Sunarti baru saja tiba di satu siang yang terik, di daerah Kota Gede, Yogyakarta, di salah satu shelter khusus pengemudi ojek online (ojol) perempuan ketika saya mampir.
Ia baru saja selesai mengantarkan penumpang pertamanya setelah beberapa order-an untuk mengantar makanan dan barang.
Sunarti tak menampik bahwa pekerjaan yang ia lakukan ini menawarkan fleksibilitas. Ia dapat bekerja di mana saja dan dengan waktu yang relatif longgar. Selain itu, pekerjaan sebagai pengemudi ojek online ini satu-satunya yang menerimanya. Sebab tak ada lagi pabrik yang mau menerimanya karena usianya tak lagi muda dan hanya bermodalkan ijazah sekolah menengah pertama.
Ia kemudian menjadikan pekerjaan ini sebagai harapan untuk menyambung hidup setelah di-PHK dengan alasan efisiensi di salah satu pabrik sepatu saat kondisi pandemi menghimpit.
“Narik dari pukul 10 atau sebelas, nanti pukul satu jemput anak sekolah. Lanjut narik lagi, pulang kisaran pukul delapan malam dan setiap pulang masih harus memasak untuk keluarga,” ucapnya setelah selesai menunaikan salat di tempat yang disediakan oleh shelter tersebut.
Baca Juga: BBM Hingga Tarif Ojol Naik: Beban Berat bagi Perempuan Pelaku Usaha Kecil dan Buruh
Sunarti adalah seorang breadwinner atau pencari nafkah utama dalam keluarga. Selama ini ia menghidupi dua orang anak yang masih duduk di bangku SMP dan sekolah dasar.
Beberapa anak Ojek Online (Ojol) perempuan dititipkan tetangga ketika mereka kerja atau dibawa kerja karena tidak ada yang bisa dititipi.
“Ini memang pilihan, pilihan terbaik dari segala pilihan yang serba terbatas.”
Ranti menimpali, “Kadang ada yang bawa anak kecil juga di jalan atau dititipkan di shelter ini, nggak ada yang mengurus kalau di rumah. Pengorbanan sebagai seorang ibu.”
Garis pembagian wilayah kerja antara perempuan dan laki-laki mungkin telah mengabur seiring perkembangan zaman, tapi kewajiban maternitas—mengurus anak dan rumah—yang dibebankan oleh nilai-nilai patriarki terhadap perempuan, sulit untuk tercerabut dari akarnya, dan perempuan yang bekerja dianggap berpotensi untuk mengganggu tatanan keluarga.
Lain lagi dengan Yanti. Pertanyaan seputar anak dan pengurusan rumah juga sama pernah dialami oleh Yanti. Jika lak-laki pengemudi Ojol selalu dibilang kerja keras kalau pulang malam, kalau Yanti malah dibilang sebagai perempuan tak bertanggungjawab kalau narik dan pulang di malam hari.
Baca Juga: Diputus Kontrak, Dijanjikan Kerja Lagi Usai Lebaran: Akal-akalan Perusahaan Hindari THR Buruh
“Saya juga suka bingung, lha wong saya ndak punya anak, tapi selalu ditanya, kalau saya narik ojek sampai malam anak saya gimana? Gimana kondisi rumah kalau saya tinggal? Coba itu yang bapak-bapak narik ojek, selalu dibilang pekerja keras, kalau saya kok kesannya nggak bertanggung jawab,” ungkap Yanti dengan menggebu-gebu.
Mereka juga malah mengusulkan agar Yanti mencari pekerjaan lain.
“Kadang kami juga ditanyai, apa nggak sebaiknya pilih pekerjaan lain? Sering saya ditanya kok nggak cuci-cuci, atau jualan makanan. Mungkin maksudnya baik ya, di jalan rawan kecelakaan, pelecehan, apalagi Jogja juga ada begal, pokoknya yang lebih aman lah nggak berisiko di jalan. Tapi kan, pikiran yang benar itu gimana caranya bikin lingkungan kondusif dan ada perlindungan buat kita, alih-alih melarang kami bekerja.”
Bias Masyarakat: Bias Algoritma
“Mungkin di satu sisi, ojek online alias ojol menawarkan harapan baru—untuk saya yang di-PHK akibat pandemi Covid-19 dan tak kunjung mendapatkan pekerjaan karena usia yang tak lagi muda dan pendidikan yang serba pas-pasan. Tapi ya tetap, penghasilan saya terpaut jauh dari pengemudi ojek online laki-laki yang lain.” Cerita Sunarti ini bak gayung bersambut dengan keluhan serupa yang dituturkan rekannya yang lain.
Persoalan cari uang di Ojol ini juga mereka hadapi dengan konsumen. Ada konsumen yang tiba-tiba men-cancel, tanpa alasan yang membuat performa mereka jelek.
“Susah dapet penumpang, sering dibatalkan, apalagi kalau calon penumpangnya laki-laki. Kan itu juga pengaruh di aplikasi. Semakin sering saya di-cancel sama calon penumpang, aplikasi mengira saya pengemudi bermasalah. Ya akibatnya semakin jarang juga order-an masuk. Ini juga pengaruh, lho, ke order-an yang lain (makanan dan pengantaran barang),” ujar Yanti yang lebih dulu melakoni pekerjaan ini dibanding Sunarti.
“Dari seringnya cancel-an itu perfoma kita juga turun, untuk kejar bonus juga sulit.”
Baca Juga: Penumpang KRL Bicara: Ini Alasan Transportasi Umum Buruk Bikin Perempuan Menderita
Realitas ini berkolerasi dengan salah satu jurnal yang ditulis oleh Soojong Kim berjudul Algorithimic Gender Bias: Investigating Preception of Discrimination in Automated Decision Making (2024), jurnal ini menjelaskan bahwa teknologi kecerdasan (AI) suatu platform yang dilatih dengan data dapat berpotensi mengandung prasangka dan stereotip.
Automated decision (pengambilan keputusan otomatis) yang didasarkan pada aplikasi dapat bias terhadap grup sosial tertentu maupun perempuan (karena masyarakatnya pun begitu). Ini yang dirasakan Yanti dan kawan-kawan saat ini. Mereka acap kali batal mengangkut penumpang laki-laki hanya karena alasan mereka perempuan. Barangkali penumpang laki-laki merasa gengsi jika pengemudinya perempuan.
“Mungkin gengsi, malu kalau diboncengi sama perempuan. Juga mungkin karena motor yang dipakai pengemudi perempuan cenderung motor bebek, bukan motor besar. Ada yang mengira bahwa kami ini nggak bisa baca peta. Atau karena medsos juga menampilkan banyak ibu-ibu yang sen kanan belok kiri, semua perempuan disamakan seperti itu,” kenang Yanti dengan tertawa.
Namun ada juga laki-laki yang malu karena bukan dianggap muhrimnya.
“Ada juga yang alasannya bukan mahram, kalau yang itu saya paham. Tapi kami ini gesit kok, kami juga menguasai medan.”
Baca Juga: Aksi Anak Muda: ARMY BTS Galang Solidaritas Untuk Korban Tragedi Kanjuruhan
Di era revolusi industri IoT, semua layanan kemudian di-platform-isasi. Inilah fakta yang tak terbantahkan dengan perkembangan teknologi yang turut mengubah bentuk-bentuk hubungan kerja.
“Kami ini mitra, logikanya semakin kita rajin bekerja semakin besar pendapatan kita. Tapi nggak begitu. Kita kan sangat bergantung dengan apa yang aplikasi tawarkan. Lha wong aplikasinya sendiri nggak kasih kita kerjaan, kita cuma makan angin, nunggu kayak sapi ompong,” tutup Yanti.
Madalina Vlasceanu dalam jurnal berjudul Propagation of Societal Gender Inequality by Internet Search Alogarithms (2022) menulis bahwa data yang dilatih berdasarkan bias di dalam masyarakat tentunya akan menghasilkan hasil yang diskriminatif pula, oleh karena itu diperlukan mitigasi bias algoritma.
Saat saya menghubungi Risna, seorang software engineer di salah satu platform ternama transportasi online. Ia menuturkan ada beberapa solusi yang dapat ditawarkan. Pertama, saat melakukan cancel, calon penumpang biasanya diberikan alasan dari cancelation tersebut. Alasan yang mengandung bias gender dapat di-exclude untuk tidak mempengaruhi performa.
Baca Juga: Di Balik Bisnis Platform dan Gig Economy Anak Muda: Ada Potensi Bubble dan Eksploitasi
Kedua, dengan menyediakan platform khusus pengemudi perempuan menarik penumpang khusus perempuan yang lain (yang selama ini banyak dilakukan). Namun, pilihan kedua ini memiliki segi negatif dari segi market scope yang semakin berkurang.
“Dari sisi platform dan pengusaha, ini termasuk dalam hard problem.”
“Kami menyiasatinya pakai akun ganda, bahkan ada yang punya tiga. Karena mustahil kejar bonus dari aplikasi dengan kondisi begini. Ada yang baik hati menawarkan gantian untuk menyetir, biar mereka (laki-laki) yang mengendarai motor, saya jadi penumpang. Tapi saya selalu bilang, yakin sama saya… biarkan saya bekerja,” pungkas Era.
Kolektivitas Minim, Kerentanan Bertambah
Dibandingkan dengan pengemudi ojek online laki-laki, kolektivitas pengemudi ojek perempuan juga dirasa kurang.
“Jarang ada komunitas yang menaungi, karena memang jumlah kami yang sedikit dan kalaupun ada bisa dihitung dengan jari. Padahal, keberadaan paguyuban ini sangat penting untuk menyuarakan aspirasi mereka, mengatasi kerentanan secara kolektif, dan sebagai bentuk solidaritas sesama. Selain karena faktor jumlah, faktor beban ganda yang diemban perempuan pengemudi ojek online ini sering digunakan sebagai alasan minimnya kolektivitas pada pengemudi ojek perempuan,”
Namun, mereka juga merasa gerah, ketika mereka kumpul, ada stigma yang menyatakan jika mereka hanya buang-buang waktu saja, sedangkan jika laki-laki kumpul, dianggap rukun atau guyup.
Kalau ojek laki-laki punya komunitas dipandang keren, guyup, kalau kami jadi kesannya buang-buang waktu. Saya juga nggak tau kenapa gitu.”
Selama ini karena hubungan antara ojek online dengan platform dianggap sebagai kemitraan (independent contractor), hubungan ini tidak diakomodasi oleh ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Hubungan kemitraan di Indonesia pun belum teregulasi dengan baik—bahkan dapat dibilang unregulated dengan melihat nihilnya pengaturan terhadap hubungan kemitraan.
Baca Juga: Kisah PRT 7 Kota: Tidur dengan Anjing, Tak Boleh Pakai Lift Majikan, Pakai Kacamata Dianggap Gaya
Menjadikan ojol ‘mitra’ dalam posisi rentan dengan pemilik kapital. Tidak ada jaring pengaman, tidak ada standar minimum, tidak ada jaminan sosial, dan akan menjadi double burden bagi kelompok rentan dalam hal ini perempuan—seharusnya kerentanan ini dapat diadvokasi melalui komunitas (community based), karena mau mendirikan serikat pekerja pun terhalang oleh regulasi.
Meskipun Badan Perburuhan PBB, ILO mengatakan bahwa pekerjaan gig adalah pekerjaan masa depan dan Jokowi terus mengadang-gadang bahwa gig economy akan menyelamatkan Indonesia. Nyatanya, gig economy seolah membawa kondisi pekerja kembali pada titik permulaan—pada masa-masa pekerja rentan dengan beban kerja yang berat, waktu kerja yang tidak manusiawi, dan jauh dari jaminan terhadap pekerjaan dan penghidupan layak.
Meminjam istilah dari Guy Standing, mereka adalah prekariat.
Lalu, apakah benar ‘the future of work’ seperti ini yang kita harapkan untuk para pekerja perempuan?