi kedua belah pihak memiliki ciri kepribadian yang sulit, sehingga menimbulkan distres bagi keduanya maupun orang-orang di sekitar mereka,” kata Aenea.
Baca Juga: Bagaimana Cara Atasi Relasi Toxic? Yuk, Ikuti Diskusi “Pacaran Toxic? No Way!”
Menjalani hari-hari dalam kukungan hubungan toksik juga tidak ada baiknya untuk kedua belah pihak. Adanya suatu hubungan, tentu saja setiap harus berjalan dengan kemauan memberikan dukungan dan hubungan yang sehat. Akan tetapi, hubungan toksik memberikan “racun” dalam hubungan tersebut sehingga memberikan efek atau dapat menimbulkan dampak yang berkelanjutan. Hal ini seperti mengacu kepada kesehatan mental pasangan, munculnya rasa tidak percaya diri, dan memungkinkan ada perasaan trauma untuk memulai hubungan baru.
Namun, dalam hubungan toksik dan hubungan berkekerasan adalah dua hal yang berbeda. Jika hubungan toksik meliputi tidak adanya interaksi yang saling mendukung, tidak menghargai, dan tidak menghormati, hubungan berkekerasan merupakan adanya seseorang yang mendominasi atau berkuasa dalam hubungan tersebut. Dominasi atau relasi kuasa ini digunakan ke dalam ranah negatif. Dipergunakan untuk mengontrol, “mengeksploitasi”, memaksa tanpa persetujuan kepada pasangannya.
Hubungan berkekerasan dapat terjadi ketika salah satu pihak menyalahgunakan relasi kuasa untuk mengontrol pihak lain. Hal ini seperti mengirimkan pukulan, menendang, dan memergunakan senjata lainnya untuk tujuan menyakiti pasangan.
“Maka, adanya pola perilaku dengan penyalahgunaan relasi kuasa ini dapat menandakan kekerasan di dalam sebuah hubungan,” ungkap Aenea.
Pun apabila berada dalam jalinan kasih yang berkekerasan tentunya pengalaman yang tidak sehat untuk pasangan. Menurut Aenea, berada dalam hubungan berkekerasan yang terjadi tidak pernah dalam satu bentuk saja, selalu lebih. Selain menyebabkan efek trauma yang mendalam, pun jika berkekerasan secara fisik dapat mengakibatkan adanya luka atau penyakit fisik, bahkan juga bisa terjangkit kecacatan hingga kematian.
Baca Juga: Asal Usul ‘Toxic Masculinity’ dan Artinya
Berada dalam sebuah hubungan berkekerasan adalah pengalaman traumatis. Ketika berada dalam hubungan seperti itu, biasanya bentuk kekerasan yang terjadi tidak pernah satu bentuk saja. Dampaknya dapat mencakup berbagai aspek dalam diri individu. Secara fisik, bila mengalami kekerasan pasti ada luka atau bisa juga penyakit fisik, bahkan juga bisa kecacatan maupun kematian.
“Secara emosional atau psikologis biasanya timbul rasa takut, kecemasan, gejala depresi, stres pasca trauma, dan bisa juga mengembangkan gangguan psikologis tertentu,” lanjut Aenea.
Selain itu, dampak lain dari hubungan berkekerasan adalah secara sosial ekonomi. Hal ini meliputi dari hilangnya pekerjaan, mengalami penolakan atau stigma buruk dari lingkungan sekitar, dan kesulitan untuk survive dalam proses belajar atau bekerja. Hubungan yang berkekerasan ini tidak hanya merugikan penyintas saja, tetapi merugikan keluarga korban atau lingkungan sekitar. Namun, hal ini dinilai tergantung dari sampai sejauh mana pelaku hubungan berkekerasan tersebut berpengaruh bagi korban sebab menimang dari berbagai faktor. Hal ini meliputi seperti karakteristik atau kondisi korban, peristiwa (siapa pelaku, intensitas, lokasi kejadian, keparahan ancaman kekerasan), dan respons dari lingkungan terhadap peristiwa tersebut.
Hubungan-hubungan yang tidak sehat ini mulai merambat kepada rasa kepercayaan terhadap diri sendiri. Berbagai faktor dari hubungan tidak sehat dapat membuat korban memiliki pandangan yang buruk terhadap diri sendiri, meragukan diri sendiri (termasuk meragukan cara berpikirnya), kurangnya merasa rasa percaya diri, dan merasa harga diri menjadi hancur.
Meski dampak dari hubungan berkekerasan umumnya berjangka panjang, tetapi korban selalu memiliki peluang untuk memulihkan diri. Dengan catatan penyintas mendapatkan dukungan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Semua Orang Bisa Lepas Dari Hubungan yang Tidak Sehat
Pentingnya mengenali tanda-tanda hubungan yang tidak sehat adalah langkah awal dari melindungi diri dari lingkungan yang tidak sehat. Setelah mengetahui tanda-tanda tersebut, setiap individu pada akhirnya bisa memahami hubungan yang tidak sehat dan sampai bisa terjebak di dalamnya.
Sebaiknya, ketika menyadari adanya tanda-tanda hubungan yang tidak sehat, segeralah mencari bantuan orang yang dapat dipercaya. Bila dibutuhkan, carilah bantuan profesional untuk mengelola dampak-dampak yang memungkinkan akan timbul.
“Selain itu, bangun dan pertahankan interaksi di lingkungan pertemanan atau komunitas yang sehat, yaitu saling mendukung, menghargai, menghormati. Tidak perlu banyak secara kuantitas, tetapi cukup bagi Anda untuk menjalin relasi yang sehat dan bermakna,” ujar Aenea.
Baca Juga: Budaya Tempat Kerja Toxic Jangan Dibiarkan, Ini yang Bisa Dilakukan
Interaksi yang sehat dapat menjadi faktor pelindung untuk setiap individu agar tetap memiliki pengalaman dan emosi positif, serta dapat mendukung individu dalam melihat diri sendiri secara positif.
Akan tetapi, hubungan toksik seringkali tidak disadari hingga hubungan terus berlanjut meski ikatan tersebut tidak memiliki manfaat untuk keduanya. Namun, kadang kali sebagai teman ingin rasanya menyadarkan bahwa hal tersebut merugikan korban. Langkah untuk mendesak atau memaksa korban untuk sadar bahwa mereka berada dalam hubungan toksik sebaiknya dihindari, tetap hargai setiap langkah yang mereka jalankan. Akan tetapi, langkah bijak yang bisa dilakukan adalah meyakinkan korban bahwa tidak ada satupun orang yang layak mendapatkan perlakuan yang tidak mengenakkan, tidak ada yang layak menjadi korban, dan tentunya terjadinya suatu hubungan yang tidak sehat bukanlah karena kesalahannya.
“Bila korban adalah individu di usia dewasa, maka segala pengambilan keputusan ada di tangannya. Teman atau pendamping membantu korban melalui kesediaan mendengarkan dan memberikan informasi yang sesuai. Bila memungkinkan, kita juga dapat berdiskusi bersama korban mengenai konsekuensi positif sampai negatif dari setiap opsi yang ada,” pungkas Aenea.