Polemik Subsidi KRL Berbasis NIK, Kelompok Marjinal Sampai Transpuan Paling Terdampak

polemik-subsidi-krl-berbasis-nik,-kelompok-marjinal-sampai-transpuan-paling-terdampak

Begitu mendengar wacana penambahan tarif commuter line atau Kereta Rel Listrik (KRL) jika tidak punya Nomor Induk Penduduk (NIK), Lili (26) cemas.

Warga Bogor yang bekerja di Cikini, Jakarta Pusat itu memikirkan tambahan biaya yang harus dikeluarkannya untuk pergi-pulang menggunakan KRL jika mereka tidak mempunyai NIK.

Pemerintah berencana mengubah skema subsidi biaya Kereta Rel Listrik (KRL). Jika pengguna kereta mempunyai Nomor Induk Kependudukan (NIK), maka mereka akan mendapatkan subsidi atau keringanan biaya, namun jika tidak punya NIK, maka tidak akan mendapatkan keringanan.

Banyak pengguna KRL mengkuatirkan soal ini, seperti kelompok marjinal yang kuatir, jika tidak ada subsidi berbasis NIK, maka tarif KRL akan mahal. Lagipula belum semuanya punya NIK, seperti para, transpuan yang sulit mengurus NIK karena pergantian nama yang tidak diakui di Kartu Tanda Penduduk (KTP)

Padahal seharusnya tarif transportasi publik berlaku sama dan bisa diakses oleh semua orang tanpa memandang kelas

“Masalahnya kan, ini kita biasanya nggak ke-cover subsidi. Sedangkan kalau tarif barunya lebih mahal untuk orang yang, katakanlah ‘kaya’, kita juga belum tentu bisa afford. Yang kelas menengah jadi serbasalah,” keluh Lili kepada Konde.co, Kamis (5/9/2024).

Mestinya pemerintah fokus untuk memperbaiki fasilitas KRL, karena lihat saja tiap hari kita bisa lihat fasilitas yang buruk di KRL, seperti orang masih bertumpuk-tumpukan naik kereta, keributan yang terjadi di kereta juga sering terjadi karena penuhnya gerbong.

“Dan malah bikin masalah baru juga kalau orang jadi lebih pilih naik kendaraan pribadi gara-gara soal harga KRL ini, kan?.”

Keluhan serupa disampaikan oleh Nisia (30), karyawan perusahaan start-up di Jakarta Pusat. “Mungkin harusnya prioritasin dulu aja penambahan gerbong kereta. Jadi semua orang bisa pakai KRL dan sama-sama nyaman juga,” imbuhnya.

Awal mula persoalan ini bermula ketika terdapat dokumen Buku Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2025 yang berisi  tentang rencana perbaikan kereta. Pemerintah berencana “memperbaiki” tarif subsidi biaya KRL berbasis NIK. Dalih ini yang kemudian banyak diprotes karena seharusnya pemerintah memperbaiki fasilitas KRL yang merupakan fasilitas publik agar semua orang bisa mengakses transportasi publik dan meninggalkan mobil pribadi, bukan malah mengurangi subsidi dengan fasilitas yang tetap buruk.

Dalam Buku Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2025 tercantum jumlah anggaran belanja Subsidi Public Service Obligation (PSO) 2025 untuk PT Kereta Api Indonesia (Persero) sebesar Rp4,79 triliun. Angka keseluruhan subsidi PSO yang dialokasikan untuk bidang transportasi dan penyediaan informasi publik di tahun 2025 lebih tinggi 0,9% jika dibandingkan dengan anggaran 2024.

Anggaran belanja PSO kepada KAI seharusnya digunakan untuk memperbaiki kualitas fasilitas dan pelayanan transportasi umum. Angkutan umum yang termasuk antara lain kereta ekonomi jarak jauh, jarak sedang, jarang dekat, KRL ekonomi, KRL Jabodetabek, KRL Yogyakarta, dan Lintas Raya Terpadu (LRT) Jabodetabek.

Kelompok Marginal Juga Dirugikan

Bukan hanya dirasakan kelas menengah secara umum, kecemasan mengenai penetapan tarif KRL berdasarkan NIK juga melanda kelompok marginal, termasuk ragam gender seperti transpuan.

Kebijakan tersebut tidak menunjukkan inklusivitas pemerintah dalam menyediakan transportasi publik yang nyaman, aman, dan terjangkau bagi semua kalangan masyarakat.

Titin Wahab, seorang transpuan yang kini bekerja di NGO Srikandi Patriot, Bekasi, bercerita mengenai pengalaman pribadinya. Ini juga dialami para transpuan lainnya ketika menggunakan transportasi umum.

“Rutinitas hampir tiap hari teman-teman transpuan yang bekerja menggunakan KRL itu bisa dua kali. (Transpuan) sangat dekat lah, dengan transportasi umum, khususnya KRL,” jelas Titin kepada Konde.co, Rabu (4/9/2024).

Banyak dari kelompok transpuan yang pekerjaannya mengamen bermobilisasi dengan KRL. Mereka juga tidak semuanya punya NIK. Jika tarif berbasis NIK ini diberlakukan, maka mereka belum tentu bisa mengaksesnya karena mahal.

Berdasar Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 354 Tahun 2020, tarif KRL untuk wilayah Jabodetabek adalah sebesar Rp3.000 untuk 25 kilometer pertama dan Rp1.000 untuk setiap 10 kilometer berikutnya. Kalau tak ada subsidi, maka kenaikannya akan drastis.

Baca juga: Penumpang KRL Bicara: Ini Alasan Transportasi Umum Buruk Bikin Perempuan Menderita

Penetapan kebijakan akhirnya justru merugikan kalangan menengah ke bawah dan kelompok marginal. Pasalnya, pembuat kebijakan publik adalah orang-orang yang setiap harinya ‘duduk manis’ dengan mobil dan sopir pribadi. Sedangkan masyarakat tidak diberi pilihan selain menggunakan transportasi umum, dan pada akhirnya, menjadi kelompok yang paling merasakan kerugian.

Masyarakat, khususnya kelompok menengah ke bawah, merasa adanya wacana subsidi tarif KRL berdasarkan NIK bukan merupakan kebijakan yang akan membantu. Dikhawatirkan ia justru menjadi alibi bagi pemerintah untuk menaikkan tarif KRL.

Anggaran yang dialokasikan untuk PSO seharusnya dikerahkan untuk memperbaiki fasilitas. Termasuk salah satunya menambah armada kereta, agar tercipta kenyamanan bagi penumpang, baik saat menunggu kereta maupun di dalam kereta. Ini disertai dengan catatan PT KAI Commuter, bahwa penumpang KRL di hari kerja menyentuh angka 988.088 orang.  Itulah fakta bahwa membludaknya jumlah penumpang KRL masih menjadi masalah yang belum terselesaikan.

Rawan Penyalahgunaan Data dan Tidak Inklusif

Titin pun mengutarakan kekhawatirannya mengenai pemberian subsidi berdasarkan NIK. Ia terutama khawatir terjadi penyalahgunaan data oleh oknum-oknum tertentu yang selama ini banyak terjadi.

“Aku secara pribadi sudah sering data disalahgunakan. Berpengalaman di BPJS, aku pernah dihubungi sampai mengaku pihak kepolisian katanya penggunaan pengambilan obat di BPJS,” ujar Titin.

Dia menyampaikan, di era digital yang serba maju saat ini, kemampuan yang dapat dilakukan oleh teknologi dapat menjadi mengerikan. Perihal tarif, Titin berkata bahwa selama tarif yang dikenakan masih dapat terjangkau oleh teman-teman transpuan yang menggunakan moda KRL setiap harinya, ia merasa tidak ada masalah. 

“Jadi kalau misalnya menggunakan NIK dan data pribadi, aku secara pribadi punya pandangan sangat tidak setuju. Karena data aku pribadi pun sering disalahgunakan,” jelas Titin. Dirinya mempertegas ketidaksetujuannya atas wacana kebijakan pemerintah mengenai subsidi KRL berbasis NIK.

Wacana pemberian subsidi berbasis NIK merupakan bukti kemunduran pemerintah dalam menciptakan fasilitas publik yang inklusif. Khususnya terhadap para transpuan sebagai kelompok termarginalkan. Mengutip dari VoA Indonesia, Aeni Nasuha sebagai perwakilan komunitas transpuan di Kabupaten Tangerang mengatakan, terdapat 40% dari 700 transpuan yang tergabung dalam di komunitasnya belum memiliki e-KTP. Hal itu pun menyebabkan transpuan masih kesulitan dalam mengakses pelayanan publik.

Pengalaman tidak menyenangkan yang dirasakan oleh transpuan dalam transportasi umum memang terjadi secara struktural. Perasaan tidak aman ketika berada di dalam gerbong kereta perempuan masih terus menghantui para transpuan dalam keseharian menggunakan KRL.

Subsidi Harus Tepat Sasaran

Pemberian subsidi terhadap tarif KRL seharusnya tidak disamakan dengan pemberian subsidi atau bantuan hidup kepada masyarakat yang membutuhkan.

Dana subsidi untuk KRL seharusnya bisa dialokasikan untuk menambah dan memperbaiki fasilitas KRL. Seperti memperbaiki tangga berjalan, menambah lift, dan menambah armada supaya tidak terjadi penumpukan penumpang.

Opsi lain yang dapat dilakukan pemerintah, yaitu memberikan subsidi kepada disabilitas dan lansia. Ini agar subsidi tepat sasaran kepada target masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Hal itu juga dapat mencegah adanya celah penyalahgunaan subsidi. 

Kebijakan yang diwacanakan oleh pemerintah di tahun 2025 ini lagi-lagi hanya akan menekan masyarakat kelas menengah. Kemungkinan kenaikan tarif KRL hanya satu dari sekian kebutuhan yang mengalami kenaikan harga. Di sisi lain, kelayakan pengupahan masih belum terpenuhi. Hal tersebut akan makin mempersulit hidup masyarakat kelas menengah. Belum lagi kebijakan itu akan menimbulkan keengganan masyarakat untuk menggunakan transportasi umum. Bisa jadi, persoalan tarif membuat mereka memilih menggunakan kendaraan bermotor pribadi. Permasalahan pun akan merembet kepada kemacetan dan polusi.

Baca juga: Gerbong Khusus di KRL Belum Lindungi Hak Perempuan, Butuh Kebijakan Sistematis

Pemerintah harus fokus untuk terus mendorong masyarakat agar menggunakan transportasi umum. Hal itu tentunya harus dibarengi dengan fasilitas yang memadai pula. Ditambah dengan adanya target rencana induk transportasi Jabodetabek yang ingin dicapai, yaitu 60% di tahun 2030. Kini, angka tersebut baru tercapai sekitar 15%. Alih-alih, pemerintah justru memberikan insentif kepada pembeli mobil listrik sebanyak 10% melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 38 Tahun 2023. Insentif tersebut tentunya hanya dapat dinikmati oleh masyarakat kelas atas. Serta cenderung mengabaikan kebutuhan masyarakat kelas menengah ke bawah.

Menutup percakapan, Titin menyampaikan bahwa ia, mewakili teman-teman transpuan, membutuhkan perbaikan fasilitas layanan transportasi umum. Khususnya bagi moda transportasi KRL. “Butuh perbaikannya tentang fasilitas ketika di jam berangkat kerja dan pulang kerja. Itu sangat berdesak-desakan,” pungkasnya.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Polemik Subsidi KRL Berbasis NIK, Kelompok Marjinal Sampai Transpuan Paling Terdampak

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us