Refleksi ‘Peringatan Darurat’: kekuatan media sosial dalam memobilisasi demokrasi

refleksi-‘peringatan-darurat’:-kekuatan-media-sosial-dalam-memobilisasi-demokrasi

Agustus 2024 kemarin, mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia memperlihatkan kekuatan suara rakyat dengan turun ke jalan, berkumpul di depan Gedung DPR RI, Jakarta. Mereka menyuarakan ketidakpuasan terhadap keputusan DPR yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi(MK).

Aksi yang dijuluki gerakan “peringatan darurat Indonesia” ini awalnya berkobar di media sosial, lalu berubah menjadi aksi nyata yang menggambarkan kekecewaan mendalam terhadap tindakan politik oknum petinggi negara yang dianggap mengancam demokrasi.

Peran media sosial dalam mobilisasi gerakan ini tidak bisa diabaikan. Tagar seperti #peringatandarurat dan #kawalputusanmk dengan cepat menjadi tren di berbagai platform.

Ini membuktikan kekuatan digital dalam menggalang dukungan dan memobilisasi tindakan kolektif. Media sosial, dalam hal ini, tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai katalis yang mempercepat penyebaran ide-ide kritis dan ajakan bertindak.

Ruang publik dalam mobilisasi demokrasi

Teori ruang publik yang diperkenalkan oleh filsuf Jerman, Jürgen Habermas, menawarkan kerangka yang berguna untuk memahami bagaimana media sosial telah berkembang menjadi arena diskursif penting dalam demokrasi modern.

Dalam konsep ruang publik, Habermas menggambarkan sebuah ruang, tempat individu dapat berkumpul untuk berdiskusi dan membentuk opini bersama, bebas dari intervensi negara atau kekuatan ekonomi.

Di era digital, media sosial telah menjadi perwujudan ruang publik ini. Di dalamnya, berbagai suara dan perspektif dapat muncul dan berkembang secara luas.

Dalam konteks gerakan “Peringatan Darurat,” media sosial memainkan peran sentral dalam menyebarkan pesan, menggalang dukungan, dan memobilisasi aksi massa. Platform-platform ini memungkinkan pembentukan komunitas virtual yang melintasi batas-batas geografis dan sosial, menciptakan arena yang memungkinkan diskusi politik tidak lagi dimonopoli oleh elite, tetapi terbuka bagi siapa saja yang memiliki akses internet.

Lebih dari sekadar alat komunikasi, media sosial berfungsi sebagai katalisator yang mempercepat penyebaran ide-ide politik dan memungkinkan reaksi cepat terhadap isu-isu yang muncul.

Dalam gerakan “Peringatan Darurat,” warganet memanfaatkan Twitter dan Instagram untuk menciptakan narasi bersama, membangun solidaritas, dan mengoordinasikan tindakan kolektif secara efektif. Ini menunjukkan bagaimana media sosial telah merevolusi cara masyarakat berpartisipasi dalam demokrasi, menjadikannya lebih inklusif dan dinamis.

Memperebutkan kekuasaan di ruang digital

Mobilisasi digital yang terjadi melalui gerakan “Peringatan Darurat” memperlihatkan bagaimana kekuasaan dapat diperebutkan di ruang digital.

Dengan mengacu pada teori kekuasaan oleh ahli sejarah dan filsuf Prancis, Michel Foucault, gerakan ini bisa dipandang sebagai bentuk resistensi terhadap otoritas negara yang berusaha mengontrol narasi politik. Ratusan mahasiswa yang turun ke jalan adalah hasil dari mobilisasi daring. Ini menegaskan bahwa media sosial memiliki kekuatan besar untuk menggerakkan massa dan memengaruhi proses politik secara langsung.

Dalam konteks ini, media sosial berfungsi sebagai medan pertempuran baru di mana kontrol atas narasi politik menjadi sangat penting. Foucault mengungkapkan bahwa kekuasaan tidak selalu berjalan dari atas ke bawah, tetapi bisa juga muncul dari bawah melalui resistensi yang menantang otoritas yang ada. Gerakan “Peringatan Darurat” adalah contoh konkret bagaimana kekuatan ini diekspresikan melalui platform digital.

Lebih jauh lagi, gerakan “Peringatan Darurat” juga menggambarkan konsep Foucault tentang ‘disiplin’ dan ‘pengawasan’ dalam era digital. Media sosial memungkinkan pemerintah untuk lebih mudah memantau aktivitas kolektif yang muncul secara daring, sehingga dapat mendeteksi pola komunikasi dan strategi yang digunakan oleh para aktivis.

Hal ini memberi pemerintah peluang untuk mengidentifikasi, mengantisipasi, dan bahkan mengintervensi mobilisasi massa sebelum aksi nyata terjadi, dengan tujuan meredam potensi ancaman terhadap stabilitas politik.

Solidaritas digital

Dari sudut pandang sosiolog Prancis, Émile Durkheim, gerakan “Peringatan Darurat” ini mencerminkan solidaritas mekanis—individu-individu bersatu berdasarkan kesamaan nilai dan tujuan.

Solidaritas mekanis, yang biasanya ditemukan dalam masyarakat yang lebih sederhana, diadaptasi dalam konteks digital modern. Ini memungkinkan terciptanya ikatan yang kuat di antara kelompok-kelompok dengan tujuan yang sama, meskipun mereka tidak pernah bertemu secara fisik karena adanya keterhubungan virtual.

Media sosial bertindak sebagai katalisator yang memperkuat ikatan sosial di antara para peserta gerakan, menciptakan rasa kebersamaan meskipun mereka berada di lokasi yang berbeda.

Lebih jauh, media sosial mempercepat penyebaran informasi dan memungkinkan berbagai individu untuk berpartisipasi dalam dialog yang memperkuat solidaritas.

Dalam ruang digital, narasi bersama dapat dibentuk lebih cepat dan lebih luas daripada melalui media tradisional, memungkinkan partisipan gerakan untuk mengkonsolidasikan identitas kolektif mereka.

Ini sejalan dengan pemikiran Durkheim tentang pentingnya nilai dan norma bersama dalam menciptakan solidaritas sosial. Dengan kata lain, media sosial menjadi platform utama untuk artikulasi dan penguatan nilai-nilai ini.

Selain itu, figur publik dan influencer di media sosial berperan krusial sebagai “aktor” yang memperkuat kohesi kelompok dengan membangun narasi kuat yang kemudian memicu aksi nyata, seperti demonstrasi di depan Gedung DPR RI.

Screenshot.

Ancaman disinformasi

Meskipun media sosial dapat memperkuat partisipasi politik, ia juga membawa tantangan yang signifikan, seperti polarisasi dan disinformasi, yang dapat mengancam stabilitas politik dan demokrasi.

Disinformasi, manipulasi opini publik, dan polarisasi adalah beberapa dampak negatif yang muncul dari penggunaan media sosial sebagai ruang publik. Dalam konteks ini, penting untuk menyadari bahwa meskipun media sosial membuka peluang baru untuk partisipasi demokratis, ia juga dapat menjadi arena konflik dan ketidakstabilan jika tidak dikelola dengan bijak.

Dalam konteks gerakan “Peringatan Darurat”, media sosial telah berperan seperti api yang menyalakan semangat perlawanan di tengah krisis demokrasi di Indonesia dengan menggerakkan massa dalam era digital. Ini menunjukkan pentingnya peran media sosial sebagai ruang publik baru.

Namun, api tersebut juga membawa risiko, yakni polarisasi, disinformasi, dan pengawasan mengintai, yang siap merusak fondasi demokrasi. Mitigasi atas risiko-risiko ini yang akan menentukan apakah ia menjadi alat pembangun demokrasi atau justru penyebab kehancurannya.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Refleksi ‘Peringatan Darurat’: kekuatan media sosial dalam memobilisasi demokrasi

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us