‘Cool Girl’, Kebebasan atau Jebakan? Ketika ‘Perempuan Keren’ Lahir dari Stereotipe Patriarki

‘cool-girl’,-kebebasan-atau-jebakan?-ketika-‘perempuan-keren’-lahir-dari-stereotipe-patriarki

“(Cewek) paling suka anime cuma buat caper doang.”

Ketika ada tuduhan di internet bahwa perempuan yang suka anime atau tayangan animasi itu cuma untuk ‘cari perhatian’ ke laki-laki, saya kesal (sedikit), sih. Sebagai anak yang dulu menghabiskan banyak waktu menonton anime, saya heran, kenapa anime dianggap sebagai hobi maskulin? Bahkan baru-baru ini, ada sindiran buat perempuan yang dianggap nggak ngerti ketika nonton Deadpool and Wolverine. Seakan film itu cuma untuk laki-laki yang ‘si paling ngerti Marvel saja. Itu baru anime; tuduhan yang sama juga ditujukan kepada perempuan yang suka sepak bola, otomotif, dan sebagainya.

Sekarang, bayangkan jika ada perempuan yang tidak hanya cerdas secara akademik tetapi juga dinilai ‘seksi’ menurut standar masyarakat. Atau perempuan yang memiliki hobi yang dianggap maskulin, seperti bermain game atau sepak bola, tetapi tetap menunjukkan sisi feminin. Apakah mereka lantas dicap sebagai perempuan yang hanya mencari perhatian laki-laki? Atau justru dilihat sebagai ‘cool girl (perempuan keren)’?

Baca Juga: Kamus Feminis: Stop Mendikotomi ‘Perempuan Baik Versus Perempuan Buruk’

Tentu saja, tulisan ini tidak bermaksud mendiskreditkan perempuan yang memiliki karakter asli seperti itu. Namun, apa jadinya jika karakter tersebut terbentuk dari angan-angan tentang perempuan ideal yang dikonstruksi oleh laki-laki? Bagaimana jika ada perempuan yang, baik secara sadar maupun tidak, berusaha menjadi ‘perempuan keren’ seperti yang diharapkan laki-laki hingga mengorbankan identitas aslinya?

Istilah ‘cool girl’ atau ‘perempuan keren’ adalah konstruksi sosial sarat stereotipe dan ekspektasi yang sering kali dipaksakan kepada perempuan. Cool girl merujuk pada citra perempuan yang terlihat santai, tidak banyak drama, dan mengikuti minat laki-laki. Namun tetap memiliki sisi feminin yang tradisional. Sayangnya, sering kali citra ini mengorbankan jati diri dan kebutuhan pribadi perempuan tersebut.

Awal Kemunculan Karakter ‘Cool Girl

“Laki-laki selalu mengatakan itu sebagai pujian, bukan? Dia perempuan yang keren. Menjadi perempuan keren berarti saya perempuan yang seksi, brilian, dan lucu yang menyukai sepak bola, poker, lelucon jorok, dan bersendawa… Perempuan yang keren tidak pernah marah. Mereka hanya tersenyum dengan malu-malu, penuh perhatian, dan membiarkan laki-laki melakukan apa pun yang mereka inginkan.”

Penggalan kalimat di atas diucapkan Amy Dunne dalam monolog ‘Cool Girl’ yang terkenal. Amy Dunne adalah tokoh utama fiktif dalam novel karya Gillian Flynn berjudul ‘Gone Girl’, yang kemudian diadaptasi menjadi film. Ia menyuarakan kenyataan tentang imajinasi masyarakat atas ‘cool girl’: perempuan keren adalah sosok yang cerdas tapi tetap seksi dan tidak dianggap ‘kutu buku’, pemalu tapi memiliki hasrat seksual tinggi, serta tidak pernah tersinggung oleh lelucon seksis yang merendahkan perempuan. Ironisnya, kini, laki-laki membuat imaji tersebut semakin jauh dari realita dengan menciptakan versi cool girl yang anti-feminisme. Sungguh suatu standar yang sangat mengada-ada, bukan?

Konsep cool girl sebenarnya tidak muncul secara tiba-tiba pada era modern. Ia merupakan evolusi dari stereotipe gender yang sudah lama ada. Di era Hollywood klasik 1930-an, kita dapat melihat kemunculan karakter-karakter perempuan yang disebut ‘one of the guys’ di media. Misalnya Katherine Hepburn yang digambarkan suka golf, bisa menjinakkan macan tutul, dan punya pergaulan luas dalam film ‘Bringing Up Baby’. Atau di era modern, ada tokoh Mikaela yang diperankan Megan Fox dalam film ‘Transformers’. Mikaela bahkan disebut super cool oleh fandom ‘Transformers’ karena selain cantik dan seksi, ia cerdas dan bisa memperbaiki mobil. Mereka dianggap cool girl karena menguasai hal yang dianggap maskulin.

Baca Juga: Stereotip Perempuan Jawa di Film: Perannya Jadi PRT, Dianggap Miskin dan Kampungan

Charlotte Perkins Gillman, seorang feminis, ekonom, dan penulis lebih awal membahas tentang kebudayaan androsentris. Dalam esainya Our Androcentric Culture, The Man Made World pada tahun 1911, Charlotte menyebut, “Kita begitu terpaku pada fenomena maskulinitas dan femininitas. Sehingga kemanusiaan luput dari perhatian. Bahwa satu jenis kelamin telah memonopoli semua aktivitas manusia, mereka menyebutnya ‘pekerjaan laki-laki’. Itulah yang dimaksud dengan frase ‘Kultur Androsentris’.”

‘Kultur Androsentris’ merujuk pada budaya yang berpusat pada laki-laki. Jadi, laki-laki mendominasi dan mengontrol semua aspek kehidupan, termasuk pekerjaan dan peran sosial. Ini berarti bahwa perspektif dan pengalaman perempuan seringkali diabaikan atau dianggap kurang penting. Charlotte mengatakan bahwa semua standar manusia didasarkan pada karakteristik laki-laki. Misalnya ketika kita memuji karya seorang perempuan, kita mengatakan bahwa ia memiliki, “Pikiran maskulin.” Contoh lainnya, laki-laki sering mengatakan perempuan tidak punya selera humor. Padahal yang mereka maksud adalah, “Perempuan tidak punya selera humor maskulin.” Maka semua hal harus sesuai dengan persetujuan laki-laki.

Aktivis queer Yasmin Nair juga menyebut cool girl sebagai ciptaan masyarakat, bukan fase yang dialami beberapa perempuan. “Saya tidak berpikir (perempuan yang memihak laki-laki hingga merugikan perempuan) terjadi karena alasan psikologis. Melainkan karena ini adalah cara patriarki bekerja dalam bentuknya yang paling berbahaya: mengadu-domba perempuan untuk melayani, secara langsung atau tidak langsung, demi memajukan kepentingan laki-laki yang diposisikan sebagai pengasuh dan pemberi nafkah mereka dan, sekarang, sebagai pemimpin mereka.”

Istilah “Cool Girl” Tampak Membebaskan, tapi Sesungguhnya Jebakan

Istilah “keren” atau cool tersebut adalah sebuah konstruksi sosial. Seperti halnya banyak istilah lain yang kita gunakan untuk mendefinisikan karakteristik seseorang. Namun, ketika budaya di sekitar kita terus berubah dengan munculnya tren-tren mikro yang silih berganti, konsep kita tentang hal yang dianggap ‘keren’ menjadi semakin tidak jelas. Perubahan yang cepat ini menciptakan ambiguitas. Sehingga batas-batas yang sebelumnya digunakan untuk mengidentifikasi sesuatu atau seseorang sebagai ‘keren’ menjadi lebih sulit untuk dipahami.

Kalau dilihat dari ekspektasi perubahan akibat kemajuan gender, cool girl bisa dipandang sebagai respon terhadap norma-norma gender tradisional yang lebih fokus pada peran domestik perempuan. Tampaknya ia memberikan kebebasan. Namun, konsep ini sering kali masih terikat pada batasan-batasan yang ditetapkan oleh laki-laki. Juga tidak sepenuhnya membebaskan perempuan dari ekspektasi patriarki. Misalnya bagi laki-laki—oke, lah, kamu suka olahraga bola. Tapi mereka tetap tidak suka melihat perempuan nonton bareng (nobar) pertandingan bola larut malam bersama laki-laki.

Cool girl mencerminkan ambiguitas dalam kemajuan gender. Kebebasan dan pilihan tampaknya lebih luas, tetapi tetap dibatasi oleh norma dan ekspektasi yang ditetapkan oleh masyarakat patriarkal. Terbukti dari munculnya minat perempuan pada hal-hal yang dianggap maskulin. Di satu sisi, perempuan ‘dirayakan’ sebagai one of the guys. Namun di sisi lain, dituduh berbuat ‘keren’ hanya untuk mencari perhatian laki-laki. Padahal tidak keduanya. Mereka tidak bisa membiarkan perempuan bebas menjadi keren menurut versi perempuan sendiri, dan akan membatasi atau memberi tuntutan tambahan yang tidak ada habisnya.

Menjadi Perempuan yang Autentik

Menjadi cool girl untuk diri sendiri bukanlah hal yang salah. Yang berbahaya adalah ketika kita hanya mencapai karakter itu untuk bisa diterima oleh masyarakat yang patriarkal. Karena toh, laki-laki membentuk cool girl supaya mereka bisa mengendalikan perempuan agar tidak protes ketika mereka bermain game seharian, atau melontarkan humor seksis misalnya. Maka, jika ingin melakukan hal-hal yang menurutmu keren, lakukanlah karena kamu suka, dan untuk dirimu sendiri.

Lalu bagaimana memiliki karakter yang autentik?

Simone de Beauvoir dalam bukunya ‘The Ethics of Ambiguity’ menjelaskan situasi perempuan di banyak peradaban. Mereka tunduk pada hukum, dewa, adat istiadat, dan kebenaran yang diciptakan oleh laki-laki. Sering kali nilai-nilai itu dibebankan kepada perempuan untuk diadopsi tanpa memberi kesempatan bagi mereka untuk ikut mendiskusikannya. Meskipun perempuan mungkin dapat membuat beberapa pilihan yang autentik, itu hanyalah pilihan kecil dalam skema besar kehidupan mereka.

Baca Juga: Kamus Feminis: Apa Itu Stereotipe Gender? Perempuan Digeneralisir dan Dibatasi Kebebasannya

Skye C. Ceary dalam bukunya How To be Authentic, Simone de Beauvoir and The Quest for Fulfillment, mengutip pernyataan Simone de Beauvoir. Menjadi autentik bukan hanya melihat ke dalam diri. Ia merupakan sebuah pencarian dan perjalanan terus-menerus menuju pemenuhan diri.

Menjadi autentik hanya untuk orang lain bermasalah karena itu adalah bentuk ketundukan. de Beauvoir sangat prihatin dengan kecenderungan perempuan memusnahkan keinginan menjadi diri sendiri. Mereka harus tunduk kepada laki-laki dan orang lain agar dapat bertahan hidup dalam masyarakat. Baginya, itulah alasan banyak orang tidak bisa memilih jalan hidup mereka—baik karena penindasan sistemik maupun tindakan individu lain.

Tidak ada rumus yang pasti tentang cara menemukan menjadi diri sendiri yang autentik. Kendati demikian, de Beauvoir menganggap penting mencoba menemukan keseimbangan dan mencapai keharmonisan menjadi diri sendiri dengan orang lain.

Mari kita menciptakan ruang yang lebih aman bagi perempuan untuk mengeksplorasi minat dan hobi, serta menjadi keren sesuai versi diri sendiri tanpa takut dihakimi.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
‘Cool Girl’, Kebebasan atau Jebakan? Ketika ‘Perempuan Keren’ Lahir dari Stereotipe Patriarki

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us