Mengungkap Sumbu Filosofi Yogyakarta yang Diakui sebagai Warisan Dunia UNESCO

mengungkap-sumbu-filosofi-yogyakarta-yang-diakui-sebagai-warisan-dunia-unesco

Paket Wisata JogjaSumbu Filosofi Yogyakarta, yang terletak di pusat kota Yogyakarta, merupakan sebuah kota yang didirikan pada tahun 1756 oleh Pangeran Mangkubumi, pendiri Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Akibat dari Kerajaan Mataram yang terpecah menjadi dua pada tahun 17555, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pangeran Mangkubumi akhirnya memulai pembangunan ibukota baru dan keraton untuk kerajaannya.

Dalam merancang ibukota baru ini, Sri Sultan Hamengku Buwono I menggabungkan unsur kosmologis budaya Jawa dengan berbagai pengaruh agama, seperti animisme, Hindu, Buddha dan Islam. Dengan mengadopsi pengetahuan tentang tata kota dan desain yang telah berkembang di kerajaan Mataram, Sultan mengadopsi konsep-konsep tersebut untuk menyempurnakan ibu kota barunya.

Tata ruang kota Yogyakarta dirancang untuk memperwujudkan perjalanan manusia dari lahir hingga kembali ke alam baka. Hal ini tercermin dalam bentuk fisik berupa Panggung Krapyak – Kraton – Tugu, yang dihubungkan oleh garis lurus yang disebut Sumbu Filosofi. Konsep perjalanan hidup manusia ini dikenal dengan istilah Sangkan Paraning Dumadi yang dimanifestasikan dalam bentuk tata arsitektural, vegetas, nilai budaya dan pemerintahan.

Sumbu Filosofi Yogyakarta, yang diakui sebagai warisan budaya dunia oleh UNESCO pada tanggal 18 September 2023, memiliki tiga atribut utama yang mencerminkan kekayaan filosofis dan budaya Jawa yang mendalam. Ingin mengenal lebih lanjut tentang Sumbu Filosofi Yogyakarta? Berikut penjelasan mengenai 3 atribut utama dalam Sumbu Filosofi.

Tugu Yogyakarta

Credit : Indonesia Travel

Tugu Jogja atau sering disebut sebagai Tugu Pal Putih oleh masyarakat Jogja adalah monumen yang dipakai sebagai lambang kota. Wujud asli dari tugu yogyakarta adalah berupa tiang silinder setinggi 25 meter yang memiliki bulatan diatasnya, disebut dengan Tugu Golong Gilig. Namun, tugu ini runtuh karena terjadi gempa bumi besar yang mengguncang Jogja pada tahun 1867. 

Secara filosofis, Tugu Golong Gilig melambangkan golonging cipta, rasa, lan karsa untuk menghadap Sang Khalik. Tugu ini juga menandakan persatuan rakyat dan Sultan, serta menjadi fokus utama Sultan selama meditasinya untuk menyatu dengan Sang Pencipta. Dalam Sumbu Filosofi, Tugu Golong Gilig menuju Keraton Yogyakarta melambangkan perjalanan hidup manusia kembali menuju Sang Penciptanya (Paraning Dumadi)

Pada tahun 1889 pemerintah Belanda memperbaiki bangunan Tugu di bawah pengawasan Raden Adipati Danurejo V. Perubahan ini membuat keadaan Tugu berubah dari wujud aslinya, yang menjadi upaya Belanda untuk memecah persatuan antara rakyat dan Raja. Tugu Jogja diubah menjadi bentuk persegi dengan tiap sisinya dihiasi prasasti yang menunjukkan siapa yang terlibat dalam renovasi tersebut. Bagian puncaknya berbentuk runcing dan ketinggiannya lebih rendah, yaitu hanya 15 meter.

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Credit : Highlight

Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Keraton ini didirikan pada tahun 1755 oleh Sri Sultan Hamengkubuwana I. Dalam pembangunannya, Sultan mengusung konsep tata letak yang mengacu pada makna simbolis dari peradaban Jawa yang telah dikembangkan dan disempurnakan selama periode Kerajaan Mataram pada abad ke-16 Masehi. 

Keraton Yogyakarta yang berada di antara Tugu Jogja dan Panggung Krapyak memiliki peran penting sebagai tempat manusia untuk berproses. Pusat Keraton adalah tempat yang yang dianggap paling sakral dan diyakini sebagai titik pertemuan antara dunia mikrokosmos dan makrokosmos. Di bagian inti Keraton, terletak kediaman Sultan yang dilengkapi dengan bangunan sakral tempat dilangsungkan ritual, tarian, serta tempat penyimpanan api abadi.

Panggung Krapyak

Credit : IDN Times

Panggung Krapyak dibangun pada tahun 1782 di masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat transit atau gardu pandang bagi para pemburu untuk mengamati area perburuannya. Pada zaman dahulu, Krapyak merupakan sebuah hutan perburuan, di mana berburu menjadi kegiatan khusus bagi para raja, pangeran, dan bangsawan kerajaan.

Secara arsitektur, bangunan ini berbentuk yoni yang merupakan simbol perempuan dalam agama Hindu. Selain itu, Panggung Krapyak memiliki kaitan erat dengan siklus kehidupan. Bangunan ini dianggap sebagai representasi dari rahim, tempat di mana kehidupan pertama kali muncul, dan dimaknai sebagai awal dari perjalanan hidup manusia.

Dalam konteks sumbu filosofi Yogyakarta, perjalanan dari Panggung Krapyak hingga Keraton menggambarkan perjalanan hidup manusia. Perjalanan ini merepresentasikan fase kehidupan mulai dari dilahirkan, tumbuh dewasa, menikah, hingga melahirkan, yang dikenal dengan istilah “Sangkaning Dumadi.”

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Mengungkap Sumbu Filosofi Yogyakarta yang Diakui sebagai Warisan Dunia UNESCO

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us