Hidup Menghidupi Jamu dengan Adil Gender: Mewariskan Tradisi, Melawan Ketidakadilan

hidup-menghidupi-jamu-dengan-adil-gender:-mewariskan-tradisi,-melawan-ketidakadilan

Jamu adalah minuman tradisional khas Indonesia yang terbuat dari berbagai rempah-rempah dan bahan herbal. Jamu selama berabad lamanya telah diakui khasiatnya untuk menjaga kesehatan, baik kesehatan fisik maupun batin. Proses pembuatan dan distribusi obat melibatkan interaksi budaya yang kuat di kalangan masyarakat. Oleh sebab itu, lebih dari sekadar obat, jamu senantiasa menjadi  bagian integral dari identitas budaya dan pengetahuan tradisional masyarakat Indonesia.

Jamu tidak hanya mencerminkan kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam, tetapi juga merupakan simbol hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan. Sebagai warisan budaya, jamu memiliki dimensi spiritual dan sosial yang kuat.

Jamu identik dengan perempuan yang menjadi pengolah utama racikan rempah-rempah. Keterampilan mengolah jamu biasanya diwariskan dari generasi ke generasi dalam keluarga. Sosok perempuan dan ibu lantas menjadi sentral dalam pewarisan budaya jamu.

Dalam sistem pewarisan pengetahuan yang telah terjadi berabad-abad ini perempuan lebih berperan dalam memproduksi jamu, sedangkan pria berperan mencari tumbuhan herbal bahan baku jamu. Fakta itu diperkuat dengan temuan artefak cobek dan ulekan–alat tumbuk untuk membuat jamu.

Namun, dengan semakin berkembangnya modernisasi, keberlanjutan jamu sebagai warisan budaya takbenda menghadapi tantangan serius. Ketika masyarakat urban mulai menjauh dari tradisi ini, pengetahuan dan praktik terkait jamu berisiko  semakin terpinggirkan. Tanpa upaya serius untuk melestarikannya, budaya jamu kemungkinan akan menemui titik kepunahannya.

Pentingnya Penguatan Gender dalam Pewarisan Jamu

Jamu tradisional, seperti Jamu Madura, telah lama menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat yang menyebar ke seluruh Indonesia. Salah satu nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat Madura adalah konsep “Bu ppa ‘, Babu’, Guru, Rato” atau “Ayah, Ibu, Guru, Pemerintah” dalam padanan bahasa Indonesia.

Frasa tersebut menekankan pentingnya penghormatan kepada  empat pihak ini dalam kehidupan orang Madura. Namun, ungkapan ini menyiratkan pesan bahwa perempuan selalu berada di belakang laki-laki dalam setiap aspek kehidupan.

Mayoritas Jamu Madura diracik khusus untuk mendukung vitalitas dan reproduksi perempuan. Tradisi minum jamu ini berakar pada upaya menjaga kesehatan fisik dan mental, serta mengobati penyakit berdasarkan pengetahuan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. Dalam hal ini, Jamu Madura seperti “Galian Putri” dan “Sari Rapet” diandalkan oleh perempuan untuk meningkatkan performa seksual mereka.

Jamu dalam tradisi Madura berkaitan erat dengan fungsi reproduksi perempuan. Salah satu penggunaan jamu dalam tradisi Madura adalah tatkala perempuan hendak menikah. Mereka diberi minum jamu seperti jemo paraban dan jemo paka’ untuk memastikan vagina tidak basah.

Saat mengandung, perempuan minum jemo cellep (jamu dingin) agar kandungannya kuat, membantu pertumbuhan janin, dan melancarkan metabolisme darah untuk mempermudah persalinan.

Setelah melahirkan, perempuan diharuskan minum jemo babajhe untuk memperlancar produksi air susu, serta jemo ronronan, jemo pakak, dan jemo latek untuk mengembalikan kondisi tubuh seperti sebelum menikah, atau yang mereka sebut sebagai perawan.

Baca juga: Manis di Bibir, Pahit di Ladang: Tantangan Petani Kakao Perempuan di Indonesia

Di sisi lain, laki-laki juga diberikan jamu pada saat-saat tertentu dalam kehidupan mereka. Saat memasuki masa pubertas, mereka minum jemo lanceng, dan saat menikah, mereka diberi jemo anga’. Meskipun ada ritual jamu untuk laki-laki, tanggung jawab utama menjaga kesehatan reproduksi dan seksual cenderung lebih ditekankan pada perempuan.

“Kalau laki-laki, tukang jualan begitu biasanya pegal linu begitu, kalau perempuan biasanya yang sari rapet, macam-macam,” cerita Aisah (54) pedagang jamu di bilangan Jakarta Barat.

Tradisi  konsumsi jamu seperti ini sering kali menempatkan beban bagi perempuan sebagai pihak yang mesti menjaga dan meningkatkan fungsi seksual mereka. Jamu Madura dipercaya dapat membantu mengencangkan vagina (dalam bahasa lokal dikenal sebagai empot-empot), mengatur siklus menstruasi, dan meningkatkan kesuburan. Meskipun khasiatnya dipercaya benar-benar bermanfaat, perempuan harus menanggung beban sosial terkait seksualitas dan reproduksinya.

Tekanan untuk mengonsumsi jamu ini sering kali datang dari ekspektasi sosial yang tinggi terhadap peran perempuan dalam rumah tangga. Perempuan yang tidak memenuhi standar yang diharapkan cenderung dilabeli sebagai “istri yang tidak menurut.” Sementara itu, tanggung jawab untuk menjaga keharmonisan seksual dalam pernikahan seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya dibebankan pada satu pihak.

Narasi tentang budaya  jamu perlu disusun ulang agar tidak menempatkan beban berlebihan pada perempuan. Jamu dapat dan perlu untuk terus diwariskan sebagai bagian dari pengetahuan lokal tentang  kesehatan tanpa merugikan atau membatasi hak perempuan.

Perlu ditegaskan bahwa jamu tidak hanya untuk fungsi seksual atau reproduksi, tetapi juga sebagai penunjang kesehatan secara umum. Promosi jamu harus lebih menekankan manfaat kesehatannya secara keseluruhan dan bersifat adil gender.

Pergeseran Gaya Hidup dan Persaingan dengan uang Besar Industri Kesehatan Modern

Keberlanjutan budaya jamu dewasa ini juga terancam dengan pergeseran gaya hidup yang signifikan di Indonesia beberapa dekade terakhir. Pergeseran tersebut salah satunya ditunjukkan dengan peralihan masyarakat ke produk kesehatan modern dan obat-obatan kimia. Perubahan ini didorong oleh berbagai faktor, termasuk urbanisasi, globalisasi, dan peningkatan akses terhadap informasi dan teknologi kesehatan modern. Akibatnya, peran jamu dalam kehidupan sehari-hari mulai tergeser.

Pergeseran ini juga dipengaruhi oleh perubahan pola konsumsi masyarakat. Dengan semakin sibuknya kehidupan sehari-hari, banyak orang merasa mereka tidak punya waktu untuk meracik atau mengonsumsi jamu secara teratur. Selain itu, stigma terhadap jamu sebagai sesuatu yang “kuno” juga masih berkembang di masyarakat.

Kendati demikian, jamu masih memiliki tempat di hati beberapa kelompok masyarakat, terlebih perempuan. Banyak perempuan yang mengandalkan jamu untuk berbagai tujuan, mulai dari menjaga kecantikan hingga meningkatkan kinerja seksual.

Namun, popularitas jamu tidak dapat dimungkiri mengalami penurunan seiring dengan berkembangnya arus modernisasi yang mendominasi gaya hidup masyarakat saat ini.

“Masih ada yang beli (jamu), tetapi biasanya tukang-tukang jualan, ibu-ibu juga,” tutur Aisah.

Perubahan pola pikir dan gaya hidup ini juga membawa tantangan bagi para peramu dan penjual jamu tradisional. Mereka harus bersaing dengan produk kesehatan modern yang sering kali didukung oleh kampanye pemasaran besar-besaran. Selain itu, minimnya edukasi tentang manfaat jamu di kalangan generasi muda turut memperburuk situasi, menyebabkan mereka kurang tertarik untuk melestarikan tradisi ini.

“Anak muda gak pernah, jarang,” imbuhnya.

Inskripsi dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO

Pada tahun 2021, budaya sehat jamu resmi diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb). Pengakuan ini merupakan hasil dari pengajuan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Indonesia. Inskripsi ini bukan hanya menegaskan pentingnya jamu sebagai bagian dari warisan budaya Indonesia, tetapi juga membuka peluang bagi pelestarian dan pengembangan tradisi ini di masa depan.

Pengakuan dari UNESCO memberikan legitimasi internasional terhadap praktik jamu, menjadikannya lebih dari sekadar tradisi lokal. Hal ini merupakan pencapaian besar yang dapat meningkatkan kesadaran masyarakat, baik di dalam maupun luar negeri, akan nilai budaya dan kesehatan yang terkandung dalam jamu. Dengan pengakuan ini, diharapkan akan ada upaya yang lebih terstruktur dan berkelanjutan untuk melestarikan jamu, baik dari pemerintah, komunitas, maupun sektor swasta.

“Kita pernah mengalami momen ketika kehidupan seperti berada pada titik terendah ketika pandemi melanda. Tapi ternyata, produk kebudayaan bernama jamu ini menjadi salah satu resep yang menyembuhkan, menguatkan, dan menyatukan kita,” jelas Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid.

Meski telah diakui sebagai WBTb, masih ada banyak tantangan dalam pelestarian jamu. Pengakuan internasional ini harus diikuti dengan langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa tradisi jamu tetap hidup dan berkembang. Seperti mendokumentasikan pengetahuan tradisional tentang jamu, melatih generasi muda, dan mengintegrasikan jamu ke dalam sistem kesehatan yang lebih luas.

Selain itu, pengakuan ini juga harus dimanfaatkan untuk menggalang dukungan masyarakat dalam melestarikan jamu. Pemerintah dan komunitas mesti bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi para peramu jamu tradisional sehingga mereka dapat terus memproduksi dan menjual jamu dengan cara yang berkelanjutan.

“Pelestarian jamu membutuhkan optimalisasi keterlibatan bersama dan masyarakat dalam pengelolaan kolektif yang partisipatif,” tambah Hilmar.

Jangan Cepat Puas di Atas Kertas

Pengakuan UNESCO terhadap jamu sebagai Warisan Budaya Takbenda merupakan langkah penting dalam pelestarian tradisi ini. Meski begitu, pengakuan hanyalah langkah awal. Untuk memastikan bahwa jamu tetap lestari dan terus diwariskan ke generasi berikutnya, diperlukan dukungan yang kuat dari seluruh lapisan masyarakat.

Penting bagi masyarakat untuk menyadari bahwa melestarikan jamu bukan hanya tentang menjaga warisan budaya, melainkan juga mempertahankan alternatif kesehatan yang alami dan berkelanjutan.

Namun, penting juga untuk memastikan bahwa pelestarian jamu sejalan dengan upaya mengatasi ketidakadilan gender yang ada selama ini. Oleh karena itu, penguatan gender harus menjadi bagian integral dari setiap inisiatif pelestarian jamu. Dengan mengedukasi masyarakat tentang kesetaraan gender dan menyusun ulang narasi budaya yang lebih adil, perempuan tidak hanya akan menjaga tradisi ini tetapi juga memperkuat posisinya dalam masyarakat.

Foto: Luthfi Maulana Adhari/Konde.co

(Artikel ini merupakan kerja sama Konde.co dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi)

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Hidup Menghidupi Jamu dengan Adil Gender: Mewariskan Tradisi, Melawan Ketidakadilan

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us