Beberapa waktu lalu, konflik rumah tangga yang terjadi antara selebritas Nikita Mirzani dengan anak perempuannya, inisial LM, menyita perhatian warganet di media sosial dan menjadi konsumsi publik, termasuk pembahasan mengenai penyebab konfliknya. Nikita sebelumnya diberitakan melaporkan pacar LM, Vadel Badjideh, yang merupakan seorang dancer, ke polisi atas tuduhan persetubuhan anak di bawah umur.
Saat ini, usia LM baru memasuki 17 tahun, sehingga masih termasuk kategori anak berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak menyebutkan bahwa yang dimaksud anak adalah individu yang berusia di bawah 18 tahun, tanpa memandang jenis kelamin, identitas seksual, agama, suku, budaya dan kondisi fisik/mental. Dalam konteks ini, meskipun dilakukan atas suka sama suka, dugaan persetubuhan yang dilakukan Vadel terhadap LM memang masuk kategori pidana.
Terlepas dari proses hukum yang berlangsung saat ini, kasus tersebut perlu kita jadikan momentum untuk melihat kembali kebijakan perlindungan anak di Indonesia.
Hasil riset oleh tim Kajian Inklusi Fisipol UGM pada 2023–2024 menemukan bahwa masih ada loophole dalam kebijakan perlindungan anak di Indonesia, terutama terkait fungsinya dalam menurunkan kekerasan terhadap anak dan mencegah perkawinan anak.
Riset ini menganalisis potensi eksklusi dalam kebijakan melalui studi kasus dan reviu kebijakan di Kota Yogyakarta dan Makassar. Temuan menunjukkan bahwa banyak kebijakan, termasuk yang mengusung pesan inklusi, masih berpotensi meminggirkan kelompok rentan, seperti anak perempuan.
Potensi eksklusi ini muncul dalam beberapa bentuk: (1) kebijakan yang secara eksplisit mengeksklusi kelompok tertentu; (2) kebijakan dengan celah eksklusi; (3) kebijakan inklusif yang mengeksklusi dalam pelaksanaannya; dan (4) pengabaian konsisten terhadap kelompok rentan. Masalah ini disebabkan oleh proses pembuatan kebijakan yang kurang inklusif, pelaksanaan yang terhambat oleh kebijakan turunan, serta perspektif pelaksana yang tidak inklusif.
Perbaikan kebijakan untuk perlindungan yang lebih efektif masih menghadapi tantangan. Oleh karenanya, perlu kolaborasi antara berbagai pihak terkait dan penting adanya penguatan edukasi di masyarakat untuk isu ini.
Kebijakan perlindungan Anak di Indonesia
Secara garis besar, UU Perlindungan Anak berfungsi untuk memberikan jaminan perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak, termasuk anak penyandang disabilitas. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan bahwa prioritas nasional perlindungan anak meliputi empat isu, yaitu peningkatan peran keluarga dalam pengasuhan anak, penurunan kekerasan terhadap anak, penurunan pekerja anak dan pencegahan perkawinan anak.
Namun, sampai saat ini, kebijakan di atas masih menyisakan celah hukum, khususnya dalam hal penurunan kekerasan seksual terhadap anak dan pencegahan perkawinan anak.
Celah yang dimaksud antara lain muncul karena penerapan UU tersebut mensyaratkan adanya sinergi dan koordinasi antar pemangku kepentingan, dari sisi negara maupun di luar negara. Pemangku kepentingan meliputi pemerintah daerah (lembaga eksekutif maupun legislatif), penegak hukum (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, KPAI, partai politik, organisasi masyarakat sipil (OMS) dan masyarakat pada umumnya.
Pendekatan multiaktor yang memerlukan sinergi dan koordinasi di atas pada praktiknya rumit, terutama karena adanya ketimpangan peran dalam proses penyusunan dan implementasi kebijakan perlindungan anak, ketika peran lembaga eksekutif (termasuk birokrasi di daerah) relatif dominan.
Dalam konteks desentralisasi, ujung tombak implementasi UU Perlindungan Anak diletakkan di daerah. Artinya, capaian kinerja perlindungan anak tergantung pada dinamika politik lokal di masing-masing daerah, sehingga jika peran eksekutif terlalu kuat, berpotensi meminimalisasi peran dari aktor lain, khususnya aktor non-negara untuk berpartisipasi aktif dalam penyusunan dan penerapan kebijakan.
Tantangan implementasi kebijakan
Riset kami mengambil sampel dari dua kota besar, yakni Makassar dan Yogyakarta. Dua kota ini dipilih karena konteks lokal yang berbeda. Kota Yogyakarta, yang heterogen, merupakan bagian dari entitas kultural yang kuat dengan keberadaan Keraton Yogyakarta dan statusnya sebagai daerah istimewa.
Sementara itu, Makassar dipilih sebagai contoh kawasan luar Jawa yang juga heterogen, namun kental dengan adat dan agama. Selain itu, Makassar mencerminkan daerah yang pemerintahannya memiliki status otonomi reguler. Perbedaan status otonomi ini diasumsikan berpengaruh terhadap pola pembuatan dan praktik kebijakan di daerah.
Pemerintah Kota Makassar mempunyai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perlindungan Anak, yang mengatur penanganan cepat, pendampingan psikososial, dan perlindungan anak selama proses peradilan, termasuk dalam kasus kekerasan seksual (anak sebagai korban maupun anak sebagai pelaku).
Sayangnya, Perda ini hanya menyentuh soal perkawinan anak dalam dua pasal yang membahas kewajiban orang tua untuk mencegah perkawinan anak dan larangan pelaksanaannya. Terkait dengan perkawinan dini, walaupun telah dibuat Perwal Nomor 64 Tahun 2019 untuk mengatur pendewasaan usia pernikahan, aturan ini tidak mencakup pencegahan dan deteksi dini, sehingga belum sepenuhnya melindungi anak dari dampak negatif pernikahan dini, khususnya bagi anak perempuan.
Sementara itu, Yogyakarta menerbitkan Perwal Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pencegahan Perkawinan Anak sebagai respons terhadap meningkatnya kasus perkawinan anak. Perwal ini menetapkan upaya pencegahan, termasuk sosialisasi dan penguatan kelembagaan, serta pendampingan bagi anak yang mengajukan dispensasi perkawinan.
Meskipun ada dasar nondiskriminasi dan perlindungan anak, Perwal ini juga memiliki kekurangan. Ketentuan yang melibatkan unsur kearifan lokal justru berpotensi memperlemah hak anak, seperti pada kasus perkawinan anak dalam kondisi si anak sudah hamil. Perwal ini juga belum menjamin hak anak yang menikah untuk menyelesaikan pendidikan dasar, mengakibatkan anak, terutama perempuan, kehilangan kesempatan pendidikan formal.
Perwal tersebut lebih fokus pada penanganan kasus dibanding pencegahan, tanpa adanya sanksi untuk pelanggaran yang berkaitan dengan pemaksaan perkawinan anak, yang menunjukkan kurangnya daya paksa untuk menghindari praktik tersebut.
Dari dua kasus tersebut, riset kami menemukan ada dua isu utama terkait kebijakan perlindungan anak. Pertama, dalam proses penyusunan kebijakan perlindungan anak di tingkat daerah, ada ketidakseimbangan peran antara pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, anggota dewan, organisasi masyarakat sipil, dan pihak-pihak yang dapat merepresentasikan kepentingan anak dalam proses penyusunan kebijakan.
Meskipun ada keterlibatan aktor di luar negara, namun masih sebatas pada partisipasi pada saat dengar pendapat. Akibatnya, isi kebijakan kurang sesuai dengan kebutuhan anak. Dalam konteks ini, pelibatan anak, antara lain mereka yang bergabung di Forum Anak Kabupaten/Kota/Provinsi dapat dilakukan untuk memastikan suara dan kebutuhan mereka tercermin dalam kebijakan yang dihasilkan. Pembuat kebijakan dapat menggunakan instrumen untuk mengidentifikasi kebutuhan anak sesuai dengan usia dan bahasa mereka, serta mengevaluasi dampak kebijakan terhadap kesejahteraan anak.
Kedua, implementasi kebijakan terhambat oleh kurangnya peraturan turunan, termasuk dalam penerapan sanksi dan pidana bagi pelanggar kebijakan. Ketiga, keterlibatan masyarakat dalam mengawal penerapan perlindungan anak, yang sebagian besar berasal dari nilai-nilai budaya dan agama, seperti yang ditemukan di Kota Makassar dan Yogyakarta.
Arah perbaikan perlindungan anak di Indonesia
Pekerjaan rumah yang harus dituntaskan untuk mengoptimalkan perlindungan anak masih besar. Ada tiga hal yang kami tawarkan untuk mendorong perbaikan kebijakan perlindungan anak.
Pertama, penguatan proses pembuatan kebijakan melalui pelibatan perwakilan anak yang memperhatikan keragaman kondisi anak, serta menjadikan anak sebagai subjek dalam kebijakan.
Kedua, peningkatan implementasi kebijakan melalui pembuatan kebijakan turunan dan optimalisasi pembagian kewenangan serta mekanisme sinergi dalam organisasi pelaksana.
Ketiga, edukasi dan sosialisasi mengenai pentingnya perlindungan anak kepada masyarakat. Edukasi dan sosialisasi ini dapat dilakukan oleh pemerintah maupun organisasi masyarakat sipil melalui acara-acara sosial-budaya yang terbuka untuk publik dan diskusi di ruang publik secara daring maupun luring di mana masyarakat luas dapat berbagi informasi dan bertukar gagasan terkait isu-isu perlindungan di berbagai media.
Mengingat beratnya pekerjaan rumah di atas, konflik seperti yang dialami oleh Nikita dan putrinya, seharusnya tidak hanya berhenti sebagai gosip publik.
Konflik tersebut boleh jadi hanyalah fenomena gunung es kasus kekerasan seksual, aborsi anak, dan berbagai pelanggaran atas hak anak lainnya yang masih sangat banyak terjadi.
Berkaca pada kasus tersebut, upaya perlindungan anak melalui kebijakan nasional maupun daerah memang masih mempunyai celah dan tantangan. Untuk itu, kepedulian masyarakat atas topik perlindungan anak tetap perlu diperkuat.
Nindias Nur Khalika dan Rendy Manggalaputra dari Tim Riset Kajian Inklusi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), ikut berkontribusi dalam penelitian dan tulisan ini