Mubadalah.id – Jum’at 2 Agustus 2024 kemarin saya baru saja menyelesaikan ujian tesis di Fakultas Islam Nusantara Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta. Biasa kami singkat Unusia Jakarta. Melalui tulisan ini, saya ingin merefleksikan, seberapa penting Pendidikan atau sekolah bagi perempuan?
Dalam keluarga, selain kakak ipar, saya mungkin perempuan pertama yang melanjutkan jenjang pendidikan formal hingga magister. Ibuku, hanya sampai kelas 4 SD (dulu disebut SR, sekolah rakyat). Sementara ayahku lulus Pendidikan Guru Agama (PGA).
Tadinya saya pikir cukuplah menjadi seorang sarjana. Toh saya telah melampaui pendidikan yang pernah ditempuh oleh orang tua, atau saudara saya yang lain. Karena selalu saja ada pertanyaan yang menggelitik, buat apa sekolah tinggi-tinggi jika ujung-ujungnya tidak menjadi apa-apa. Tidak punya jenjang karier, atau tuntutan akademis seperti guru atau dosen.
Melalui tulisan ini, semoga saya bisa menjawab seberapa penting sekolah bagi perempuan.
Percaya Diri
Ya, saya merasa menjadi lebih percaya diri untuk bertemu orang lain, atau ketika diminta mengisi kegiatan di lingkungan pendidikan, seperti sekolah, kampus atau pondok pesantren. Minimal ada pengalaman yang bisa saya bagikan, tentang bagaimana proses sekolah yang tak pernah mudah bagi perempuan. Terlebih ketika sudah menikah dan punya anak.
Sekitar Desember tahun 2019, ketika saya diminta untuk memfasilitasi kegiatan Women Writers Conference (WWC) Mubadalah di Cirebon, nyali saya ciut. Bagaimana tidak, melihat daftar hadir peserta yang berlatar belakang dosen, mahasiswa pasca sarjana hingga lulusan doktoral.
Saya merasa gugup tentu saja. Berdiri di depan forum tidak dengan kaki yang tegak. Saya limbung dengan memasang muka siaga, serasa ketegangan menguasai. Berkali-kali tergeragap, dan saya nampak gagap. Meski berkali-kali ditegur Pak Faqih sebagai founder Mubadalah.id, kamu pasti bisa. Berkali-kali beliau membesarkan hati saya.
Melalui pengalaman itu akhirnya sadar, saya harus sekolah lagi jika tak ingin tertinggal dari yang lain. Mereka para peserta Women Writers Conference Mubadalah 2019 itu menjadi pemantik asa, dan saya merasa bangga di antara para peserta itu kini bahkan sudah banyak yang menerima pengukuhan sebagai guru besar atau professor dengan masing-masing keilmuan yang mereka kuasai.
Pengalaman Perempuan yang Tak Mudah
Sekolah di level apapun bagi perempuan tak pernah mudah. Setiap langkahnya selalu dibayang-bayangi oleh pengalaman biologis yang berbeda dengan laki-laki. Bagaimana menghadapi situasi-situasi penting ketika perempuan dalam kondisi menstruasi, hamil, nifas, menyusui atau paska melahirkan.
Saya menyelesaikan sarjana dalam kondisi sudah menikah. Menyelesaikan skripsi ketika sedang hamil hingga usia 7 bulan kehamilan, masih bolak-balik ke kampus dengan mengendarai kendaraan umum. Mengikuti proses demi proses, bimbingan skripsi dan ujian komprehensif sebelum sidang skripsi.
Skripsi belum tuntas, sudah harus memasuki masa kelahiran. Akhirnya pengerjaan skripsi tertunda, dan baru saya lanjutkan ketika sudah melewati masa nifas.
Saya kembali ke kampus dengan mengendarai kendaraan roda dua. Seharian di kampus, dengan menahan payudara yang mengencang, kadang-kadang harus membuang air ASI ke toilet agar baju tidak basah kena rembesan air ASI. Kondisi ini berlanjut hingga wisuda.
Situasi-situasi ini mungkin akan dihadapi oleh para perempuan yang tetap ingin melanjutkan pendidikan, meski sudah berkeluarga. Sehingga mengapa kemudian tidak banyak perempuan berkeinginan melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi.
Tantangan atau Hambatan?
Melansir dari the conversation.com, yang menjelaskan bahwa ada faktor eksternal dan internal yang melatarbelakangi rendahnya pendidikan perempuan.
Faktor eksternal, adalah sangat kurangnya ketersediaan layanan dan fasilitas yang mendukung, sehingga dapat memberikan akses dan kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan. Contoh sederhana fasilitas transportasi publik yang aman, penyediaan layanan day care yang terjangkau, dan subsidi biaya pendidikan atau beasiswa khusus bagi perempuan.
Sementara faktor internal, menurut hasil penelitian terkait, adalah karena masih banyak masyarakat yang memiliki persepsi bahwa pendidikan tinggi untuk perempuan adalah pemborosan.
Biaya yang kita keluarkan untuk menempuh pendidikan anggapannya percuma karena pada akhirnya perempuan belum tentu bekerja dan hanya akan mengurus rumah tangga. Berbeda dengan laki-laki yang terdorong untuk menempuh pendidikan sebagai bekal untuk bekerja menafkahi keluarga.
Masyarakat masih beranggapan bahwa perempuan berpendidikan tinggi rentan menjadi perawan tua, karena waktunya akan tersita untuk bersekolah dan membuat mereka cenderung menunda pernikahan.
Selain itu, masyarakat juga masih beranggapan bahwa perempuan dengan pendidikan tinggi rentan memiliki keluarga yang tidak harmonis. Sebab mereka akan disibukkan dengan pekerjaannya dan tidak dapat mengurus anak serta rumah tangga sebagaimana mestinya.
Masyarakat masih memiliki pola pikir bahwa mengurus anak dan rumah tangga adalah tanggung jawab seorang istri saja, tanpa melibatkan suami. Pola pikir masyarakat inilah yang harus menjadi perhatian dan bersama-sama kita arahkan agar lebih terbuka untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka sendiri.
Tak hanya itu perempuan juga memegang peran penting, jika pada akhirnya mereka memilih untuk melahirkan generasi penerus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan orang tua, khususnya ibu, semakin baik pula pola asuh yang ia terapkan untuk keluarganya.
Jadi, seberapa penting sekolah bagi perempuan menurut teman-teman? []