Trigger warning/peringatan pemicu: artikel ini berpotensi memicu perasaan tidak nyaman saat dibaca. Jika kamu merasa punya potensi untuk terpicu—khususnya terkait perkosaan terhadap anak perempuan—pertimbangkan untuk berhenti. Kamu bisa kembali membaca jika sudah merasa siap.
Mawar (bukan nama sebenarnya), seorang anak perempuan berumur 14 tahun, tiba-tiba diperkosa oleh 9 orang laki-laki.
Kekerasan seksual itu terjadi pada rentang pertama pada November dan Desember 2023, dan rentang kedua pada Januari 2024 lalu di Minahasa Utara, Manado, Sulawesi Utara.
Sembilan orang terduga pelaku ini terdiri dari empat anak dan lima orang dewasa. Mawar dipaksa dan dibujuk, lalu diperkosa. Setelah hamil, Mawar kini melahirkan. Naasnya lagi, dari 9 pelaku, baru 1 pelaku yang ditangkap.
Kuasa hukum korban menyatakan, kekerasan seksual di tempat ini selalu dianggap sebagai kejadian biasa dan diwajarkan, ini merupakan konstruksi patriarki yang sangat kuat sehingga memperkosa para perempuan dianggap sebagai hal lazim.
“Mawar dan keluarganya adalah korban yang berani untuk menggugat, sedangkan banyak perempuan lainnya hanya bisa diam dan tidak berdaya, merasa ketakutan, karena konstruksi patriarki di tempat ini yang menyatakan bahwa perkosaan seperti sesuatu yang diwajarkan,” kata Emanuella Malonda, kuasa hukum korban pada Konde.co.
Terduga 9 pelaku kekerasan seksual tersebut antara lain AP, AL, GG, JK, K dan 4 terduga pelaku anak. Mawar mengalami trauma mendalam dan dalam kondisi hamil dan melahirkan. Trauma yang dirasakan Mawar bukan hanya karena ia diperkosa, tetapi juga mendapatkan bully dari teman-temannya di sekolah ketika ia ketahuan hamil.
Baca juga: Ayah di Aceh Perkosa Anaknya Hingga Melahirkan, Korban Kesana Kemari Cari Keadilan
Kejadian perkosaan rentang kedua berawal ketika hari Jumat pertama di bulan Januari 2024. GH (14 tahun/saksi anak laki-laki) sedang berjalan kaki bersama JK (18 tahun/terduga pelaku) menuju satu tempat. Saat melintasi pos kamling yang ada di desanya, terlihat AK (14 tahun/saksi anak perempuan) sedang duduk di sana.
JK mengajak GH mampir ke pos kamling. GH melihat JK mengajak AK untuk melakukan hubungan seksual lewat kode jari-jari tangan yang dibuat JK. Namun AK menolak.
“Kita pe pepek saki (vagina saya sakit),” kata AK.
AK lalu mengatakan agar JK memanggil saja teman perempuannya (Mawar). AK lalu pergi untuk memanggil Mawar ke pos kamling.
Saat menunggu AK di pos kamling, JK mengatakan kepada GH kalau ia mau ke rumah temannya dulu. JK juga berpesan kalau kedua anak perempuan tersebut sudah datang, ia minta GH untuk memanggil dirinya.
Mawar, (14 tahun) sedang di rumah saat AK datang dan mengajaknya main-main ke pos kamling. Mawar langsung mengiyakan dan berdua mereka berjalan menuju pos kampling. Ketika sampai di sana ada GH, teman laki-laki mereka.
Tak lama, GH pergi untuk memanggil JK (18 tahun/terduga pelaku). Setelah GH dan JK sampai di pos kamling kemudian JK menarik tangan Mawar dan membawanya pergi dari pos kamling. JK membawa Mawar ke sebuah rumah kosong yang letaknya tak begitu jauh dari pos kamling.
JK menyuruh Mawar masuk ke rumah kosong tersebut lewat jendela rumah yang kebetulan kayunya sudah lapuk, jadi bisa dibuka. Saat di dalam rumah kosong, JK mengucapkan kalimat semacam bujukan pada Mawar.
Baca juga: Lapor Polisi, Korban Justru dapat Kekerasan Kembali, Bagaimana Jerat Hukumnya?
“Tenang jo nda akan terjadi apa-apa, kalaupun sampai jadi sesuatu tetap kita mo tanggung jawab, (kamu tenang saja tidak mungkin terjadi hal apapun, jika terjadi sesuatu maka saya akan bertanggung jawab),” kata AK.
Mawar, di usianya yang masih anak-anak, tidak tahu harus berbuat apa. Setelah itu JK membaringkan Mawar di kasur dan memperkosanya. Di tengah kejadian itu, GH mendatangi rumah kosong itu dan berteriak memanggil JK dari luar.
“Kamu sama siapa?” teriak GH.
“Kita deng ta pe maitua, (saya dengan pacar saya),” balas JK.
JK lalu menyuruh GH untuk pulang. Setelah itu tak terdengar lagi suara GH, JK pun melanjutkan perbuatannya. Usai memperkosa, JK keluar dari rumah kosong lewat jendela bersama Mawar. Mereka lalu menuju pos kampling dan di sana ada GH.
Saat JK menyuruh GH untuk pergi, GH tidak pergi, melainkan bersembunyi di dekat rumah tersebut. Jadi GK melihat JK keluar dari rumah kosong itu bersama Mawar. GH lalu bergegas lari menuju pos kamling. Beberapa saat GH melihat JK dan Mawar datang ke pos kamling dari arah yang berbeda.
Sementara AK sudah pulang tak lama setelah JK menarik Mawar dan membawanya pergi dari pos kamling. Keesokan harinya ketika bertemu kembali dengan JK, JK mengatakan kepada GH agar GH tidak memberitahukan kepada siapapun perbuatan yang ia lakukan terhadap korban.
Namun, GH kemudian menceritakan kejadian itu kepada kakak Mawar. Dari situ keluarga korban kemudian melaporkan kejadian tersebut ke Polres Minahasa Utara pada 11 Januari 2024. Laporan kasus ini tercatat dengan nomor: LP/B/19/I/2024/SPKT/POLRES MINUT/POLDA SULUT.
Baca juga: ‘Reclaim the Night’: Aksi Perempuan Melawan Perkosaan dan Femisida di India
Dalam perkembangannya diketahui selain JK, perkosaan terhadap Mawar sebelumnya juga dilakukan oleh 8 terduga pelaku yang lain. Dari 8 terduga pelaku tersebut, 4 diantaranya merupakan terduga pelaku anak, yakni EK, RW, RWi dan PP. Sedang 4 lainnya terduga pelaku dewasa, yakni AP, AL, GG, dan K. Bahkan salah satu dari terduga pelaku dewasa masih punya hubungan kekerabatan dengan anak korban.
Perkosaan yang dilakukan oleh 8 terduga pelaku lainnya berlangsung dalam rentang waktu antara November hingga Desember 2023. Perkosaan dilakukan di sejumlah tempat berbeda di sekitar desa tempat tinggal anak korban dan terduga pelaku. Delapan terduga pelaku melakukan perkosaan sendiri-sendiri. Dari delapan terduga pelaku tersebut ada yang memperkosa sebanyak 1 kali, ada yang 2 kali.
Ayah korban langsung melaporkan 8 terduga pelaku ke Polres Minahasa Utara pada 2 Maret 2024. Empat terduga pelaku anak juga terkena pasal tindak pidana persetubuhan terhadap anak di bawah umur. Saat ini kasusnya dalam proses penyidikan. Berkas perkaranya sudah dilimpahkan ke kejaksaan, tapi sempat dikembalikan dari kejaksaan ke kepolisian dengan alasan unsur bujuk rayu belum terpenuhi.
Sedang 4 terduga pelaku dewasa kasusnya masih dalam tahap penyelidikan. Penyidik Polres Minahasa Utara mengatakan masih kurang alat bukti sehingga kasusnya belum bisa naik ke tahap penyidikan.
Pada proses awal pelaporan korban dan keluarga belum didampingi oleh pendamping hukum. Mereka baru didampingi kuasa hukum pada akhir Januari 2024. Ayah korban menghubungi Asmara Dewo dari kantor hukum Asmara Dewo & Partners Law Office setelah membaca artikel yang ditulis Dewo tentang kekerasan seksual. Keluarga korban lalu didampingi Asmara Dewo, Emanuella Malonda dan Senja Pratama sebagai kuasa hukum per akhir Januari 2024.
Penanganan kasus ini menurut pendamping hukum berjalan lambat. Sejak dilaporkan pada Januari hingga Februari belum ada kemajuan. Akhirnya pendamping hukum menggelar konferensi pers pada 1 Maret 2024. Setelah itu salah satu terduga pelaku (JK) ditetapkan sebagai tersangka.
Baca juga: Kamus Feminis: Bagaimana Pandangan Feminisme Terhadap Aborsi Aman Bagi Korban Perkosaan?
“Kekerasan seksual terhadap anak korban yang dilakukan sembilan terduga pelaku sebenarnya memakai modus yang sama, yakni membujuk dan mengajak korban. Bahkan terduga pelaku juga mengancam korban dengan mengatakan, ‘Jangan bilang ya ke orang tua kamu soal ini’,” papar Emanuella Malonda kepada Konde.co.
“Saat visum memang belum diketahui kalau anak korban ini hamil. Baru beberapa waktu setelah itu ketahuan kalau korban hamil. Dan pada September 2024 kemarin korban sudah melahirkan,” ujar Senja Pratama, pendamping hukum korban kepada Konde.co Kamis (3/8/24).
Koalisi Anti Kekerasan Seksual Berbasis Gender (KAKSBG) yang dibentuk sebagai upaya melawan kekerasan seksual di Indonesia salah satunya atas kasus ini menyatakan, proses hukum kasus ini berjalan sangat lambat serta tanpa perspektif keadilan dan pemenuhan untuk hak-hak korban.
Hal ini bisa dilihat, misalnya sejak kasus ini dilaporkan oleh pihak keluarga korban pada 11 Januari 2024, kurang lebih setelah delapan bulan, baru satu 1 terduga pelaku yang menjalani proses persidangan. Dan kini salah satu pelaku, JK sudah meringkuk di penjara.
Para aktivis perempuan yang tergabung dalam KAKSBG menyatakan, Mawar mengalami trauma, harkat martabatnya hancur lebur, harus menahan malu seumur hidup, terbebani mengurus anak di usia muda dan menghadapi masa depan yang tidak jelas.
“Semua itu tentu saja karena kejahatan 9 orang terduga pelaku kekerasan seksual. Kejahatan kekerasan seksual merupakan kejahatan HAM yang perlu diperangi bersama-sama, oleh karena itu seluruh APH (Aparat Penegak Hukum) mesti pula menjalankan tugasnya berdasarkan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. JPU yang saat ini bertugas menuntut pelaku mesti mengambil langkah progresif demi keadilan korban,” kata Emanuella, aktivis Milenial Talk yang tergabung dalam KAKSBG
Baca juga: Wisatawan Diperkosa di Labuan Bajo: 4 tahun Kasus Mandek, Polisi Hentikan Penyelidikan dan Intimidasi Korban
Selama proses persidangan, dua kali hakim meminta korban dihadirkan untuk dimintai keterangan, tanpa mempertimbangkan kondisi mental korban yang mengalami trauma akibat kekerasan seksual tersebut. Akibatnya, korban mengalami tekanan berat karena harus menghadiri persidangan yang mempertemukan korban dengan pelaku dalam satu ruangan sidang.
Meskipun pendamping sudah berkoordinasi dengan Jaksa dan lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga sudah menyerahkan surat keterangan psikolog ke majelis hakim, namun anehnya persidangan dengan mempertemukan korban dan pelaku tetap dijalankan.
Pendamping juga mengirimkan surat permohonan pada 16 Agustus 2024 kepada Kejaksaan Minahasa Utara dan Kapolres Minahasa Utara agar Jaksa Penuntut Umum dan Penyidik yang memeriksa kasus selanjut nya memiliki kompetensi berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UU TPKS, di mana yang menuliskan bahwa “Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim yang menangani perkara tindak pidana kekerasan seksual harus memenuhi persyaratan: a. memiliki integritas dan kompetensi tentang penanganan perkara yang berperspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dan keadilan bagi korban; dan b.telah mengikuti pelatihan terkait penanganan perkara Tindak Pidana Kekerasan seksual (TPKS).
Korban Melahirkan, Aktivis Ajukan Amicus Curiae
Selanjutnya, karena sidang tetap berjalan lamban, maka Selasa, 24 September 2024, para aktivis dan organisasi perempuan yang tergabung dalam KAKSBG mengirimkan Amicus Curiae untuk memberikan pandangan hukum terkait perkara No. 81/Pid.Sus/2024/PN Arm atas nama terdakwa inisial JK dengan harapan Majelis Hakim bisa memvonis dengan maksimal, mengabulkan restitusi sebesar Rp. 28.430.000,-, dan membuka seluruh data terdakwa ke publik.
Amicus curiae adalah orang perseorangan atau organisasi yang bukan merupakan pihak dalam suatu perkara hukum, tetapi diperbolehkan membantu pengadilan dengan memberikan informasi, keahlian, atau wawasan yang berkaitan dengan permasalahan dalam perkara tersebut.
Berdasarkan hasil pemantauan proses persidangan, Tim Kuasa Hukum menilai Jaksa Penuntut Umum yang memegang perkara No. 81/Pid.Sus/2024/PN bersikap pasif, tidak aktif menggali fakta-fakta di persidangan, dan tidak berusaha mengungkap dan memastikan keterangan saksi yang dihadirkan oleh Penasihat Hukum Terdakwa. Jaksa hanya menuntut terdakwa delapan (8) tahun penjara, membayar denda Rp. 50.000.000,-, dan membayar restitusi 28.430.000.
“Selain itu, Jaksa tidak mau memberikan hak korban atas informasi terhadap seluruh proses dan hasil penanganan, perlindungan, pemulihan, dan hak mendapatkan dokumen hasil penanganan seperti berkas-berkas penuntutan.”
Baca juga: In The Name of God: A Holy Betrayal, Perkosaan Dan Kekerasan Dari Yang Mengaku “Juru Selamat”
Seperti tertuang dalam Pasal 67 ayat 1 huruf (a) dan Pasal 68 UU TPKS, proses hukum empat (4) terduga pelaku dewasa lainnya masih dalam tahap penyelidikan dengan alasan terkendala alat bukti. Pendamping korban menyatakan, seharusnya tidak sulit untuk menambah alat bukti seperti: saksi korban, saksi dari orang tua, ahli, visum et repertum, dan surat keterangan Psikolog. Satu alat bukti (saksi korban) ditambah dengan bukti lain sebenarnya sudah bisa menaikkan ke tahap penyidikan. Jadi tidak ada alasan lagi Polres Minahasa Utara untuk tidak menaikkan ke tahap penyidikan.
“Kejaksaan Minahasa Utara mengembalikan berkas empat (4) terduga pelaku yang masih usia anak ke Penyidik (P19). Jaksa Penuntut Umum menilai, seharusnya Penyidik memasukkan kronologis bujuk rayu ke korban. Padahal, korban telah dipaksa oleh terduga pelaku, dan terduga pelaku juga sudah mengakuinya,” kata Emanuella
Untuk alat bukti yang lain juga sudah jelas. Salah satu kendala yang dihadapi dalam mengadvokasi kasus ini antara lain pendamping kesulitan mendapatkan informasi perkembangan perkara di Polres Minahasa Utara. Upaya yang dilakukan pendamping adalah membuat Dumas ke Polda Sulut. Hasil dari upaya ini adalah Bripda YT dinyatakan bersalah dan Polres Minahasa Utara sedang menunggu Saran Hukum dari Polda Sulut.
Baru 1 Pelaku yang Dihukum, 8 Lainnya Masih Bebas
Pengadilan Negeri Airmadidi pada Senin (30/9/24) pagi sekitar jam 10.00 tampak ramai. Korban dan keluarga korban tidak bisa mengikuti persidangan disebabkan korban yang telah melahirkan pada 23 September 2024.
Puluhan aktivis yang tergabung dalam Koalisi Anti Kekerasan Seksual Berbasis Gender (KAKSBG) tampak berkumpul di satu sudut. Mereka sedang menunggu sidang kasus perkosaan anak yang dijadwalkan pada pukul 13.00 WITA.
Ternyata sidang molor dari jadwal. Koalisi harus menunggu dari pagi hingga malam hari untuk mengikuti jalannya persidangan. Akhirnya sidang dimulai pada pukul 19.00 WITA di ruang Tirta. Kehadiran Koalisi dimaksudkan sebagai bentuk dukungan bagi korban sekaligus mengawal kasus tersebut. Pasalnya dalam proses penyidikan kasus ini aparat penegak hukum dinilai lamban.
Majelis hakim yang dipimpin hakim ketua Ari Mukti Efendi membacakan putusan pada salah satu pelaku, Joshua Kalangit.
“Menyatakan terdakwa Joshua Kalangit terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya sebagaimana Dakwaan Kesatu Penuntut Umum.”
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Joshua Kalangit dengan pidana penjara selama 6 tahun dan pidana denda sejumlah 50 juta Rupiah dengan ketentuan apabila tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan.”
Majelis hakim juga menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang sudah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Selain juga menetapkan terdakwa tetap ditahan.
Majelis hakim juga membebankan kepada terdakwa untuk membayar restitusi kepada Anak Korban diwakili ayahnya Saksi DA sebesar Rp9.072.000,00.
Keluarga dan Kuasa Hukum Sesalkan Putusan Hakim PN Airmadidi
Putusan pidana penjara yang ditetapkan majelis hakim lebih rendah dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum/ JPU.
Jaksa menuntut terdakwa dengan pidana penjara selama 8 tahun dan denda sebesar 50 juta Rupiah, jika tidak dibayar diganti dengan kurungan selama 6 bulan.
Besarnya restitusi yang ditetapkan majelis hakim juga lebih rendah dari tuntutan jaksa, yakni hanya sekitar sepertiganya. JPU menuntut terdakwa untuk membayar biaya restitusi terhadap korban sebesar Rp28.430.000.
Baik keluarga korban maupun kuasa hukum merasa kecewa dengan putusan hakim. Kuasa hukum korban Asmara Dewo mengungkapkan keluarga korban tidak bisa mengikuti persidangan karena anak korban baru saja melahirkan sehingga mereka harus mengurus anak korban dan bayinya. Selain itu jarak antara rumah anak korban dengan Pengadilan Negeri Airmadidi juga lumayan jauh.
Ketika kuasa hukum menghubungi keluarga korban dan memberitahukan hasil persidangan serta putusan majelis hakim, keluarga menyampaikan kekecewaannya.
“Kenapa begitu, pak? Kecil banget?” gugat ayah korban.
“Ya nanti kita coba upaya lain, koordinasi lagi sama jaksa. Kami perjuangkan untuk bisa banding, tapi ini kembali lagi ke jaksa karena itu kewenangannya,” balas Dewo, salah satu pengacara korban
Lebih lanjut Dewo mengungkapkan kuasa hukum juga merasa kecewa.
“Kami kuasa hukum juga kecewa karena putusannya itu rendah banget. Kita tahu korban itu harkat martabatnya hancur, mengalami trauma bahkan sampai punya anak akibat perbuatan terdakwa,” kata Dewo.
“Artinya majelis hakim tidak berperspektif korban dan HAM. Tidak punya rasa empati terhadap korban,” tegasnya.
Baca juga: Viral Kasus Perkosaan dengan Pelaku Anak dan Orang Dewasa, Bagaimana Penanganan Hukumnya?
Tim kuasa hukum korban, Senja Pratama mempertanyakan parameter yang dipakai hakim dalam menentukan pidana penjara terhadap terdakwa. Dari studi terhadap kasus-kasus lain yang sejenis ia mendapati keputusan-keputusan yang dikeluarkan majelis hakim rata-rata di atas 8 tahun. Karena itu pihaknya berharap hakim juga menetapkan pidana penjara terhadap terdakwa di atas 8 tahun.
Senja juga mengaku kecewa terhadap jaksa karena menuntut 8 tahun penjara padahal akibat dari perbuatan terdakwa menyebabkan anak korban terdampak baik secara psikis dan fisik. Bahkan anak korban sampai mempunyai anak.
Kuasa hukum korban juga merasa kecewa dengan keputusan majelis hakim terkait restitusi bagi korban.
“Jadi restitusi yang diajukan oleh Jaksa kemarin itu kan berdasarkan penghitungan yang dilakukan LPSK. Penghitungan restitusi itu untuk 4 terduga pelaku yang masih dalam tahapan penyidikan, 4 terduga pelaku anak dan satu terduga pelaku yang statusnya terdakwa,” paparnya.
Sementara hakim menyatakan mereka tidak bisa membuktikan siapa ayah biologis yang harus menanggung biaya perawatannya. Karena itu hakim mengeluarkan biaya untuk pengurusan anak. Jadi biaya yang dibebankan kepada terdakwa salah satunya hanya biaya untuk kerugian selama dalam proses hukum baik ke tahapan penyelidikan, penyidikan maupun ke tahapan penuntutan.
Untuk itu Senja mengungkapkan pihaknya sangat menyesalkan keputusan hakim.
Tuntutan Kuasa Hukum dan Koalisi
Menyikapi proses persidangan yang berlangsung, kuasa hukum korban dan Koalisi menyampaikan sejumlah tuntutan kepada Presiden RI. Pertama kuasa hukum dan Koalisi menginginkan agar Ketua Pengadilan Negeri Airmadid dicopot dari jabatannya.
Kedua karena ketidakefektifan Jaksa Penuntut Umum, kuasa hukum korban dan Koalisi menuntut agar JPU diganti dengan individu yang kompeten di bidang kekerasan seksual yang punya perspektif korban.
Ketiga karena penanganan kasus kekerasan seksual sejauh ini belum berjalan secara masif dan kondusif maka kami meminta Kapolres Minahasa Utara untuk dicopot dari jabatannya sebagai Kapolres Minahasa Utara. Mereka berharap pemangku kebijakan yang ada di Minahasa Utara yang berkaitan dengan penanganan kasus kekerasan seksual memiliki kompetensi yang sama sehingga tidak mengacaukan proses penegakan hukum yang ada di Minahasa Utara.
Mempertimbangkan perkembangan di atas, Koalisi Anti Kekerasan Seksual Berbasis Gender menuntut dan menyerukan untuk memberi hukuman pelaku kekerasan seksual dengan hukuman maksimal. Lalu memberikan hak korban dan melindungi korban, keluarganya, pendampingnya dari berbagai intimidasi, kriminalisasi, dan teror dari oknum tidak bertanggung jawab.
“Yang ketiga, agar mempercepat proses hukum kasus di atas demi pemenuhan hak-hak korban dan sebagai pendidikan publik terkait penegakan hukum yang adil pada kasus kekerasan seksual. Kami juga mendesak Kajari Minahasa Utara untuk mengevaluasi kinerja Jaksa Penuntut Umum yang memeriksa perkara No. 81/Pid.Sus/2024/PN Arm, yang tidak serius menjalankan tugasnya sebagai JPU dari mulai pengajuan tuntutan yang rendah, tidak terbuka kepada pendamping korban,” kata Emanuella.
Baca juga: The Voice: Sejumlah Polisi Tolak Gunakan UU TPKS, Tantangan Berat Penanganan Korban
Lalu menuntut Aparat Penegak Hukum (APH) yang memproses hukum para terduga pelaku harus memiliki kompetensi sesuai dengan yang diamanatkan Pasal 21 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Juga pecat APH yang terbukti telah melanggar kode etik saat menangani perkara kekerasan seksual; Mendesak Kapolda Sulawesi Utara mengevaluasi Kinerja Kapolres Minahasa Utara.”
Saat ini Mawar sangat terbebani, karena harus menghidupi anak yang dilahirkannya, padahal ia baru berumur 15 tahun. Saat ini ada guru sekolahnya yang datang ke rumah untuk membantu dia belajar. Namun bukan hal yang mudah buat Mawar dengan posisinya sekarang yang juga mengurus anak. Hari-hari seperti ini harus terus dihadapinya.
Emanuella mengatakan, kekerasan seksual di tempat dimana Mawar tinggal, seolah-olah jadi hal biasa, ada semacam konstruksi patriarki yang mewajarkan laki-laki memperkosa perempuan atau mau dengan perempuan itu hal biasa dan wajar terjadi.
“Konstruksi ini yang membuat korban dan keluarga harus menanggung akibatnya. Kejadian ini banyak sekali terjadi disini dan banyak yang diam karena merasa tak berdaya,” tutup Emanuella.