Mubadalah.id – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memberi pernyataan sikap menyambut pelantikan DPR RI 2024-2029, 1 Oktober silam. Harapan besar tertaruh pada badan legislatif periode baru ini. Pemantapan upaya menyoal penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan menjadi satu di antaranya.
Upaya di atas senyatanya telah menjadi bagian komutatif perwujudan tugas konstitusional negara terhadap hak asasi manusia (HAM). Konsep tersebut senyatanya jelas terbaca-tuang dalam deretan Pasal 28A sampai 28J Undang-Undang Dasar 1945. Pasal demi pasal kerap terbaca dan terhapalkan tapi masih minim dalam penerapan.
Momentum pergantian legislator pada periode ini memberi harapan baru. Bagaimana tanggung jawab tadi teremban sebagaimana DPR menjalankan tugas dan fungsi konstitusionalnya; legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Serius Meregulasi
Sedikitnya Komnas Perempuan mengajukan sepuluh agenda prioritas pada DPR dalam menjalankan ketiga tugas dan fungsi di atas. Terambil contoh, selama dua dekade Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) belum kunjung terbahas. Boleh jadi, RUU ini belum teranggap penting dan genting sehingga kerap absen dalam Prolegnas Prioritas.
Kali pertama RUU PPRT diajukan pada 2004 oleh Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga. Tahun demi tahun, melewati sekian periode penggantian anggota DPR. Pada 2010, terbahas dalam pelbagai rapat. Diangkat menjadi bahan riset dan studi banding ke beberapa negara pada 2012.
Sejenak bernasib mengendap pada 2014-2018 di daftar tunggu Prolegnas. Hingga berujung menjadi Usul Inisiatif DPR RI pada 2023 dalam rapat Paripurna. Namun, sampai sekarang belum kunjung tersahkan sebagai peraturan yang absah.
Sejalan dengan perjalanan RUU PPRT, kala Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-34 di Lampung, isu ini terbahas dalam Komisi Bahstul Masail Qanuniyah. Demikian, artinya NU, melalui forum ini, mendorong pemegang kebijakan agar lekas mengesahkan RUU PPRT. Lewat bahasan ini, para ulama NU sedikitnya bisa memberi penjelasan pada masyarakat ihwal hak dan kewajiban profesi PRT dalam prinsip Islam.
Demikian salah satu ajuan Komnas Perempuan dalam fungsi legislasi DPR RI. Sementara usulan lainnya ialah agar DPR RI mempercepat pengesahan RUU perlindungan masyarakat adat, khususnya bagi perempuan adat dan penganut agama leluhur. Kemudian, DPR RI harus bisa memokuskan perhatian terhadap antisipasi kerentanan dan upaya pemulihan perempuan korban kekerasan akibat iklim, lingkungan, dan investasi.
Menata Anggaran
Sembari fokus menggarap usulan tugas legislasi tadi, DPR RI tak boleh lengah menyoal anggaran. Utamanya memiliki kaitan dengan penguatan kepemimpinan perempuan dan kesetaraan.
Hal itu agar sederap dengan tujuan pengarusutamaan gender sesuai Inpres Nomor 9 Tahun 2000 yakni terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksana, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berperspektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Masih porsi tugas anggaran, DPR RI pun mesti memerhatikan dana dukungan bagi korban teramanatkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Bagaimana pun hak korban secara spesifik dalam Pasal 67 Ayat (1) mesti terpenuhi. Baik secara fasilitas, kemudahan, dan anggaran. Sedangkan negara menanggung kewajiban itu demi memenuhi hak korban, terjelaskan dalam Ayat (2).
Upaya Meninjau
Pada akhirnya, sikap apresiatif dan dukungan terhadap kerja-kerja DPR RI sebelumnya mesti mendapat pengakuan, dari Komnas Perempuan salah satunya. Semangat ini justru mesti terpegang dan terteruskan oleh anggota di periode berikutnya. Bagaimana produk yang pernah mereka godok, bertahun-tahun, melalui pembahasan alot, dsb harus mereka jaga lewat tugas pengawasan.
Komnas Perempuan memiliki catatan penting soal bagaimana percikan konflik kerap muncul akibat gesekan pelaksanaan proyek dengan sumber daya alam yang ada. Dalam lima tahun terakhir ada sekian peristiwa konflik lahan lingkungan antara pemerintah dengan masyarakat. Kerentanan ini terprediksi bahwa kasus-kasus kekerasan, khususnya terhadap perempuan, bakal semakin meluas dan menguar.
Terakhir, sorotan kajian menyoal eksploitasi terhadap pekerja perempuan perlahan terekam oleh kecermatan Komnas Perempuan. DPR RI perlu mengembangkan pengawasan ini sebab UU Cipta Kerja berpotensi memperluas deretan bentuk diskriminatif, kekerasan, hingga eksploitatif terhadap pekerja, terutama perempuan. Bahwa dengan cara melakukan tugas dan fungsinya, DPR RI betul-betul sebagai ejawantah seorang dewan atau wewakil rakyat.
Dalam pada itu, Komnas Perempuan merajut harapan dukungan dan kerja sama dengan DPR RI agar bisa memberi wujud nyata bagi upaya penguatan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Sinergisitas kedua lembaga negara ini perlu terjalin dengan memokuskan pada tugas dan fungsi kelembagaannya masing-masing. Adapun kala bergotong royong, berpadu padan, dan bekerja sama menjadi bekal selangkah lebih maju mewujudkan visi-misi mereka. []