Mendengar Pengalaman Para Ibu yang Merawat Anak dengan Sindrom Down

mendengar-pengalaman-para-ibu-yang-merawat-anak-dengan-sindrom-down

Saya sengaja menuliskan ini dari hasil wawancara saya pada tiga pasang ibu dan anak dengan kondisi sindrom Down.

Mereka adalah Petra (38 tahun), Adit (25 tahun), dan Septia (25 tahun), murid dari kelas peer group di Yayasan Peduli Sindrom Down Indonesia (Yapesdi). 

Cerita Petra

Petra dikenal sebagai seorang penyair yang menyuarakan keprihatinannya sebagai perempuan dengan sindrom Down.

Buku puisinya sudah diterbitkan dengan judul Suara Hati. Ia juga merupakan seorang swa-advokat yang aktif dalam memperjuangkan isu perempuan dengan disabilitas intelektual. 

Petra pernah menjadi panelis pada acara ESCAP-22 yang diadakan secara daring. Dalam acara tersebut, ia menceritakan pengalamannya sebagai responden “Legal Needs Survey for woman with intellectual and or psychosocial disabilities” yang merupakan topik utama dalam “Closing The Justice Gap.” Acara ini diisi oleh organisasi disabilitas dari empat negara, yaitu Fiji, Indonesia, Filipina, dan Nepal.

Petra mendapat beasiswa untuk mengikuti Summer School/Camp on Law for Persons with Disabilities di Universitas Galway, Irlandia. Selama belajar di sana, Petra didampingi oleh ayahnya. Petra juga merupakan satu-satunya siswa dengan sindrom Down pada summer school tersebut. Selain belajar, ia berkesempatan untuk membacakan puisi karyanya sendiri yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Pada Desember 2023 lalu, Petra diundang setelah didanai ke Bangkok oleh UN Woman Asia Pacific untuk menjadi panelis yang membahas tema “The 1st Asia Pacific Congress on Woman and Girl with Disabilities”. Ia menjadi salah satu dari 200-an perempuan dengan disabilitas dari berbagai organisasi di Asia Pasifik. Lagi-lagi, ia menjadi satu-satunya wakil perempuan dengan sindrom Down di acara tersebut. 

Baca Juga: ONNI House: Kafe Inklusif Pekerjakan Orang dengan Sindrom Down

Sebagai panelis, ia menceritakan pengalaman dan hambatan yang ia dan kawan-kawannya alami sebagai perempuan dengan disabilitas intelektual. Ia juga mengajak semua lapisan masyarakat untuk bekerja sama menciptakan ruang lingkup yang aman untuk perempuan. 

Meski sudah sering menjadi panelis di acara internasional, Petra tak pernah lupa bahwa apa yang telah ia capai tak lepas dari dukungan penuh sang mama.

“Aku bisa ngomong gini karena si mam sih,” kata Petra pada saya, bersama mamanya, Mama Rince.

Mama Rince pun menceritakan tentang awal mula ketertarikan Petra terhadap bahasa. 

“Karena saya mulai ngajarin Petra baca itu dari umur dua tahun, jadi umur empat tahun dia sudah bisa baca, jadi sebelum dia bisa ngomong. Jadi dia bisa ngomong dan baca itu berbarengan lah. Kalau menulis dia memang agak terlambat, sekitar umur tujuh atau delapan tahun, karena motoriknya. Ya gitu lah, saya beliin dia buku, entar dia baca sendiri, kalau dia gak ngerti, nanti dia juga tanya sendiri,” kata Mama Rince.

Metode yang Mama Rince gunakan untuk mengajarkan Petra membaca yaitu dengan mengibaratkan huruf-huruf dengan hal-hal yang Petra sudah ketahui. Mama Rince pun mencontohkannya

“Huruf yang kayak cacing apa?”

“S,” jawab Petra,

“Kalau huruf yang kakinya ada dua?.”

“H.”

“Jadi ya dimain-mainkan huruf-huruf itu, akhirnya dia hafal dari a sampai z itu dari bermain-main kayak gitu,” lanjut Mama Rince.

Baca Juga: 21 Maret Hari Down Syndrome, Perempuan Down Syndrome Alami Banyak Kekerasan

Kemudian kita membahas tentang buku puisi yang sudah ia terbitkan.

“Petra suka nulis sejak kapan?,” lanjut saya

“Dari kecil,” kata Petra.

“Petra udah pernah nulis apa aja?.”

“Kadang puisi.”

Ia lanjut memilih puisi untuk ia bacakan.

“Oke yang galau deh”, kata Petra.

“’Galau’ karya Petra Angelina. di malam minggu ini tak ada yang menemani/ selalu temanmu/ hatiku selalu bertanya/ kapan aku punya pacar/ ku bertanya kepada cermin/ ku bertanya kepada diriku sendiri/ ku bertanya kepada hati kecilku/ dan mereka selalu menjawab/ kamu terlalu kecil/ mengapa aku selalu kesepian/ tak ada teman untuk menghiburku/ ke mana ku harus melepaskan kegalauan ini Tuhan.

“Terima kasih,” Petra menutup puisinya.

Baca Juga: 21 Maret Adalah Hari Down Syndrome Sedunia Tapi Masih Banyak Persoalan Menimpa Mereka

Di samping itu, Mama Rince mengeluhkan bahwa dirinya kesulitan menemukan orang yang mampu membimbing hobi menulis Petra. Ia mengaku tak bisa membimbing Petra untuk mengembangkan karya-karyanya. Sayangnya, sampai hari ini ia belum menemukan orang yang bisa mendampingi Petra dalam hal ini.

“Saya khawatir banget,” kata Mama Rince, waktu menceritakan tentang kecemasan nya.

Ia sangat cemas jika Petra nanti tak ada yang mendampingi. Ia merasa bahwa Petra harus terus didampingi meski usianya sudah 38 tahun. Perasaan Mama Rince bukannya tanpa alasan, ia mengetahui bahwa Petra beberapa kali pernah ditipu oleh orang asing. 

Ceritanya, Mama Rince mengisi Gopay milik Petra sebanyak Rp.100.000. Tak lama setelah itu, saldo tersebut tiba-tiba habis, tapi Petra tak membeli apa pun. Mama Rince pun bertanya,“kemana uangnya?”. Ia pun akhirnya menyelidiki sendiri dan mengetahui bahwa saldo tersebut diberikan pada orang asing yang Petra kenali secara online.

Orang-orang tak bertanggungjawab ini mulanya merayu-rayu Petra, sampai akhirnya Petra merasa bahwa orang itu adalah pacarnya. Setelah mendapat kepercayaan Petra, orang ini memanfaatkan Petra untuk membelikannya pulsa. 

Namun Mama Rince pun tak mau membatasi pergaulan Petra. Ia tak mau Petra kesepian. Pada saat yang bersamaan juga ia khawatir bahwa akan ada orang-orang jahat yang berniat buruk pada Petra.

Baca Juga: Kerap Dijadikan ‘Vote Getter’, Sudahkah Pemilu Memperhatikan Hak Disabilitas?

Mama Rince berpendapat bahwa harus ada ruang yang aman untuk perempuan dengan disabilitas intelektual hidup. Karena ruang aman tersebut ia rasa belum tersedia, ia enggan melepas Petra untuk bekerja sendiri. Ia yakin, bukan hanya Petra yang ingin dapat pekerjaan, semua orang juga ingin, tapi ia masih belum bisa melepas Petra sendirian meskipun Petra mendapat pekerjaan. Mama Rince merasa bahwa tetap harus ada orang yang mendampingi Petra. Ia lebih baik membiarkan Petra bekerja dari rumah saja.

“Tapi nyatanya ya kayak gini, mau bagaimanapun juga, kita tetap khawatir seumur-umur dia (Petra) kalau kita udah nggak ada, siapa yang dampingi dia? Siapa yang nanyain dia? Saya khawatir takut dia ditipu karena dia terlalu baik, tidak pernah menyangka buruk sama orang. Jadi kalau dia (dihadapkan dengan) orang minta, iya, ini iya, kasih iya. Jadi kita kan khawatir banget,” kata Mama Rince.

Baca Juga: 5 Kali Lebaran Tak Mudik Karena Ongkos Mahal, Saya Kerja Lembur Biar Dapur Ngebul

Mama Rince juga bercerita bahwa dulu Petra sempat tak menerima bahwa dirinya seorang dengan sindrom Down.

“Petra juga nggak mau nerima, nggak, aku nggak mau DS atau Sindrom Down, jadi kamu mau kayak apa?, aku mau kayak biasa-biasa aja, katanya, untuk supaya dia menerima DS aja setengah mati. Ini sudah pemberian dari Tuhan kita harus terima, nggak bisa nggak. Dia tadinya nggak mau terima, merasa dia juga nggak bisa, kenapa-kenapa orang nyakitin aku terus, kenapa gitu loh kenapa orang nggak sayang sama saya, dia tadi juga nggak mau begitu, nggak mau dia DS,” Kata Mama Rince.

Ia pun tak berhenti menyemangati Petra di saat-saat jatuh. Mama Rince mendorong kepercayaan diri Petra dengan mengingatkan hal-hal yang sudah Petra gapai sejauh ini. Dirinya selalu bilang, “Kamu gak usah minder. Kamu kan bisa semua, nulis, berenang, main piano, nari, kamu bisa semua.”

Keresahan Mama Rince tak bisa disepelekan. Beberapa mungkin berpikir bahwa Mama Rince terkesan tak bisa mempercayai Petra, namun pada kenyataannya, menurut CATAHU Komnas Perempuan pada tahun 2023, ada 72 perempuan dengan disabilitas yang mengalami kekerasan. Itu pun dari data lembaga layanan, masih ada kemungkinan bahwa sebenarnya masih banyak lagi korban yang tak melapor.

Cerita Adit

Adit adalah seorang drummer dengan sindrom Down, berasal dari Payakumbuh, Sumatera Barat. 

Kemampuan menabuh drum Adit sebenarnya sudah dikenal oleh masyarakat luas. CNN, Kumparan, Tempo, iNews.id, Liputan6, dan beberapa platform berita lainnya sudah pernah menuliskan tentang kemampuan Adit. Profile Adit pun sudah ditulis di website World Down Syndrome Day.

Mama Emsyarfi menyadari Adit menyukai musik sejak ia berusia tiga tahun. 

“Adit dulu waktu kecil itu menangis itu, nggak tahu sebab. Nggak jelas, apakah sakit juga nggak, kotor juga nggak, lapar juga nggak nangis aja, terus kan kemudian saya coba menyanyi, menghiburnya, mengajaknya berkomunikasi, eh diam, oh mau diajak menyanyi jadi akhirnya seluruh kegiatannya itu saya menyanyi, mas. Kalau makan saya ada nyanyinya gitu kalau mau tidur saya bernyanyi, kalau mandi bernyanyi dan saya merasakan bahwa dia menikmati kalau mendengar irama itu. Oh, ini kesukaannya rupanya, saya merasakan bahwa dia menyukai musik ternyata,” kata Mama Emsyarfi.

Begitu menyadari minat Adit, Mama Emsyarfi mulai memilihkan alat musik untuk Adit mainkan. Pertama ia membelikan kolintang dan mengajarkan Adit untuk memainkannya pelan-pelan. Kemudian ia membelikan harmonika dan gitar, sayangnya Adit ternyata tak cocok untuk memainkan alat musik melodis. Tak habis akal, Mama Emsyarfi mengarahkan Adit ke alat musik ritmis, gendang.

Ternyata Adit cocok!

Adit kecil mulai menabuh gendang kulit kecil. Adit mulai mengekspresikan dirinya dalam tabuhan gendang meski gerakannya masih belum beraturan. Kadang-kadang Adit menyusun benda-benda yang ada di rumahnya seperti galon, panci, baskom, gelas, dan loyang kue seperti susunan drum. Karena Adit dianugerahi dengan tenaga yang luar biasa kuat, ia kerap menabuh gendang dan barang-barang itu sampai rusak.

Baca Juga: Industri Hiburan di Indonesia Minim Libatkan Penyandang Disabilitas, Tiru Korea!

Mama Emsyarfi mulai menabung untuk membelikan satu set drum untuk Adit. Saat Adit berusia 11 tahun, satu set drum itu akhirnya terbeli.

Adit tak langsung pergi ke kursus musik. Ia mempelajarinya secara otodidak lewat menonton VCD bajakan. 

“Jadi kemudian untuk belajar bermusiknya itu Adit menonton dari televisi, zaman itu masih pakai kaset bajakan, belum youtube-youtube-an. Kita belum punya hp android waktu itu jadi belanjanya yang paling banyak itu Adit seminggu itu dia minta beli kaset tuh 3-5 lah kalau nggak salah, oh ya di kaset bajakan sih mas kaset VCD bajakan, jadi saya pasang di kamar itu di kamar itu televisi sama VCD. Diputar VCD jadi dia bermain meniru pemain-pemain drum terkenal itu,” kata Mama Emsyarfi.

Mulai dari tahun 2015, semenjak Mama Emsyarfi memiliki HP Android, ia mulai sering mengunggah video Adit bermain drum di Youtube. Mama Emsyarfi tak sadar kalau video yang ia unggah sudah ditonton oleh banyak orang. Kabar itu pun ia dapat dari guru sekolah Adit.

Guru sekolah Adit ujungnya menawarkan Adit untuk tampil di sekolah. Adit lantas menerima tawaran tersebut! 

Setelah menonton Adit tampil, sang guru menyarankan sesuatu pada Mama Emsyarfi, “Gimana kalo Adit les musik?.”

Mama Emsyarfi sebenarnya sudah sangat lama memikirkan tentang kursus musik, namun ia cemas kalau tak ada kursus musik yang mau menerima anak dengan sindrom Down.

“Awal-awalnya kita tidak mengetahui bahwa kita bisa bawa Adit ini ke sekolah musik, karena bagaimanapun juga semua anak berkebutuhan khusus ini pasti ada minder tersendirinya, mas. Kita kadang-kadang takut di judge orang, kita takut ditolak, kita takut apapun lah, kita serba ketakutan,” kata Mama Emsyarfi.

Baca Juga: Reni Yuniastuti dan Menari dalam Hening: Menyulam Kekuatan Perempuan, Disabilitas, dan Sinema

Daripada larut dalam ketakutan, Mama Emsyarfi membulatkan niatnya untuk datang ke tempat kursus musik, satu-satunya kursus musik di Payakumbuh. Ia langsung mengutarakan niatnya untuk mendaftarkan Adit. Ia juga menceritakan kondisi Adit pada guru musik yang ia temui di sana.

“Oh iya boleh, bu!,” kata sang guru drum padanya. Kata Mama Emsyarfi, guru drum tersebut malah semangat menerima Adit.

“Baginya (sang guru) mengajar anak dengan sindrom Down adalah waktu untuk menguji kredibilitasnya sebagai seorang guru.”

Mama Emsyarfi diminta oleh sang guru untuk menjadi shadow teacher bagi Adit selama kelas berlangsung. Mama Emsyarfi juga setuju dengan usul itu, ia pun sudah memikirkan hal serupa sebelumnya.

Metode Adit untuk belajar musik adalah mendengarkan lalu mainkan. Menurut Mama Emsyarfi, Adit tak cocok dengan teori musik. Sang guru sempat mengajarkan Adit tentang tempo ketukan, namun Adit langsung melipat tangannya dan menaruh drum stick-nya. Metode Adit untuk mempelajari sebuah lagu dengan cara mendengarkan lalu meniru ketukan drum. Ternyata metode itu pun efektif sampai hari ini

Perkembangan permainan drum Adit sangat pesat setelah ikut sekolah musik. Adit hanya perlu mendengarkan satu atau dua kali sebuah lagu, ia langsung bisa mengisi drum di lagu tersebut. Kalau lagunya rumit ia membutuhkan waktu sekitar empat atau lima kali latihan. 

Adit pernah memainkan 20 lagu pada sebuah acara di Payakumbuh. Ia bermain dua lagu lalu dijeda, kemudian ia main lagi. Seperti yang Mama Emsyarfi katakana sebelumnya, kekuatan fisik Adit memang luar biasa. Ia punya banyak stamina.

“Saya hitung-hitungan dengan waktu rasanya. Sekarang usia saya udah 56 tahun, mas. Saya setiap saat selalu bertanya kepada diri sendiri, sampai kapankah saya punya waktu? Sampai kapankah saya sehat? Sampai kapankah saya masih bisa dampingi Adit?,” kata Mama Emsyarfi.

Baca Juga: Pemilu Tak Inklusif Bagi Disabilitas: Tak Ada Braille, Tangga Licin, dan Diabaikan

Sampai hari ini, setiap Adit manggung, semua persiapan Adit masih dipersiapkan oleh Mama Emsyarfi, dari pemilihan lagu sampai selesai manggung. Mama Emsyarfi masih menjadi penyambung lidah untuk Adit dan dunia luar. Ia masih khawatir bahwa tak ada yang memahami Adit. Ia merasa bahwa tidak banyak orang yang bisa paham cara Adit berkomunikasi, apa lagi memahami perasaan Adit.

Sama seperti Mama Rince, Mama Emsyarfi juga khawatir tentang masa depan Adit. Ia ingin Adit bisa diakui sebagai drummer professional. Ia ingin Adit bisa hidup dari kemampuannya bermain drum.

Di sela-sela cerita tentang masa depan Adit, Mama Emsyarfi memberikan pandangannya tentang sebagai seorang ibu dengan anak sindrom Down;

“Saya berpikir hidup mereka sangat berwarna. Hidup mereka tidak kaku seperti yang teman-teman pikirkan. Hidup mereka sangat berwarna. Mereka untuk bisa membaca saja mereka membutuhkan waktu bertahun-tahun bahkan belasan tahun… saya tidak, saya tidak minder punya anak, malah saya bangga walaupun dia ada kurangnya atau apapun, tapi bagi saya itu tidak masalah,” kata Mama Emsyarfi.

Mama Emsyarfi mengatakan bahwa memang perlu kesabaran, dan jangan kehabisan akal untuk menggali bakat orang dengan sindrom Down. Ia menganggap bahwa segala bentuk tantangan yang mereka hadapi sebagai corak-corak warna kehidupan yang perlu disyukuri. Baginya perasaan cemas dan takut mungkin selalu ada dalam benak para orang tua dengan anak sindrom Down, namun ia menegaskan bahwa jangan pernah larut dalam perasaan semacam itu.

Cerita Septia

Septia tidak pernah sekolah. Ia hanya pernah ikut Pendidikan Anak Usia Dini/ PAUD, sampai PAUD tersebut tak lagi menerimanya karena alasan usia. Orang tuanya tak mampu menyekolahkan Septia karena biaya Sekolah Luar Biasa/ SLB terlalu mahal.

“Karena itu ya, saya nggak ikut SLB itu kan mahal ya… 2000 awal saya lupa itu, pendaftarannya Rp 3.000.000, terus bulanannya Rp 300.000, kan lebih mahal dari SMA, itu di tahun itu ya. Di tahun teman dia yang udah pada sekolah dia belum, dulu saya kan nggak kerja. Suami saya cuma sopir. Ya terus terang uang saya yang nggak seberapa itu memang saya lebih pentingin ke kakaknya. Jadi saya ajarin sendiri,” kata Ibu Suwarni, ibunya Septia.

Ibu Suwarni adalah satu-satunya guru untuk Septia. Ia secara rutin mengajarkan Septia berkomunikasi, mengenali huruf, mengerjakan pekerjaan rumah, dan lain-lain. Namun semenjak ia bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT), waktunya terpecah. Ia tak bisa lagi mengajari Septia secara rutin.

Waktu itu, Septia tak bersekolah dan tak punya rutinitas. Ia biasanya ikut Ibu Suwarni bekerja atau berkegiatan. Sisanya ia habiskan di rumah. Ia bahkan tak punya teman sebaya.

Bukannya Suwarni melarangnya bergaul dengan anak-anak di sekitar kontrakan, sebelumnya ia juga sering mengizinkan Septia main di luar. Sampai ia mengetahui bahwa Septia dirundung atau dibully.

Baca Juga: Fatum Ade: Wahai Presiden Baru, Isu Disabilitas Mental Bukan ‘Objek Jualan Politik’

“Soal bully itu hampir semua anak Down syndrome ya, nggak cuman Septia aja. Kita curhat ke beberapa orang tuh, beberapa orang tua mereka sama-sama merasakan juga. Kalau yang Septia rasa… sama anak-anak kecil, sama anak-anak umuran 4-5 tahun gitu tuh masih sayang ya sama dia, tapi mulai umuran 6-7 tahun itu sama dia udah kayak, ya itu karena ada yang ledekin gitu… terus mulai gede dikit sudah nggak mau temenan sama dia. Karena yang gede itu kan nanti kalau anak kecil deket gitu ya ‘eh pacarnya ini, pacarnya Tia, pacarnya Tia, otomatis itu anak kan marah, nanti dia yang jadi sasaran Tia. Tia yang dipukul Apa?! Enak aja aku pacarnya dia! Kejadian itu berkali-kali,” kata Ibu Suwarni.

Setelah kejadian itu, ia melarang Septia bergaul dengan mereka lagi. Namun Septia masih bersih keras kalau yang “teman-temannya” lakukan bukan lah kenakalan, mereka sempat berdebat kecil tentang urusan ini.

“Sudah jangan main sama mereka lagi, mereka itu nakal.”

“Nggak, bu, mereka gak nakal!,” jawab Septia.

Daripada semakin alot, Ibu Suwarni pun mengalah, “Oh ya sudah, dia takut kehilangan teman-temannya, jadi dia bilang gitu.” 

Satu waktu anak-anak itu mampir lagi ke kontrakan Septia, “Ayo Mbak Tia, main, kita main”. Ibu Suwarni mengizinkan Septia untuk main keluar. Firasat buruknya mendorong Ibu Suwarni untuk membuntuti Septia secara diam-diam.

Ternyata benar, tepat di depan mata Ibu Suwarni, Septia disuruh menempelkan kedua tangannya di kepalanya dan anak-anak lain memukulinya habis-habisan, sampai Septia tersungkur.

“Aduh sakit hati saya. Sakit banget bener-bener, kalau saya ingat itu,” kata Ibu Suwarni.

Baca Juga: Rekrutmen CPNS Belum Inklusif bagi Disabilitas, Apa yang Harus Dibenahi?

Dan lagi-lagi, mereka berdebat soal ini. Ibu Suwarni berusaha memberi pengertian pada Septia tentang mana teman yang baik dan yang nakal.

Jawaban Septia masih sama, “Nggak, bu, mereka gak nakal. Mereka mau main aja.”

“Kalau main itu, nggak kayak gitu Mbak Tia. Kalau Mbak Tia dipukulin, jelas-jelas sampai jatuh duduk. Kok Mbak Tia masih bilang mereka itu baik, gimana? Kalau temen yang sayang sama Mbak Tia itu gak mukul, nggak ngata-ngatain,” kata Suwarni.

Suwarni menekankan sekali lagi bahwa ia sangat paham bahwa Septia sebenarnya hanya takut kehilangan teman-teman sebayanya. Septia tak mau kesepian

Pelan-pelan Septia mengerti.

Akibat dari perundungan tersebut, Ibu Suwarni merasa bahwa rumah adalah tempat paling aman untuk Septia. 

Ibu Suwarni masih ingat bahwa Septia sewaktu kecil adalah anak yang riang. Sampai Septia menginjak umur 10 tahun, umur dimana ia mulai dirundung. Dampaknya, Septia kehilangan rasa percaya dirinya. Ia minder. Ia bahkan tak memiliki teman sebaya. Setiap ia bertemu dengan orang baru, ia terbiasa bersembunyi di balik punggung sang ibu.

Ibu Suwarni takut jika Septia terus-terusan sendiri, ia semakin kesulitan bersosialisasi. Ia takut jika pada akhirnya Septia akan terus menyendiri, sembunyi, dan diam, bahkan jika amit-amit Septia diam saja saat dilecehkan.

Baca Juga: ‘Hidden Torture’ Ungkap Penyiksaan Tersembunyi di Panti Disabilitas

“Terus gimana kalau dia begini terus? Saya paling takut itu pelecehan. Itu yang saya paling khawatirkan,” kata Mama Suwarni.

Bicara soal kecemasan, Ibu Suwarni sudah cemas semenjak Septia lahir. Begitu mengetahui Septia lahir dengan kondisi sindrom Down. Ia dan suaminya langsung sepakat untuk memberikan Septia seorang adik. Setidaknya Septia memiliki seorang kakak dan adik yang akan selalu ada untuknya, kelak ia dan suaminya meninggal.

Perasaan takut, cemas, dan semacamnya lumayan memudar semejak Septia menjadi murid dari kelas peer group di Yapesdi. Septia mulai bergabung bersama mereka sejak masa awal pandemi covid-19, sekitar tahun 2020.

Septia sangat senang akhirnya ia bisa bersekolah!

Baca Juga: Para Disabilitas Bicara Soal Pengadilan yang Inklusif Bagi Mereka

Ibu Suwarni mengetahui informasi bahwa Yapesdi membuka kelas gratis untuk orang dengan sindrom Down dan disabilitas intelektual dari Lita Anggraeni di Jala PRT. Kebetulan memang Ibu Suwarni memang sudah bergabung dengan Jala sejak 2017.

Septia banyak berkembang dalam kelas ini. Bukan hanya secara pengetahuan, secara kepribadian pun ia berkembang. Ia mulai kembali mendapatkan kembali kepercayaan diri yang hilang sejak kasus perundungan. Septia tampak lebih ceria dan terbuka. Ia akhirnya punya teman sebaya dengan kondisi sindrom Down. Dirinya pun menikmati dinamika bersama teman-teman yang lainnya. Ia belajar tentang memasak, berjualan, kesehatan reproduksi, krisis iklim, dan lainnya. Ternyata, ia suka melukis!. Ia mulai mendalami seni lukis setiap minggunya, didampingi oleh ayah atau saudaranya. 

Suwarni berharap bahwa Septia kelak bisa hidup mandiri dan tidak disepelekan. Ia sangat yakin bahwa orang dengan disabilitas bisa setara jika diberi kesempatan.

Stop Diskriminasi pada Penyandang Disabilitas

Saya yakin, sebagian dari kita pasti marah, muak melihat para penyandang disabilitas yang dilecehkan dan diolok-olok. 

Saya kira, kita tak perlu data tentang ada berapa banyak video pendek, ada juga yang panjang, di media sosial yang berisi kisah tentang orang-orang mengolok-olok mereka

Entah kenapa para konten kreator, youtuber, influencer, komedian, atau apalah terserah mereka mau melabeli diri mereka dan menjadikan kelompok disabilitas sebagai bahan olokan. Mereka mengajak publik untuk menertawakan itu dan mereka mendapat uang, uang yang pastinya tak sedikit, dari konten yang mereka labeli sebagai “dark jokes”.

Karena kelakuan orang-orang itu, video perundungan terhadap kelompok disabilitas semakin banyak diproduksi. Bahkan akun-akun media sosial yang mengklaim dirinya sebagai akun receh, ujung-ujungnya jadi ikut-ikutan mereproduksi konten perundungan serupa.

Jika anda masih berpikir bahwa menghina dan menertawakan kelompok disabilitas, atau penyandang disabilitas lainnya, adalah bagian dari “dark jokes”, saya yakin anda tak memiliki wawasan tentang apa yang dimaksud dengan istilah itu.

Melihat satu masalah ini saja sudah menunjukan bahwa kehidupan kelompok disabilitas tidak sedang baik-baik saja, karena tak seorang pun di dunia ini bisa memilih ingin lahir dengan kondisi seperti apa. Semua dilahirkan dengan keanekaragamannya, kekhasannya masing-masing. Dan saya percaya bahwa tak ada satu makhluk pun di alam ini yang tercipta sama persis.

Baca Juga: Jalan-Jalan Perempuan #2: Bertemu Pekerja Disabilitas, Lansia, Transpuan dan Lihat Keadilan untuk Mereka

Namun kita ditampar realita bahwa kita tak benar-benar bisa menikmati keragaman ini. Ada kelompok-kelompok yang acap kali dihadapkan dengan pinggirkan: salah satunya kelompok disabilitas. Mereka kesulitan mengakses pendidikan, menjadi objek kekerasan, dikurung di dalam rumah, dibebani dengan stigma buruk, lemah di mata hukum, dan kehilangan hak-hak esensialnya—kenapa? Hanya karena mereka berbeda. 

Kondisi mereka seakan-akan menjadi penghalang untuk mereka berkembang. Tentu, mereka juga punya potensi, keinginan, dan mimpi. Mereka harus memiliki ruang dan kesempatan untuk berkembang sesuai keinginan mereka.

Dalam tulisan ini, saya akan berfokus dengan dinamika kehidupan orang dengan sindrom Down. Mereka kerap diremehkan dalam masyarakat dan dianggap tak mampu menjalani kehidupan sosial, kesulitan mendapat akses pendidikan dan teman sebaya, sulit mendapat pekerjaan karena dianggap tak mampu secara intelektual, dianggap sebagai beban keluarga, dan disepelekan karena dianggap tak mampu melakukan hal yang “mudah”. Di sini, kamu akan membaca secuil potret pengalaman dan perasaan mereka dan ibu mereka selama menjalani hidup.

Cemas dan Harap

Di balik kecemasan dari para ibu. Mereka memiliki kesamaan, mereka cemas akan anak-anak mereka setelah mereka tiada. Bukan tanpa alasan, bukan juga meremehkan kondisi orang dengan sindrom Down, berkaca dari pengalaman yang mereka lalui, bahwa memang ruang inklusif itu lah yang belum hadir dihadapan mereka. 

Menurut kesaksian Suwarni, ia sering sekali bertemu dengan orang dengan disabilitas intelektual yang lahir dari keluarga yang tak mampu secara ekonomi, tak pernah merasakan bangku sekolah sama sekali. Keluarga mereka pun kebingungan harus berbuat apa. Alhasil mereka dibiarkan tak berdaya dan dianggap beban keluarga.

“Tapi memang pendidikan disabilitas intelektual ini mahal sekali, yang dari rakyat bawah mustahil untuk masukan mereka ke sekolah… Soalnya ya itu, biayanya, terus pelatihannya juga nggak terjangkau, terus kayak terapi-terapi itu juga semuanya mahal. Jadi untuk kita itu, kebanyakan ya anak Down syndrome itu dibiarkan begitu aja… Banyak yang dari dari kelas bawah itu sama sekali nggak tahu apa-apa, nggak ngerti ini, ditanyain ini nggak tahu, ini nggak tahu, ngomongnya nggak jelas… karena beberapa anak saya pernah ketemu benar-benar nggak bisa apa-apa dan saya nggak tahu karena mungkin orang tuanya juga nggak ngajarin, ini juga bisa jadi ya karena rata-rata memang (keluarganya berpikir) ‘ah itu anak begini ngapain diajarin pasti nggak bisa’, selalu begitu.” kata Ibu Suwarni.

Ibu Suwarni, Mama Rince, dan Mama Emsyarfi berharap semakin banyak organisasi yang peduli terhadap hak-hak orang dengan sindrom Down. Mereka percaya bahwa jika semua organ masyarakat bisa bekerja mendukung orang dengan sindrom Down, maka lingkungan yang inklusif pun akan tercipta.

Baca Juga: Listen Include Respect: Bangun Dunia Kerja Inklusif untuk Disabilitas Intelektual

Mereka berpendapat bahwa pemerintah juga perlu ikut berpartisipasi dalam pendidikan untuk orang dengan sindrom Down. Mereka bisa membuat banyak pelatihan gratis untuk orang dengan sindrom Down. Untuk membuat pelatihan tersebut pemerintah bisa bekerja sama dengan organisasi yang sudah lama bergelut di bidang ini, seperti ISDI, POTADS, atau Yapesdi.

Selain pendidikan dan pelatihan praktis, mereka berharap pemerintah juga perlu membuka lapangan pekerjaan bagi orang dengan sindrom Down. Setelah menyelesaikan pendidikan dan pelatihan harus menyediakan lapangan pekerjaan untuk mereka, tempat dimana mereka bisa mengaplikasikan apa yang sudah mereka pelajari.

Mereka sangat yakin bahwa orang dengan sindrom Down itu bisa setara. Mereka menyatakan bahwa orang dengan sindrom Down pasti setara jika berada dilingkungan yang inklusif. Sekali lagi, mereka menekankan bahwa masyarakat perlu memberikan orang dengan sindrom Down kesempatan, biarkan orang dengan sindrom Down membuktikan kalau mereka mampu.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Mendengar Pengalaman Para Ibu yang Merawat Anak dengan Sindrom Down

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us