Pada 7 Oktober 2023, Hamas—kelompok bersenjata Palestina—melancarkan operasi Al-Aqsa Flood di dalam wilayah Israel. Dalam serangan mendadak tersebut Hamas menembakkan ribuan roket dan menerobos barisan keamanan serta menawan sejumlah warga Israel.
Sejak hari itu hingga saat ini, Israel telah melakukan berbagai kejahatan kemanusiaan dengan dalih pembalasan atas serangan kejutan dari Hamas. Seperti pengeboman, penembakan, serangan udara, pembatasan mobilisasi, hingga pemutusan jaringan internet, listrik, air bersih, dan kebutuhan primer warga sipil Palestina.
Hingga 23 Juli 2024 setidaknya 39.090 orang tewas dan 90.147 orang terluka dalam perang Israel di Gaza. Jumlah korban tewas di Israel akibat serangan yang dipimpin Hamas pada 7 Oktober diperkirakan mencapai 1.139 dengan puluhan orang masih ditawan di Gaza.
Konflik Palestina-Israel: Bentuk Mutakhir Kolonialisme
Media Barat dalam pemberitaannya tak henti-henti membingkai genosida yang dilakukan Israel sebagai bentuk pertahanan dan pembelaan diri dari serangan Hamas. Pada kenyataannya, konflik telah dimulai jauh sebelum 7 Oktober 2023, tepatnya pada Deklarasi Balfour pada 2 November 1917.
Menteri luar negeri Inggris saat itu, Arthur Balfour, menulis surat kepada Lionel Walter Rothschild, tokoh penting komunitas Yahudi Inggris. Surat itu mengikat pemerintah Inggris untuk “mendirikan tanah air bagi orang-orang Yahudi di Palestina” dan memfasilitasi pencapaian tujuan ini. Surat itu dikenal sebagai Deklarasi Balfour.
Baca Juga: Ribuan Nama Rakyat Palestina Korban Genosida Tertulis dalam Poster Aktivis
Karena tidak mencantumkan pemisahan wilayah secara eksplisit, penduduk asli Palestina dan pendatang Yahudi hidup berdampingan yang kemudian meningkatkan tensi diantara keduanya. Dua dekade setelah Deklarasi Balfour, populasi Yahudi terus meningkat. Ini mendorong PBB untuk mengesahkan rencana partisi; Resolusi 181 pada 29 November 1947 yang memutuskan 56% wilayah Palestina—yang sebagian besar pesisir subur—diberikan kepada orang-orang Yahudi.
Keputusan ini sangat merugikan penduduk asli Palestina, terlebih banyak dari mereka yang telah menghuni wilayah tersebut. Menanggapi putusan tersebut, militer Israel terlebih dahulu menguasai wilayah yang dialokasikan untuk mereka. Mereka juga mulai melakukan serangan untuk menaklukkan wilayah di luar perbatasan partisi, memulai perang yang disebut sebagai Peristiwa Nakba.
Peristiwa tersebut mengusir 700.000 penduduk Palestina dari wilayahnya dan hanya menyisakan 23% wilayah—Jalur Gaza dan Tepi Barat—untuk Palestina. Perbuatan Israel adalah bentuk kolonialisme yang disebut settler colonialism, upaya merebut suatu wilayah sehingga para penjajah dapat membentuk komunitas baru. Penjajahan ini umumnya dilakukan melalui genosida atau ethnic cleansing, mengakibatkan penduduk asli terancam kehilangan wilayah tempat tinggal, hak-hak, serta identitas mereka.
Di Mana Perempuan?
Ke mana pun Anda melihat, kekerasan berbasis gender akan selalu menjadi bagian integral dari penaklukan dan penjajahan. Menurut laporan UN Women, kekejaman yang dilakukan oleh Israel sejak 7 Oktober 2023 telah mengakibatkan lebih dari satu juta perempuan diusir dari tempat tinggalnya, 3.000 ibu telah menjanda dan menjadi kepala keluarga, hingga 2 ibu terbunuh setiap jamnya.
Selain itu, dari jumlah korban jiwa yang telah melampaui angka 30.000, 70%-nya adalah perempuan dan anak-anak, menjadikan mereka kelompok yang paling rentan dalam perang Israel di Gaza.
Kanal berita The New Arab membagikan kisah-kisah pengungsi perempuan di Palestina dan kesulitan mereka untuk mengakses produk sanitasi perempuan. Maram al-Sayed—yang melahirkan tiga pekan setelah perang meletus—dan suaminya kesulitan untuk mendapatkan pakaian bayi, perlengkapan mandi, serta pembalut. Meskipun beberapa diantaranya tersedia tetapi dengan harga yang sangat mahal. Akibatnya, ia terpaksa menggunakan potongan kain yang kurang higienis, menyebabkan infeksi bakteri genital dan kemungkinan operasi rahim.
Pengungsi lain, Zainab Omar, tidak menyangka perang akan terjadi. Ia dan keluarganya diungsikan dari Gaza menuju Kota Rafah tanpa mempersiapkan apapun—tanpa pakaian, tanpa uang, tanpa apapun. Serupa seperti al-Sayed, ia juga mengeluhkan sulitnya mendapatkan pembalut dan produk sanitasi perempuan di seluruh pertokoan. Akhirnya ia memotong hijabnya menjadi tiga bagian untuk digunakan sebagai alternatif pembalut.
“Saya terus menangis. Saya takut tertular bakteri saat menggunakan kain sebagai alternatif pembalut, tetapi saya tidak punya pilihan lain,” ujarnya, melansir The New Arab.
Feminisme yang Terkungkung
Sayangnya, dalam melihat konflik tersebut, feminis Barat sering kali gagal menyadari bahwa kekerasan berbasis gender yang dialami perempuan Palestina selalu termanifestasi dalam imperialisme dan kolonialisme, tidak terkungkung oleh aspek geografis tertentu. Mereka terjebak dalam narasi-narasi orientalis yang memandang Israel sebagai “Barat”, “modern”, “beradab”, dan Palestina sebagai “terbelakang”.
Narasi orientalis adalah wacana yang memandang perempuan Timur Tengah sebagai the others (yang lain), sosok yang pasif dan tertindas nilai-nilai keagamaan. Orientalisme digunakan untuk membenarkan diskriminasi terhadap perempuan Timur Tengah. Feminis Barat memaksakan
interpretasi mereka mengenai hak-hak perempuan di Timur Tengah dan hadir sebagai “pahlawan” yang akan “menyelamatkan” saudari-saudari mereka.
Selain itu, propaganda Global War on Terror yang dicetuskan Amerika Serikat menjadi katalisator islamofobia yang tak terkendali. Hingga muncul anggapan semua rakyat Palestina—perempuan, laki-laki, dan anak-anak—sebagai calon teroris pembunuh yang memiliki niat jahat untuk “melemparkan orang-orang Yahudi ke dalam laut”.
Lalu, siapakah feminis-feminis Barat tersebut dan apa yang melatarbelakangi narasi-narasi yang mereka jadikan landasan? Istilah feminis Barat berangkat dari terminologi konvensional Global North dan Global South oleh Brandt Report yang mendikotomikan dunia menjadi dua. Yakni wilayah Utara sebagai wilayah yang kaya dan wilayah Selatan sebagai wilayah yang miskin di tahun 1980-an.
Baca Juga: Menteri Spanyol Ione Belarra Dipecat, Sebut Netanyahu dan Israel ‘Penjahat Perang’
Feminisme Global North mengacu pada gerakan feminis kelas menengah kulit putih yang fokus pada kebebasan dan kepedulian terhadap hak-hak sipil. Karena itu banyak dari nilai-nilainya yang mengacu pada nilai Barat. Sementara itu, feminisme Global South berfokus pada dekolonisasi, keadilan ekonomi, dan pelucutan senjata.
Pendekatan feminisme Barat sering kali berusaha mendekontekstualisasikan keadaan perempuan di belahan dunia lain. Seolah-olah mereka tidak terpengaruh oleh lingkungan makro politik global seperti kolonialisme dan imperialisme.
Persaudaraan Semu
Upaya dekontekstualisasi oleh feminis Barat menghasilkan aktivisme selektif, mereka dengan sadar memilih untuk memperjuangkan isu yang sejalan dengan nilai-nilai Barat. Di sisi lain mengabaikan isu-isu lain yang terkadang lebih penting secara objektif. Bukannya mengecam Israel, Hamas dan nilai-nilai Islam fundamentalis akan ditunjuk sebagai antagonis yang sebenarnya. Padahal perempuan Palestina setidaknya sama, atau bahkan lebih tertindas oleh Israel dibandingkan dengan sesama lelaki Palestina.
Perempuan Palestina dan perempuan Israel pun dianggap berada pada kasta sosial yang berbeda. Dunia hanya memberikan simpati pada perempuan Israel, apakah karena mereka dianggap lebih mirip dengan cita-cita feminis Barat, dan dengan demikian dianggap lebih “layak” untuk diperjuangkan hak-haknya?
Situasi yang dialami oleh para perempuan di Palestina tidak mendapatkan advokasi yang sama kerasnya. Ini memperkuat argumen bahwa dasar-dasar interseksionalitas studi feminisme telah disingkirkan dalam perjuangan isu-isu tertentu.
Isu-isu perempuan tidak dapat ditangani secara terpisah dari politik. Peristiwa Nakba berada di jantung ingatan kolektif, identitas nasional, dan hak-hak nasional. Ia memainkan peran utama dalam perlawanan dan perjuangan untuk menentukan nasib sendiri, termasuk diantaranya nasib perempuan.
Kini, feminisme tampaknya lebih memprioritaskan kesetiaan primordial di atas persatuan demi kemanusiaan, terpecah antara paradigma Utara atau Selatan. Etika feminis transnasional tidak boleh terjebak di antara keduanya, tetapi harus mengalir di antara budaya, bukan pada batas-batas geografis dan batas-batas militer, mengisi kekosongan yang ada. Sebab, jika suatu hak bersifat selektif, maka ia bukanlah hak sama sekali.