Berumah Tangga dengan Aturan Fikih

berumah-tangga-dengan-aturan-fikih

Mubadalah.id – Betapa kakunya berumah tangga jika harus didekte dengan hitam putihnya hukum fikih. Bukan untuk menghindar dari aturan yang sudah masyrū’ (disyariatkan) tapi justeru mau menempatkan ia di posisi seharusnya. Perlu kita ketahui, aturan yang masyrū’ memiliki 5 hukum; wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. Tidak semua aturan fikih wajib kita terapkan, melainkan ada waktu, kondisi dan ketentuan masing-masing.

Seperti halnya faraid, aturan fikih tentang pembagian harta warisan kita aplikasikan saat diperlukan, misal, mana kala terjadi perselisihan antara ahli waris. Jika ahli warisnya kaya raya semua dan adem ayem ya ndak perlu kita pakai faraidnya.

Sebagaimana berumah tangga yang merupakan lembaga sosial terkecil dalam masyarakat, haruslah berlandaskan atas mawaddah (cinta) dan rahmah (sayang).  Syekh ‘Ali Jum’ah, Grand Mufti Mesir mengatakan dalam kitabnya Fatāwā wa Ahkāmun lil Mar-ati al-Muslimah;

فما تقرر فى الفقه إنما هو لرفع النزاع والخصام بين الناس فى ساحة القضاء

Aturan yang tercantum dalam fikih tidak lain untuk melerai perselisihan dan pertengkaran di antara manusia dalam ranah penghakiman.

Kewajiban Nafkah dalam Fikih

Dalam masalah nafkah pun begitu, secara de facto banyak sekali istri yang memiliki income sendiri bahkan lebih besar dari suaminya. Hasilnya bekerja tidak hanya dinikmati sendiri melainkan untuk membiayai rumah tangganya dan membiayai pendidikan anak-anaknya.

Padahal dalam fikih, kewajiban memberi nafkah terbebankan kepada suami, ya meski kita sesuaikan dengan kemampuannya. Agar tahu lebih banyak tentang beban suami, mari bahas lebih rinci.

Sandang, pangan dan papan. Suami harus menyediakan sandang yang layak dan sesuai dengan cuaca di setiap enam bulan sekali. Saat cuaca dingin istri berhak mendapatkan gamis atau semacam mantel yang mampu melindunginya dari hawa dingin.

Selain itu ia berhak mendapatkan alat-alat bebersih diri dan rumah, bukan hanya sapu dan pel melainkan seperti sikat gigi, sisir dan minya rambut sesuai kebiasaan istri. Istilahnya ya skincare itu wajib. Hal ini  sayyid Abu Bakar Muhammad Syatha’ Addimyathi jelaskan secara rinci dalam I’anatut Thalibin syarah Fathul Mu’in.

Itu masih sandang. Sementara pangan yang harus dikeluarkan oleh suami miskin adalah 1 mud atau setara dengan 675 gram perhari, untuk suami yang ekonominya menengah 1,5 mud dan suami sultan 2 mud, disertai lauk yang layak, seperti daging sekali dua kali dalam seminggu yang harus suami sediakan.

Meski istri tidak menghabiskannya. Minimal tersedia di kulkas dan siap dikonsumsi kapan saja. Satu lagi masalah perdapuran, harus tersedia kitchen set untuk memasak, barangkali istri ingin memasak. Bukan wajib ya.

Istri Berhak Menerima Pakaian Lengkap

Apa cukup di situ? Oh tidak, masih banyak episode selanjutnya. Setiap enam bulan sekali istri berhak menerima pakaian lengkap nan layak sesuai dengan musim di daerahnya. Misal saat musim dingin pakaiannya berbahan tebal, atau outer yang bisa menahan suhu tubuh dari cengkraman hawa dingin. Dan saat musim panas pakaiannya berbahan katun tipis (tapi tidak terawang) adem.

Terakhir papan, dalam Al-Quran menyatakan;

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ

Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu. Janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka,” (QS. At-Thalaq:6)

Artinya, perihal tempat tinggal bisa kita ukur dengan kenyamanan dan kemampuan diri sendiri, yang terpenting bisa melindungi dari terik matahari dan dinginnya angina atau guryuran hujan.

Dan jika istri sulit memilah suaminya kaya, nanggung ataukah miskin, maka hakim yang menentukan dengan ijtihadnya agar istri segera terpenuhi kebutuhannya sesuai kadar kemampuan suami. Ribet kan? Padahal ini semua hanyalah indikator kebahagiaan. Ya kebahagiaan dalam rumah tangga, sebab bahagia itu kasat mata maka harus tertandai dengan yang riil, yakni sandang, pangan dan papan yang memadai.

Siapa yang Harus Menjadi Prioritas?

Lantas apakah benar ibu harus tetap menjadi prioritas anak laki-lakinya? Oke, ini banyak terjadi di kehidupan nyata, seorang suami sampai lalai pada istri karena ‘terlalu’ memprioritaskan ibu. Kita pahami konteks dulu, si ibu anggap sudah mampu secara finansial maka dalam hal ini istri adalah prioritas.

Syekh Musthafa Al-Khin dalam Al-Fiqhul Manhaji ‘Ala Madzhabil Imam Asy-Syafii menyebutkan:

يقدم بعد نفسه: زوجته، لأن نفقتها آكد، فإنها لا تسقط بمضي الزمان، بخلاف نفقة الأصول والفروع، فإنها تسقط بمضي الوقت

Setelah dirinya, suami harus mendahulukan istrinya. Menafkahinya lebih ditekankan karena nafkahnya tidak gugur seiring dengan berlalunya waktu. Berbeda halnya dengan nafkah untuk orang tua atau anak. Nafkah mereka gugur seiring dengan berlalunya waktu.”

Dari teks ini ada poin penting; nafkah istri tidak gugur dengan berlalunya waktu. Kalau nafkah hari ini gak full maka itu jadi hutang yang wajib terbayar di kemudian hari. Nah lo, berapa banyak hutang suami selama ini? Berbeda halnya dengan kewajiban menafkahi ibu, jika hari ini tidak mampu maka lepaslah kewajibannya.

Dalil Nafkah

Para ulama sepakat kewajiban suami memberi nafkah kepada istrinya berdasarkan ayat-ayat berikut; At-Thalaq:7 (kewajiban seseorang yang diberi rezeki lebih menafkahi orang yang sedang sempit harta), Al-Baqarah: 231 (kewajiban seorang ayah memberi nafkah sandang dan pangan), At-Thalaq: 46 (perintah menyediakan tempat tinggal yang layak).

Sedangkan hadis nabi yang membahas nafkah istri banyak sekali,  di antaranya,

ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن بالمعروف

bagi mereka (para istri) ada hak yang wajib atas kalian (para suami) berupa rezeki dan pakaian dengan cara yang bijak”

Selanjutnya para ulama sepakat bahwa suami wajib menafkahi istri selama istri menyerahkan diri pada suami dan mampu untuk bersenang-senang (ah bahasanya ngeri). Syekh Sayyid Sabiq menjelaskan, nafkah istri juga terikat dengan beberapa syarat; pertama, suami dan istri terikat dengan akad nikah yang sah.

Kedua, istri memasrahkan dirinya kepada suami. Ketiga, suami berkesempatan dengan istri layaknya suami istri. Keempat, istri tidak menolak untuk pindah ke tempat yang suami inginkan (tentu dengan pertimbangan skala prioritas). Kelima, keadaan suami dan istri sudah normal secara seksual dan bukan anak di bawah umur.

Intinya kalau bahas batasan nafkah tidak akan selesai tulisan ini dalam seribu kata, karena memang sedetil itu aturan fikih demi mensejahterakan kehidupan istri pasca pernikahan. Ya. Semua itu tujuannya hanya satu, demi terciptanya kehidupan keluarga yang sejahtera.

Akhirnya oleh masyarakat modern yang sangat dinamis seperti saat ini pembagian kerja domestik-publik bergantung pada skill masing-masing individu. Siapa yang bisa dia yang melakukan. Maka tak heran jika banyak istri yang mandiri dan membantu memperkuat ekonomi keluarga. hidup kini by skill bukan by feminim or female. []

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Berumah Tangga dengan Aturan Fikih

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us