Pro-Life dan Pro-Choice, Gimana Agama dan Budaya Pengaruhi Pandangan Soal Aborsi

pro-life-dan-pro-choice,-gimana-agama-dan-budaya-pengaruhi-pandangan-soal-aborsi

Media massa dan media sosial beberapa hari terakhir ramai membahas soal aborsi. Ini lantaran akhir Juli lalu pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Polemik pun mengemuka, pro dan kontra mewarnai argumen yang disampaikan warganet. Perdebatan semacam ini kerap muncul saat membahas isu aborsi. Bisa dibilang aborsi adalah salah satu isu dalam feminisme yang sering mengundang polemik.

Aborsi dalam pandangan feminisme disepakati sebagai hak atas tubuh perempuan berkaitan dengan konteks ideologi, politik, dan sosial budaya yang berkembang di lingkup masyarakat sebagai bagian dari warga negara (Deyis, 2021).

Di Indonesia aborsi dipandang dengan lebih moderat. Pada dasarnya aborsi dilarang seperti diatur pasal 463, 464, 465 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Namun pasal 463 ayat 2 UU tersebut mengatur pengecualian atas larangan aborsi. 

Pengecualian berlaku bagi perempuan korban tindak pidana perkosaan atau tindak pidana kekerasan seksual lain yang menyebabkan kehamilan dengan umur kehamilan tidak melebihi 14 minggu. Larangan aborsi juga tidak berlaku pada perempuan yang punya indikasi kedaruratan medis. 

Selain KUHP, pengecualian soal aborsi juga diatur dalam pasal 60 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Baca juga: Dipingpong: Perjuangan Korban Perkosaan Mencari Aborsi Aman

Berbagai negara di dunia punya pandangan berbeda-beda tentang aborsi dipengaruhi oleh faktor sosial. Beberapa waktu lalu tepatnya 4 Maret 2024 misalnya, anggota parlemen Prancis menyetujui rancangan undang-undang yang memasukkan hak aborsi dalam konstitusinya. Dengan begitu Prancis tengah menjadi satu-satunya negara di dunia yang secara gamblang menjamin hak perempuan untuk mengakhiri kehamilan secara sukarela (VoA, 2024).

Sementara di Greenland, anak mudanya sudah mulai berhubungan seks pada usia 14-15 tahun. Statistik nasionalnya menyebutkan 63% anak berusia 15 tahun melakukan hubungan seks secara rutin. Selain itu, perdebatan tentang seks konsensual, kehamilan tidak direncanakan dan aborsi bukanlah hal yang tabu dan bersifat nonetis. 

Sedangkan di Indonesia, masyarakatnya masih menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan yang melarang tindakan aborsi, kecuali jika janin dipertahankan akan membahayakan nyawa ibu atau keduanya. Masyarakat Indonesia umumnya memandang hubungan seks konsensual, kehamilan tidak direncanakan dan praktik aborsi secara sukarela sebagai tindakan tercela (Deyis, 2021). 

Studi oleh Cheng et al., (2024) terhadap 294 orang dewasa di Amerika Serikat menemukan bahwa terdapat tiga faktor lain yang berpengaruh terhadap tindakan aborsi. Pertama empati, makin besar empati terhadap perempuan yang mengandung, makin banyak dukungan terhadap tindakan aborsi. Sebaliknya, makin banyak empati pada janin, dukungan terhadap tindakan aborsi akan minim.

Kedua, Locus of Control (LoC), internal LoC secara positif erat kaitannya dengan kepercayaan keagamaan, dan berhubungan dengan empati terhadap janin yang belum lahir. Sedangkan external LoC berhubungan positif dengan aborsi elektif, aborsi berdasarkan keinginan pribadi tanpa ada dasar urgensi medis.

Ketiga, need for cognition, kebutuhan akan berpikir berhubungan positif dengan dukungan terhadap aborsi mengingat ideologi liberal berkorelasi positif terhadap kebutuhan untuk berpikir secara lebih mendalam.

Aborsi dalam Tightness dan Looseness Culture

Faktor-faktor tersebut menandakan terdapat dua pandangan berbeda di tengah masyarakat global dalam menyikapi persoalan aborsi ini, yaitu pro-life dan pro-choice. Kubu pro-life tidak setuju aborsi dengan dasar pendekatan moral dan religius sebagai basis argumennya. Bagi mereka bayi yang belum lahir merupakan subjek moral dan punya hak untuk hidup sehingga harus dilindungi.

Sedangkan pro-choice meyakini setiap orang punya kebebasan untuk memilih melakukan aborsi, untuk memutuskan kapan dan apakah akan memiliki anak. Perempuan memiliki kontrol atas tubuhnya untuk melanjutkan atau menghentikan kehamilan dengan alasan apapun (Savira & Novianto, 2014).

Kubu Pro-Life Prespektif Tightness Culture

Tightness culture adalah kelompok sosial masyarakat yang budayanya ketat akan norma yang kuat dan memiliki toleransi rendah terhadap perilaku yang menyimpang (Dangl et al., 2011). Dalam budaya yang ketat, nilai religiusitas masyarakatnya cenderung tinggi sehingga memperkuat kepatuhan terhadap konvensi dan aturan moral yang bisa memfasilitasi tatanan sosial. 

Misalnya gereja Protestan Evangelis maupun Gereja Katolik Roma mengajarkan bahwa aborsi dan pengendalian kelahiran adalah dosa—keyakinan yang juga dapat membatasi perempuan dan membatasi mereka pada peran gender tradisional mereka (Qin et al., 2023). 

Sementara itu, Islam menetapkan aturan hukum bagi pelaku aborsi, yaitu Qisas dan Diyat sebagai upaya Islam melindungi nyawa manusia. Para ahli hukum Islam sepakat bahwa haram hukumnya bila melakukan aborsi setelah ditiupkan roh pada janin (janin telah bernyawa) (Mardani, 2021).

Individu dalam masyarakat struktural budaya yang ketat cenderung memiliki regulasi diri terhadap pencegahan perbuatan-perbuatan yang dianggap menyimpang secara norma. Untuk itu mereka akan lebih berhati-hati dan berfokus pada perilaku yang tepat karena tidak ingin dikucilkan dalam masyarakat. 

Jika hal-hal menyimpang telah terjadi, individu yang bersangkutan akan khawatir terhadap diskriminasi sosial. Misalnya saja di Kenya, perempuan-perempuan yang melakukan aborsi memilih pindah sementara atau permanen ke lingkungan baru yang menyebabkan penghidupan mereka menjadi termarginalkan. 

Selain itu, jika masyarakat telah mengetahui bahwa seorang perempuan sudah melakukan aborsi, hal ini akan mengurangi nilai dan kesempatan perempuan tersebut di “pasar” pernikahan. Pasalnya institusi pernikahan sangat berharga dalam kebanyakan masyarakat yang didefinisikan sebagai “ritus peralihan” yang penting ke dalam kehidupan keluarga (Ushie et al., 2019).

Kelompok Pro-Choice Perspektif Looseness Culture

Looseness culture adalah kelompok sosial masyarakat dengan budayanya memiliki norma sosial yang lemah dan memiliki toleransi yang tinggi terhadap perilaku menyimpang (Dangl et al., 2011). Kelompok budaya yang longgar jarang memiliki konsensus moral sehingga keputusan aborsi diserahkan kepada individu. Dan bagi para pemikir relativisme argumen ini dapat meyakinkan dan mengarahkan pada dukungan untuk aborsi yang dilegalkan (Emerson & Emersont, 2016). 

Di negara berkebudayaan longgar (loose) terjadi sosialisasi yang luas, seperti demonstrasi, boikot dan aksi mogok akan lebih sering terjadi karena kebebasan berperilaku yang dijunjung tinggi. Misalnya pawai perempuan dan reli untuk keadilan aborsi di Washington DC pada Oktober 2021 silam. Dalam pawai itu para demonstran memegang berbagai poster bertuliskan “Mind Your Uterus” dan “Legalize Abortion!”. 

Budaya yang longgar memberikan sedikit saja batasan eksternal pada individu tetapi memberikan ruang untuk keleluasaan individu. Merujuk pada Curzon dalam konteks feminist jurisprudence, perempuan memiliki hak atas tubuhnya dan menolak tubuhnya dikendalikan oleh orang luar yang dalam perspektif feminis adalah dunia patriarki laki-laki (Savira & Novianto, 2014).

Dari pro-kontra terhadap aborsi tersebut hendaknya kita sebagai masyarakat Indonesia yang cenderung kepada tightness culture harus bisa mempertahankan cara berpikir yang holistik. Meskipun ada pengecualian terhadap tindakan aborsi berdasarkan beberapa alasan khusus, sepatutnya berbagai kekacauan di tengah masyarakat bisa diminimalkan oleh negara.

Misalnya penutupan situs porno, pengaturan konten media sosial, pengaturan minuman keras. Tidak ketinggalan tanggung jawab selaku individu manusia yang berakal pun harus selalu dimaksimalkan dengan mengimplementasikan nilai-nilai religiusitas dan norma sosial.

Referensi

Cheng, J., Xu, P., & Thostenson, C. (2024). Psychological traits and public attitudes towards abortion: the role of empathy, locus of control, and need for cognition. Humanities and Social Sciences Communications, 11(1). https://doi.org/10.1057/s41599-023-02487-z

Dangl, J. L., Raaijmakers, J. M., Gardener, B. B. M., Thomashow, L. S., Handelsman, J., Consortium, M., Scheper, R. W. A., Schilder, M. T., Silby, M. W., Raaijmakers, J. M., Levy, S. B., Boer, W. D., Pangesti, N., Milliano, M. De, Sharma, N., Vries, R. De, & Schoone, A. H. L. (2011). Cultures : A 33-Nation Study. May.

Deyis, M. R. S. (2021). Polemik Kebijakan Aborsi Berdasarkan Perspektif Feminisme : Studi Komparatif Greenland dan Indonesia. October, 0–11.

Emerson, M. O., & Emersont, M. (2016). Through Tinted Glasses : Religion , Worldviews , and Abortion Attitudes Published by : Wiley on behalf of Society for the Scientific Study of Religion Stable URL : http://www.jstor.org/stable/1386394 Through Tinted Glasses : Religion , Worldviews , and Ab. 35(1), 41–55.

Mardani, M. (2021). Aborsi dalam Perspektif Hukum Islam. Indonesian Journal of International Law, 4(4). https://doi.org/10.17304/ijil.vol4.4.163

Qin, X., Chua, R. Y. J., Tan, L., Li, W., & Chen, C. (2023). Gender bias in cultural tightness across the 50 US states, its correlates, and links to gender inequality in leadership and innovation. PNAS Nexus, 2(8), 1–17. https://doi.org/10.1093/pnasnexus/pgad238

Savira, V., & Novianto, W. T. (2014). Korban Perkosaan Di Indonesia. Recidive, 9(2), 512–513.

Ushie, B. A., Juma, K., Kimemia, G., Ouedraogo, R., Bangha, M., & Mutua, M. (2019). Community perception of abortion, women who abort and abortifacients in Kisumu and Nairobi counties, Kenya. PLoS ONE, 14(12), 1–13. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0226120

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Pro-Life dan Pro-Choice, Gimana Agama dan Budaya Pengaruhi Pandangan Soal Aborsi

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us