ALTSAQAFAH.ID – Pada 1986, Mustafa Mahmud menulis sebuah buku berjudul Hiwar Ma’a Shadiqi al-Mulhid. Buku tersebut, sebagaimana judulnya, adalah kumpulan dialog yang terjadi antara Mustafa dan teman ateisnya.
Dalam salah satu dialog, temannya berkata dengan nada mengejek:
“Baiklah, Tuhan itu ada dan bukti keberadaannya adalah hukum kausalitas. Setiap produk meniscayakan sosok yang memproduksi. Setiap yang ada meniscayakan sosok yang mengadakan. Ukiran mengindikasikan adanya pengukir. Tenunan menunjukkan adanya penenun. Dengan logika ini, alam semesta tentu menjadi bukti terkuat akan keberadaan pencipta. Saya percaya akan itu. Akan tetapi, bukankah dengan logika yang sama kita bisa bertanya, siapa yang menciptakan pencipta tersebut? Jika mengikuti hukum kausalitas yang kalian gunakan, pertanyaan ini tentu tidak terelakkan.”
Mustafa Mahmud menjawab,
“…. Dengan retorika sofistik ini, kamu mirip seperti Boneka Barbie yang bergerak menggunakan kabel dan berpikir bahwa manusia yang menciptakannya juga bergerak menggunakan kabel. Jika kita katakan kepada boneka tersebut, ‘Tidak, manusia tidak bergerak dengan kabel.’ Boneka tersebut akan menjawab, ‘Tidak mungkin ada yang bisa bergerak tanpa kabel. Di duniaku, semuanya bergerak menggunakan kabel.’”
Pertanyaan “Siapa yang menciptakan Tuhan?” sebenarnya adalah pertanyaan yang memiliki bobot yang sama dengan “Batu itu cewek atau cowok?” Keduanya tidak valid untuk ditanyakan karena berpijak pada hal yang absurd, yaitu pengandaian bahwa yang bukan manusia pasti memiliki atribut yang sama dengan manusia.
Jauh hari, Xenofanes telah mengkritik pengandaian tersebut. Ia menentang cara pandang masyarakat Yunani saat itu yang memersepsikan dewa dengan bentuk dan sifat manusia. Karena manusia dilahirkan, memiliki organ, dan mengalami kematian, dewa juga dipersepsikan begitu.
Xenofanes melakukan perjalanan ke berbagai tempat dan melihat beragam kepercayaan: orang-orang Etiopia memersepsikan dewa mereka berkulit hitam dan berhidung pesek, sedangkan orang-orang Thrake memersepsikannya berkulit pucat dan berambut merah. Para dewa jatuh cinta, memiliki pasangan, dan memiliki anak.
Xenonafes menyimpulkan bahwa para dewa tersebut sebenarnya hanyalah hasil dari refleksi manusia terhadap sifat dan atribut yang ada pada diri mereka. Refleksi tersebut tentu bukanlah dewa itu sendiri. Bahkan, seandainya kuda, sapi, dan singa bisa melakukan hal yang sama, mereka pasti akan merefleksikan dewa dengan tubuh dan sifat mereka masing-masing.
Sekitar dua abad setelah Xenofanes, Aristoteles merumuskan teori Penggerak Pertama yang berangkat dari pemikiran Demokritus. Demokritus menyatakan bahwa tidak ada sesuatu, apa pun itu, yang muncul dari ketiadaan. Aristoteles kemudian mengembangkan pemikiran tersebut ke tahap selanjutnya, yaitu pada hubungan sebab-akibat (kausalitas).
Aristoteles mengatakan bahwa segala entitas kompleks yang kita temui di alam ini pada dasarnya tidaklah berdiri sendiri, melainkan merupakan sebuah turunan dari entitas sebelumnya. Misalnya, dalam garis keturunan, anak berasal dari orang tua, orang tua berasal dari kakek-nenek, kakek-nenek berasal dari buyut hingga seterusnya.
Mata rantai sebab-akibat ini terus bergulir secara berkesinambungan di alam semesta. Namun, mungkinkah semuanya itu tak berujung? Mustahil untuk kita katakan bahwa proses sebab-akibat ini terus berlangsung secara kontinu tanpa akhir. Jika kita terus menelusurinya hingga jumlah yang tidak terbatas, niscaya tidak ada satu pun entitas yang akan ada.
Sampai sini, kita akan mengetahui bahwa pastilah harus ada suatu sebab yang menempati hierarki tertinggi sebagai “yang tidak disebabkan”. Aristoteles menamai sebab tersebut sebagai penggerak pertama yang tidak digerakkan (The Unmoved Mover) dan sebab pertama yang tidak disebabkan (Causa Prima).
Karenanya, pertanyaan “Siapa yang menciptakan Tuhan?”, selain berpijak pada hal yang absurd, juga mencerminkan ketidakpahaman penanya mengenai hukum kausalitas itu sendiri. Proses sebab-akibat tentu harus berujung pada satu sebab pertama yang tidak disebabkan untuk mengakhiri rantai sebab-akibat yang tidak berkesudahan.
Bertanya tentang “Siapa yang menyebabkan sebab pertama?” justru akan membuka kembali mata rantai yang seharusnya sudah selesai. Jika ternyata sebab pertama tersebut juga disebabkan oleh sebab lain, pertanyaan “Siapa yang menyebabkan sebab yang menyebabkan sebab pertama?” akan secara otomatis muncul. Pada akhirnya, proses tersebut akan kembali bergulir dan akan berakhir pada suatu keharusan akan adanya suatu sebab yang tidak disebabkan.
Sebagai penutup, Ibn ‘Arabi berkata:
“Pertanyaan mengenai siapa yang menciptakan Tuhan tidak akan datang, kecuali dari orang yang akalnya rusak. Sebab, Tuhanlah yang justru merupakan bukti akan keberadaan kita, bukan sebaliknya. Ini persis seperti cahaya yang menjadi bukti adanya siang. Keliru jika kita katakan bahwa siang adalah bukti adanya cahaya.”
Guru Mantik dan Akidah Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah.
Views:332