Akhol Firdaus Follow Direktur Institute for Javanese Islam Research (IJIR) dan Dosen UIN SATU, Tulungagung;
3 min read
Berawal dari obrolan di salah satu grup WhatsApp komunitas aktivis lintas iman dan penghayat yang saya ikuti, ada pembahasan yang cukup menggelitik nalar dan perasaan saya untuk mengulasya lebih jauh. Isu tersebut terkait terkait kedudukan masyarakat Penghayat di dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang juga cukup menjadi perbincangan hangat di kalangan internal tokoh-tokoh Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa
Sebagian tokoh Penghayat, seperti Engkus Ruswana, berpandangan bahwa idealnya Penghayat Kepercayaan memiliki perwakilan di FKUB, baik di wilayah maupun daerah kota/kabupaten. Hal ini sejurus dengan pandangan bahwa, melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi 97/PUU-XIV/2016 tentang Identitas Kependudukan sesuai UU No. 23 tahun 2006, Penghayat telah dinyatakan setara dengan penganut agama-agama lain di Indonesia.
Sayangnya, Rancangan Peraturan Presiden tentang Pemeliharan Kerukunan Umat Beragama (PKUB) yang disusun oleh pemerintah sejak 2023, belum mengakomodir desakan sebagian kalangan untuk memberikan perwakilan Penghayat Kepercayaan di dalam FKUB.
Sekadar catatan, Ranperpres yang tengah digodok oleh pemerintah saat ini akan menggantikan regulasi Perber No. 9 dan No. 8 tentang “Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama dan, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah,” atau dikenal luar sebagai Perber Rumah Ibadah.
Pada periode sebelumnya, Peraturan Bersama (Perber) tesebut banyak dikritik oleh kalangan pegiatan toleransi dan pegiat advokasi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) karena dianggap memuat sejumlah klausul yang membenarkan praktik diskriminasi, terutama terkait dengan pendirian rumah ibadah kelompok minoritas di Indonesia.
Salah satu klausul yang banyak dikritik adalah, syarat pendirian rumah ibadah yang harus mendapat 60 tanda tangan dukungan dari masyarakat yang disahkan oleh Kepala Desa atau Lurah, dan 90 orang daftar nama pengguna rumah ibadah yang juga disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan batas wilayah. Dalam praktiknya, syarat inilah yang sering digunakan sebagai argumentasi untuk membatasi izin berdirinya rumah ibadah kelompok agama minoritas. Hal yang sama hampir tidak pernah dialami oleh kelompok agama mayoritas.
Selain syarat tersebut, pendirian rumah ibadah menujuk pada Perber juga mensyaratkan rekomendasi FKUB. Dalam konteks inilah, keberadaan FKUB menjadi sangat signifikan dalam menentukan keberadaan rumah ibadah–terutama bagi kelompok agama-agama dengan penganut yang kecil di suatu wilayah administrasi desa atau kelurahan. Dalam periode sangat panjang sejak 2006, banyak sekali rumah ibadah tidak bisa berdiri karena aturan tersebut.
Bukan hanya itu, sejumlah rumah ibadah yang sudah berdiri sekalipun, dan terbukti tidak mengantongi rekomendasi dari FKUB, bisa dipastikan keberadaanya tidak aman dari serangan persekusi kelompok-kelompok vigilante. Fakta inilah yang mendorong pemerintah kajian atas problem kerukunan umat beragam, dan berencana pengganti Perber Rumah Ibadah dengan Perpes baru.
Sayangnya, selain belum disahkan Ranperpres baru juga tidak menawarkan banyak perubahan. Klausul persyaratan pendirian rumah ibadah yang wajib menyertakan tanda tangan masyarakat sejumlah 60/90 masih dipertahankan. Satu-satunya klausul yang berubah adalah, dalam Ranperpres baru tersebut, rekomendasi FKUB tidak lagi dijadikan sebagai syarat wajib pendirian rumah ibadah.
Rumadi Ahmad, Plt Deputi Kantor Staf Presiden, dalam suatu talkshow bertajuk “Sudahkah Ranperpres PKUB Rangkul Penghayat? ” (13/03/2024) memberikan alasan bahwa sejumlah klausul yang tidak menggambarkan kemajuan dalam tata kelola kerukunan umat beragama tersebut memang merupakan polemik yang mewarnai proses perumusan Ranperpres. Meski begitu, menurutnya semua klausul tersebut menggambarkan titik kompromi diantara perwakilan agama-agama.
Dengan bahasa lain, masyarakat sebenarnya ‘dipaksa’ untuk bisa menerima fakta bahwa Ranperpres yang tengah digodok oleh pemerintah sesungguhnya tidak menawarkan suatu tata kelola kerukunan yang bisa menepis potensi-potensi diskriminasi terhadap kelompok agama-agama minoritas di masa depan.
Bagaimana Posisi Penghayat?
Ranperpres juga tidak mengakomodir keberadaan Penghayat Kepercayaan untuk bisa duduk secara setara di FKUB sebagai lembaga yang diberi mandat untuk pemeliharaan kerukunan umat beragama. Secara faktual keberadaan Penghayat bukan hanya tidak setara, tetapi sekaligus dikucilkah atau dikeluarkan dalam hal ihwal pemeliharaan kerukunan umat beragama.
Menanggapi hal ini, Rumadi Ahmad kembali menegaskan bahwa keberadaan Penghayat yang tidak disertakan di dalam kepengurusan FKUB berpijak pada pertimbangan khusus. Menurutnya, memasukan Penghayat dalam FKUB sama artinya dengan menetapkan syarat pendirian rumah ibadah untuk Penghayat disamakan dengan rumah ibadah agama-agama lain. Pendirian Sanggar atau tempat Sarasehan Penghayat yang harus memenuhi syarat 60/90, menurut Rumadi Ahmad justru akan menjadi batu sandungan tersendiri bagi Penghayat utk bisa memiliki rumah ibadah.
Menanggapi hal ini, Dian Jennie (Ketua Perempuan Penghayat Kepercayaan Nasional) sebagai pembanding di acara Talksow “Sudahkah Ranperpres PKUB Rangkul Penghayat?” memiliki pandangan yang lebih satir. Menurutnya, berbagai kebijakan pemeliharaan kerukunan umat beragama memang secara sengaja mengeksklusi keberadaan Penghayat Kepercayaan. Ranperpres sesungguhnya merupakan bukti bahwa hingga saat ini keberadaan Penghayat tetap sebagai warga negara kelas kedua.
Bila alasan kekosongan representasi Penghayat di FKUB sebagaimana diatur dalam Ranperpres adalah untuk melindungi Penghayat dari syarat 60/90, maka pemerintah sebenarnya cukup menjawabnya dengan membuat klausul afirmatif bahwa untuk keberadaan kelompok minoritas agama lokal diatur dengan syarat-syarat yang sesuai dengan kondisi obyektifnya. Pemerintah bukan hanya tidak membuat terobosan seperti harapan kalangan Penghayat, tetapi sekaligus tidak memandang perwakilan dibutuhkan di FKUB.
Fakta inilah yang menegaskan bahwa tata kelola kerukunan umat beragama di Indonesia masih belum memberikan hak yang setara bagi semua kelompok agama/kepercayaan di Indonesia. Penghayat kembali dikucilkan dalam urusan yang sangat penting terkait dengan hal-ihwal pemeliharaan toleransi dalam pergaulan agama dan kepercayaan yang sangat kompleks di negara ini.
Bila ada improvisasi kebijakan pemeliharaan kerukunan di tingkat daerah, misalnya di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, menyertakan perwakilan tokoh Penghayat Kepercayaan, hal ini bukan berarti bahwa keberadaan Penghayat Kepercayaan telah diperlakukan secara setara terhadap agama-agama lain. Keikutsertaan tokoh Penghayat di FKUB seperti yang terjadi di Banyumas, jelas bukan karena kebijakan daerah yang menempatkan Penghayat setara dengan agama-agama lain, tetapi lebih karena ketokohan dan expertisenya.
Sekadar catatan tambahan, hari ini (08/09/2024) berlangsung pengukuhan Pengurus FKUB Banyumas. Seorang tokoh Penghayat bernama Prof. Wardana, dari Susila Budi Darma (Subud) dikukuhkan sebagai salah satu Pengurus FKUB, akan tetapi di posisi sebagai Dewan Ahli. Praktik baik seperti menggambarkan bahwa keberadaan tokoh tersebut tidak lantas bisa dipahami sebagai keterwakilan Penghayat di FKUB. Lebih tepat dikatakan bahwa, Prof. Wardana sesungguhnya diposisikan sebagai Dewan Ahli karena ketokohan dan expertise-nya.
Penghayat Kepercayaan masih dikucilkan dan tidak memiliki keterwakilan di FKUB.