Langkah Pertama Menjadi Ibu Pekerja: Pelajaran Empat Hari Jauh dengan Anak

langkah-pertama-menjadi-ibu-pekerja:-pelajaran-empat-hari-jauh-dengan-anak

Mubadalah.id – Kegiatan Eco Peace Semarang merupakan kegiatan yang sudah lama aku tunggu, karena sebagai ibu pekerja ini pertama kalinya aku merasa waktunya untuk melakukan perjalanan bekerja ke luar kota lagi.

Akan tetapi ketika sudah terlibat dalam kegiatan tersebut, lalu berhadapan dengan kenyataan yang harus berjauhan dengan anak. Rasanya seperti kehilangan navigasi emosi dengan sangat tiba-tiba. Namun begitulah ya bund rasanya jadi ibu pekerja.

Selama 10 bulan setelah aku melahirkan, jujur ini pertama kalinya aku merasakan benar-benar harus jauh dengan anak. Meski biasanya aku pergi seharian tapi malam kami para ibu pekerja akan berjumpa kembali dengan anak.

Empat hari berkegiatan di Semarang, aku harus meninggalkan anak, yang setiap hari selalu tidur bersama, melakukan dbf tentu ini berat. Dalam momen-momen perpisahan itu, aku belajar banyak tentang diriku, peranku sebagai ibu. Lalu bagaimana menyeimbangkan antara pengasuhan dan tanggung jawab dari jauh.

Rasanya Jadi Ibu Pekerja

Semua ibu pekerja pasti paham saat pertama kali kita menyandang gelar sebagai ibu. Dunia kita seolah terbelah menjadi dua. Di satu sisi, ada si kecil yang perlu kita kasihi sepenuh waktu. Di sisi lain, ada panggilan kerjaan yang sudah lama kita tekuni.

Keputusan untuk kembali bekerja setelah melahirkan tentu bukanlah hal yang mudah. Bagi kebanyakan ibu, itu adalah perjalanan emosional yang penuh tantangan dan harapan.

Mengulik ingatan: dalam beberapa kegiatan pelatihan, kita pasti mengawali dengan menyatakan harapan dan kekhawatiran. Di sana beberapa teman yang sudah menjadi ibu pasti menyatakan kekhawatiran mereka akan kehidupan anaknya di rumah.

Mereka khawatir bagaimana anaknya akan makan, apakah anaknya terlalu banyak main sehingga melupakan tidur siangnya, atau anak mungkin akan marah setelah mengetahui ibu pergi bekerja. Sampai pada titik di mana hari ini aku juga merasakan hal yang sama.

Empat hari berjauhan dengan anak, pastinya aku sebagai ibu pekerja rasakan hanya khawatir, namun balik lagi ternyata khawatir hanya sebuah rasa yang belum tentu terjadi. Apalagi ada suami, ayah dari anakku yang pastinya ia juga mau yang terbaik untuk anaknya.

Sesekali Merasa Apakah Aku Ibu yang Jahat?

Di hari pertama semua terasa baik-baik saja, aku menjalankan aktivitas sesekali aku memastikan via Whatsapp apa yang sedang dilakukan anakku. Namun di malam ke dua ternyata ASI perah yang sudah aku bekali untuk anakku habis.

Malam itu bayi 10 bulanku ini mulai rewel, akhirnya kami (suamiku, aku, dan mertua) memutuskan untuk memberi susu formula, dari situlah rasa bersalah mulai muncul.

Rasa bersalah tentang memberi susu formula juga mungkin sering dialami banyak ibu, terutama jika sebelumnya ibu pekerja tetap berkomitmen untuk memberikan ASI Eksklusif. Di situ aku juga merasa seolah tidak memenuhi harapan diri sendiri atau standar sosial.

Namun, dari sana aku mulai berefleksi penting untuk aku ingat bahwa setiap ibu dan bayi memiliki kebutuhan unik. Memberi susu formula bisa jadi pilihan yang tepat, terutama dalam situasi tertentu.

Fokuslah pada kesehatan dan kebahagiaan bayi, serta kesejahteraan diri sendiri, itulah tujuan yang ingin kita capai. Mengakui perasaan ini dan mencari dukungan bisa membantu meredakan rasa bersalah yang muncul.

Suami dan Mertua yang Mau Terlibat dalam Pengasuhan Itu Privilege!

Sebelum kegiatan Eco Peace Semarang, aku melakukan negosiasi dengan suami dan mertua. Aku ingin mendengar pendapat mereka serta memastikan kesiapan mereka dalam pengasuhan bayi selama aku terlibat dalam kegiatan tersebut.

Kebanyakan istri mungkin tidak ingin melibatkan mertua dalam pengasuhan anak, karena takut beda dalam pola asuh, tetapi bagiku seorang ibu yang bekerja, mertua adalah kunci terbaik yang bisa aku libatkan selain suami.

Aku sangat mengapresiasi bagaimana mertuaku mau terlibat dalam pengasuhan dengan tetap mengikuti aturan yang sudah aku dan suami bangun untuk anak kami. Masalah makan, jam tidur, waktu bermain, semuanya selalu ia tanya terlebih dahulu tanpa mendahului.

Dulu, bahkan pernah terpikirkan setelah punya anak aku ingin tinggal pisah dengan mertua, tapi memang situasi saat belum punya anak sangat berbeda saat status berganti menjadi ibu yang bekerja. Banyak hal yang harus kami korbankan dan  pikirkan matang-matang.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika aku hanya tinggal berdua dengan suamiku, apalagi kami berdua sama-sama bekerja. Jadi bund, jangan terlalu keras sama diri sendiri ya.

Kita tentu boleh melibatkan orang lain dalam mengasuh anak, meminta bantuan kepada mertua, saudara, membayar orang untuk mengasuh anak, semuanya bisa jadi pilihan terbaik. Semua itu bukan karena kita jahat, tapi karena kita adalah manusia yang punya energi terbatas.

Meski Fisik dalam Pekerjaan, tapi Keluarga Selalu dalam Pikiran

Apakah jadi ibu pekerja itu terlalu egois, yang hanya memikirkan diri sendiri tanpa memprioritaskan keluarganya? Tapi yang aku rasa jadi ibu yang bekerja bukan hanya berpikir tentang karir.

Tapi yang ada dalam otakku adalah apakah pekerjaan ini berdampak untuk masa depan anakku kelak? apakah pekerjaan ini punya nilai positif bagi lingkungan keluargaku? Dan beragam pertanyaan lainnya yang tentunya selalu aku kaitkan dengan keluargaku.

Sekali lagi aku sangat bersyukur bukan hanya keluarga yang memahami peranku sebagai ibu pekerja, tetapi tempat kerjaku juga sangat paham bagaimana kondisi perempuan ketika sudah menjadi ibu. Ini adalah hak istimewa yang mungkin banyak ibu pekerja idamkan.

Pada akhirnya, menjadi ibu pekerja bukan hanya tentang membagi waktu antara karir dan keluarga. Ini adalah proses belajar untuk menyeimbangkan kedua peran, merangkul tantangan, dan menemukan kebahagiaan baik di kantor maupun di rumah.

Bekerja Bukan Hanya Karena Kekurangan Uang

Dalam menjalani kehidupan, kita semua sepakat bahwa bekerja bukan sekadar soal uang. Bekerja adalah perjalanan yang penuh makna, sebuah kesempatan untuk belajar, membangun koneksi, dan menemukan prinsip serta nilai-nilai dalam hidup kita.

Setiap kita berada di tempat kerja bukan hanya tentang menyelesaikan tugas, tetapi juga tentang menjalin hubungan dengan rekan-rekan, belajar dari pengalaman, dan mengembangkan diri.

Ada kalanya, dalam kesibukan itu, kita menemukan momen-momen berharga yang memberikan kebahagiaan. Bonus dari semua usaha dan dedikasi kita dalam bekerja seperti memberi reward.

Memberi hadiah kecil untuk anak, suami, mertua, atau pengasuh bisa menjadi cara untuk mengungkapkan rasa syukur atas dukungan dan cinta yang ibu pekerja itu terima.

Melalui kerja keras dan pencapaian kita, kita tidak hanya membangun kehidupan yang lebih baik untuk diri sendiri, tetapi juga untuk mereka yang kita sayangi.

Ini adalah siklus kebahagiaan yang saling menguatkan, di mana setiap usaha kita mendatangkan manfaat, tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga bagi orang-orang di sekitar kita. []

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Langkah Pertama Menjadi Ibu Pekerja: Pelajaran Empat Hari Jauh dengan Anak

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us