Peringatan: Artikel memuat pengalaman traumatis seorang ibu dan proses kehamilannya.
Mimpi Kamti (34) dan suami tak muluk. Menikah, punya anak, menua bersama, hidup bahagia. Kamti menikah dengan Irwan, tetangganya di Sleman, Yogyakarta, pada Desember 2009.
Kamti dan suami tinggal di rumah sederhana milik orang tua Kamti bersama adiknya. Suami Kamti bekerja sebagai petugas kebersihan berstatus kontrak di rumah sakit. Untuk membantu menambal kebutuhan sehari-hari, Kamti bekerja menjadi tenaga dapur di salah satu rumah makan di dekat rumahnya.
Selang satu bulan menikah, Kamti hamil. Namun, kandungannya tak bertahan lama. Juni 2010, anak pertamanya itu meninggal dunia karena kehamilan di luar kandungan.
Kamti merasa tidak pernah ada gangguan selama kehamilannya, begitu juga ia tidak memiliki riwayat penyakit serius.
Ia berduka, tetapi tidak menyurutkan keinginannya untuk tetap memiliki keturunan. Lima tahun kemudian, Kamti kembali hamil. Setidaknya, sampai usia kandungannya memasuki minggu ke-37, semua berjalan lancar.
Akan tetapi, mulai minggu ke-38, Kamti merasa kesakitan pada kandungannya. Kamti menduga ia mengalami kontraksi akan melahirkan. Ia bergegas menuju rumah sakit yang dirujuk BPJS Kesehatan miliknya. RS rujukan itu adalah opsi yang cukup jauh dari tempat ia bekerja. Keterbatasan finansial membuatnya tak memiliki pilihan lain.
Di ruang darurat RS, petugas medis menyatakan kesakitannya bukan karena kontraksi jelang melahirkan. Kamti diminta pulang.
Namun, sakit tak kunjung reda. Kamti kembali ke rumah sakit mencari pertolongan. Kali ini ini menemui dokter kandungan. Dokter kemudian melakukan USG dan menemukan bahwa rahim Kamti robek atau ruptur uteri.
Tindakan darurat dilakukan. Kamti segera diminta untuk melakukan operasi persalinan demi menyelamatkan janin dan dirinya. Jelang operasi, Kamti mengalami pendarahan.
Operasi berhasil dilakukan. Namun, dokter memutuskan untuk mengangkat rahim Kamti. Bayi Kamti juga harus menjalani perawatan intensif karena kekurangan oksigen (asfiksia) tahap berat. Akibat itu pula, bayi Kamti didiagnosis kerusakan otak permanen.
Kamti memberi nama bayinya dengan nama Asifa. Delapan tahun berlalu, tidak banyak perkembangan yang terjadi pada Asifa. Putrinya itu belum mampu berbicara, masih kesulitan mengunyah dan menelan makanan. Ia juga belum bisa bangun dari tempat tidur, hanya mampu memiringkan badan.
Pada sepanjang waktu yang berlalu itu pula, duka dan perasaan bersalah tak pernah pergi dari Kamti. Ia sebenarnya belum sepenuhnya pulih dari kehilangan anak pertamanya. Pilu semakin menjadi manakala ia harus menerima kenyataan bahwa tak ada harapan lagi untuknya hamil kembali.
Sederet pertanyaan berkecamuk. Ia terus berharap bisa mengembalikan waktu dan melakukan semua hal untuk mencegah terjadinya ruptur uteri.
Belum hilang trauma dari kegagalan kehamilan anak pertama, Kamti harus menghadapi kenyataan pilu di kehamilan berikutnya, dan tak ada harapan lagi untuknya hamil kembali.
Di antara patah hatinya, Kamti tetap berupaya memberikan yang terbaik bagi Asifa. Kendati, kecemasan terus menghantui. Kamti cemas apabila ia dan suami tak berumur panjang, lalu siapa yang bisa merawat Asifa.
“Anakku Asifa, terima kasih telah hadir dalam kehidupan kami, terima kasih sudah berjuang bersama. Sehat selalu anakku, Sifa.”
Esai foto ini merupakan bagian dari lokakarya fotografi Setara Bercerita yang diselenggarakan Project M pada 1-3 September 2023. Pelatihan foto diikuti 9 perempuan dan gender minoritas muda di Indonesia.
Mentor: Eka Nickmatulhuda
Artikel ini pertama kali terbit di Project Multatuli. VICE menayangkannya ulang dengan izin.