Serial ‘Pay Later’: Ketika Perempuan Jadi Objek Konsumerisme dan Seksualitas

serial-‘pay-later’:-ketika-perempuan-jadi-objek-konsumerisme-dan-seksualitas

Cerita dalam serial ‘Pay Later’ diawali ketika Tika Lavenia (Amanda Manopo), melakukan live media sosial menceritakan outfit yang Ia sedang kenakan. Dia tampak memakai blouse formal yang biasa digunakan pekerja kantoran di pusat kota. 

Tika ingin sekali jadi influencer fesyen terkenal suatu saat nanti. Berbagai produk pakaian, sepatu, tas, make up, sampai perawatan diri yang bisa menunjang penampilan, dia jabanin

Beli, beli, beli, soal bayar itu urusan belakangan. Begitulah hari-hari Tika, yang ditampilkan suka ‘lapar mata’ membeli barang-barang menggunakan pay later.  

Saat itu, Tika sedang melamar untuk jadi karyawan tetap di perusahaan pajak. Sebuah pekerjaan yang diimpi-impikan keluarga terutama ibunya, Tantri Hartanto (Rowiena umboh) ingin sekali anak perempuannya itu bisa bekerja kantoran di perusahaan pajak. Dengan begitu, Tika dianggap tidak seperti sebaya di sekitar gang rumah, yang banyak bekerja di hiburan malam atau jadi “simpanan om-om”.

Baca juga: 5 Rekomendasi Film Biar Kamu Makin Paham Soal Child Grooming

Selain demi gengsi keluarga, Tika mau menjalani tes percobaan di kantor pajak itu juga karena tuntutan bayar utang pay later-nya. Jumlahnya mencapai Rp 30 jutaan. 

Setiap hari, Tika dikejar-kejar debt collector untuk segera melunasi utangnya. HP nya seolah tak berhenti berdering karena tagihan berupa SMS ataupun telepon. Bahkan sampai menyasar ke telepon kantor. 

Seorang teman sesama karyawan magang yang dia percayai, Yuli, mengadukan kebiasaan utang pay later Tika ke bos. Tika pun, tak jadi dapat promosi jadi karyawan tetap di perusahaan pajak itu. 

Budiman, seorang klien di kantor pajak yang kenal Tika akhirnya pun memberinya rekomendasi kerja. Dikarenakan Butuh Uang (BU) untuk membayar pay later-nya, Tika akhirnya menerima tawaran itu. Dia baru kemudian tau, ternyata pekerjaannya itu adalah menjadi debt collector di Cicilan Pintar. 

Di sinilah, orang-orang yang Tika kenal itu ternyata banyak juga yang terjerat utang di pinjol. Kebanyakan mereka berutang karena pola hidup konsumtif. Kelanjutan cerita mereka dapat kamu saksikan di serial ‘Pay Later’ dengan 8 episode ini. 

Sepanjang nonton ‘Pay Later’ berikut beberapa hal yang kita bisa pelajari:

‘Lingkaran Setan’ Pay Later Karena Gaya Hidup

Tiap beli-beli barang fesyen yang dia suka, tokoh Tika di serial itu selalu menggunakan sistem pay later. Sebab pikirnya, dia tetap bisa membeli barang “di luar kemampuan finansial” nya dengan cicilan utang.

Satu persatu barang dibeli, tak terasa cicilan dan bunganya sudah membengkak puluhan juta rupiah. Hingga, kebiasaan berutang karena gaya hidupnya itu menjadi “lingkaran setan”. Tika kesulitan keluar dari “lubang utang” karena tingginya bunga dan jatuh tempo yang ketat. 

Dampak lainnya Tika juga diteror oleh debt collector. Bahkan sampai didatangi ke rumahnya dengan menggunakan kekerasan. Padahal sebelumnya, dia baru saja gajian dan malah memborong banyak produk fesyen. Namun mengabaikan cicilan utangnya di pay later

Lagi-lagi, efek candu berutang karena konsumerisme itu sulit dilepaskan jeratnya. 

Ini juga terjadi pada Rizal, teman Tika di kantor Cicilan Pintar, yang berutang pay later senilai puluhan juta untuk gaya hidup pacarnya, Siska. Pun dengan teman Tika lainnya, Didi, yang juga terjerat pinjaman online karena ibunya yang suka membeli barang-barang kebutuhan rumah dengan berlebihan. 

Mereka sulit untuk keluar dari “lingkaran setan” dari pinjaman online itu. Kehidupan mereka pun digambarkan tidak tenang karena setiap saat mendapatkan teror penagihan utang dan tekanan sosial. 

Semua bermula dari pinjaman online atau pay later yang kini begitu mudah diakses. Media sosial yang masif mempromosikan pay later ini juga, menjadi andil keuntungan palsu yang ditawarkan begitu tampak menggiurkan. 

Baca juga: ‘Home Sweet Loan’ Memvalidasi Keresahan Perempuan Pekerja Kelas Menengah

Fenomena penggunaan pay later seperti yang terjadi pada Tika dan tokoh yang ada di serial ‘Pay Later’ bisa saja ada banyak di sekitar kita. Misalnya menggunakan pay later untuk membeli barang di atas kemampuan. Seperti pada produk fesyen, elektronik, sampai tiket konser dan liburan yang harganya melebihi penghasilan.  

Terlebih, tak sedikit diskon gila-gilaan seringnya banyak dijumpai dengan pay later. Seperti ketagihan, pengguna pay later pun terus menerus akan menggunakan jenis pembayaran yang bisa “nanti dulu” ini.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terbaru, memotret fenomena pay later ini mengalami tren peningkatan. Per Agustus 2024, naik nyaris 90% (setara Rp 7,99 Triliun). IDScore mencatat, demografis terbanyak pengguna pay later ini adalah generasi milenial dan gen Z. 

Itu juga terjadi pada tren peningkatan pinjaman online. Data terbaru OJK, per Juni 2024 ada sebesar Rp 66,79 triliun. 

Meski sekilas tampak menguntungkan, kamu perlu memikirkan jangka panjang jika mau menjadikan pay later atau pinjaman online sebagai kebiasaan. Apalagi, jika sekadar untuk memenuhi gaya hidup konsumtif. Sebab, efeknya akan berimbas mulai dari mental sampai sosial. 

Perempuan Dijadikan Objek Konsumerisme dan Seksualitas

Serial ini menunjukkan bagaimana perempuan menjadi sasaran konsumerisme industri patriarki. Tokoh Tika dan Siska seolah-olah perlu untuk tampil “cantik” dengan terus membeli outfit, make up, tas dan sepatu karena konstruksi gender di masyarakat patriarki. Bahwa tiap jengkal tubuh perempuan itu harus disiplinkan dan dimonetisasi. 

Tika yang ingin menjadi influencer fesyen misalnya, harus memoles penampilannya mengikuti standar kecantikan. Serial ini juga masih melanggengkan standar itu bahwa cantik adalah yang putih, tinggi, kurus, dan berpakaian modis. 

Perempuan pun jadi seolah-olah perlu untuk tampil “cantik” dengan terus membeli produk konsumtif. Misalnya, outfit, make up, tas dan sepatu. 

Upaya pendisiplinan tubuh perempuan oleh patriarki ini, kemudian diamplifikasi oleh kapitalis dengan monetisasi. Sehingga, lingkaran konsumerisme ini berujung pada pengaturan tubuh perempuan. 

Selain itu, serial ini juga menggambarkan bagaimana perempuan masih mengalami objektifikasi secara seksual. Ini tampak pada pengambilan angle kamera yang male gaze seperti menyorot payudara pekerja seks yang ada di sekitar rumah Tika. 

Ada juga beberapa kali percakapan melecehkan secara seksual tokoh laki-laki seperti Budiman saat merayu Tika. Hingga, Tika yang menjadi korban kekerasan berbasis gender online (KBGO) saat live medsos. 

Berbagai adegan yang menormalisasi kekerasan seksual dalam serial ‘Pay Later’ ini, mestinya menjadi perhatian bagi industri perfilman. Supaya, serial yang diadopsi dari novel berjudul Pay Sooner or later karya Adrindia Ryandisza ini, tidak hanya sekadar menjadi hiburan yang menyenangkan. Tapi juga edukasi soal dampak ‘Pay Later’ dan punya perspektif perempuan. 

Serial ‘Pay Later’ yang tayang sejak 16 Maret 2024 ini, menghadirkan berbagai tokoh seperti Amanda Manopo sebagai Tika Lavenia, Yoshi Sudarso sebagai Dion Rahman, Dito Darmawan sebagai Rizal. 

Ada juga, Indra Birowo sebagai Sudi, Aming sebagai Tanto, Fajar Sadboy sebagai Umar, Rowiena Umboh sebagai Bu Tantri Hartanto, dan Musdalifah Basri sebagai Didi.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Serial ‘Pay Later’: Ketika Perempuan Jadi Objek Konsumerisme dan Seksualitas

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us