Terlepas dari banyaknya kontroversi yang menyelimuti proses Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 lalu, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berhasil melanggeng sebagai presiden dan wakil presiden periode 2024-2029, seperti yang sudah banyak diprediksi.
Kontroversi yang mungkin akan tercatat sepanjang sejarah adalah bagaimana pencalonan Gibran, putra sulung Presiden Joko “Jokowi” Widodo, sebagai calon wakil presiden dinodai oleh pelanggaran etika yang serius oleh Mahkamah Konstitusi (MK) yang diduga diintervensi oleh Jokowi, praktik nepotisme, dan berbagai dugaan kecurangan.
Patut dicatat bahwa pelanggaran etika memang tidak selalu menimbulkan konsekuensi hukum, tetapi secara teoretis, seharusnya mendapatkan konsekuensi yang lebih berat karena etika posisinya berada di atas hukum.
Banyak pihak yang mendukung pasangan Prabowo-Gibran. Mereka seakan tidak peduli dengan persoalan pelanggaran etika karena menganggap bahwa etika dan prinsip moral yang melandasinya adalah sesuatu yang subjektif sehingga dapat diterjemahkan berbeda oleh setiap orang.
Sebagai seorang akademisi sekaligus peneliti bidang psikologi yang tertarik pada psikologi moral dan kepribadian, saya menawarkan sebuah perspektif bahwa, pada kenyataannya, ada standar moral yang diterima secara universal oleh kebanyakan orang.
Namun, dalam politik praktis, mustahil seseorang bisa bertahan tanpa menjadi Machiavellian, sehingga suka atau tidak suka, pelanggaran mungkin adalah “bagian dari permainan”, selama pelakunya dapat bermanuver dengan hati-hati di sekitar aturan.
Apa itu Machiavellianisme?
Machiavellianisme diambil dari nama Niccolo Machiavelli, filsuf politik Italia yang cukup kontroversial karena kerap menganjurkan untuk melakukan strategi politik apapun demi mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.
Machiavellianisme kemudian menjadi bagian dari “kepribadian gelap”, yakni sifat-sifat yang tidak disukai secara sosial dan bisa menjelaskan munculnya perilaku antisosial. Beberapa riset menemukan keterkaitan antara kepribadian gelap dengan perilaku agresif, baik dalam konteks sehari-hari maupun di ruang siber.
Ironisnya, sifat-sifat dalam kepribadian gelap ini seringkali diperlukan agar seseorang dapat bertahan dari tantangan yang ia hadapi sehari-hari. Inilah mengapa kepribadian gelap disebut sebagai gejala subklinis, karena mencakup sifat-sifat yang tidak diinginkan secara sosial tetapi tidak cukup menganggu sampai seseorang dikatakan memiliki gangguan psikologis.
Orang dengan kecenderungan Machiavellianisme yang lebih tinggi biasanya merupakan individu yang cenderung tidak berperasaan dan sinis, yang tidak ragu untuk memanipulasi orang lain untuk mencapai tujuan mereka. Mereka mahir dalam negosiasi dan membangun koalisi, dan punya bakat alami dalam mengenali metode yang paling efisien dengan konsekuensi yang paling sedikit untuk mewujudkan apa yang mereka inginkan.
Menariknya, dengan dosis Machiavellianisme yang tepat, seseorang dapat menjadi karyawan terbaik di tempat kerja dan bahkan menjadi pemimpin yang karismatik.
Tentang moralitas dan perannya dalam masyarakat
Moralitas telah ada sejak lama dan merupakan alat yang sangat ampuh untuk membuat manusia mau bekerja sama. Meski pada dasarnya manusia selalu mementingkan dirinya sendiri, untuk bertahan hidup sebagai spesies, manusia tetap membutuhkan manusia yang lain.
Para ahli berpendapat bahwa moralitas muncul secara alami dari proses evolusi karena manusia membutuhkannya untuk mendorong kerja sama. Beberapa bagian dari moralitas juga dibentuk oleh interaksi antarmanusia dalam konteks budaya dan sosial tertentu.
Manusia dapat menerjemahkan dan menerapkan prinsip-prinsip moral secara fleksibel tergantung pada kebutuhan mereka. Beberapa keputusan moral kita berasal dari pemikiran reflektif dan mendalam, tetapi sebagian besar keputusan moral kita bersifat spontan dan intuitif.
Bahkan, beberapa orang baru dapat memberikan alasan yang membenarkan keputusan moral mereka, setelah mereka memutuskan bahwa tindakan tersebut bermoral atau tidak.
Meskipun moralitas memainkan peran penting dalam mewujudkan kerja sama di banyak budaya, pertanyaan tentang apakah prinsip-prinsip moral tertentu dapat diterima secara universal masih jauh dari selesai.
Tiga dekade riset dalam bidang psikologi moral yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan ini juga menghasilkan jawaban yang berbeda. Ada yang menyimpulkan bahwa keadilan adalah inti dari moralitas, sementara yang lain berpendapat bahwa menghindari bahaya adalah satu-satunya prinsip moral yang dapat diterima secara universal.
Jonathan Haidt, penulis buku “The Righteous Mind” menolak kedua anggapan ini. Baginya, moralitas terdiri dari enam pondasi moral yang berbeda, yang dikategorikan dalam dua domain besar; etika otonomi dan etika komunitas dan ketuhanan.
Namun, penting untuk digarisbawahi bahwa teori Haidt sangat kontroversial di kalangan peneliti psikologi moral karena kurangnya kesinambungan antara bangunan teoritiknya dengan bukti empiris yang tersedia.
Penelitian yang dipimpin oleh Oliver Curry dari Universitas Oxford, dengan menganalisis 400 dokumen etnografi dari 60 budaya yang tersebar di enam benua, memberikan bukti kuat bahwa peradaban manusia bergantung pada prinsip moral yang dapat diterapkan secara universal.
Penelitian ini menguatkan hipotesis fungsi moralitas sebagai kunci kelangsungan hidup manusia serta menunjukkan bahwa budaya yang berbeda menerapkan prinsip moralitas yang sama untuk mendorong kerja sama antar anggotanya.
Artinya, moralitas bersifat universal, tetapi prinsip-prinsipnya tidak tunggal, dan sangat penting perannya untuk mendorong kerja sama dan mencegah munculnya tindakan yang menguntungkan diri sendiri.
Oleh karena itu, pelanggaran terhadap prinsip-prinsip moral tidak boleh dibiarkan begitu saja karena ia bisa dijadikan alasan seseorang untuk menolak bekerja sama dengan yang lain sehingga dapat merusak tatanan sosial dalam jangka panjang.
Dalam konteks Pilpres 2024, keputusan Jokowi untuk terlibat dalam proses pencalonan Gibran dapat diterjemahkan sebagai perwujudan kasih sayang ayah pada anaknya, dan sesuai riset Curry, tindakan ini dapat diterima secara moral di banyak budaya.
Namun, di sisi lain, tindakan ini juga mencederai prinsip keadilan, karena sebagai kepala negara, Jokowi tidak seharusnya menggunakan kekuasannya untuk menguntungkan diri dan keluarganya. Keputusan yang berat sebelah ini dapat dipersepsikan sebagai tindakan yang buruk secara moral di berbagai budaya.
Berdasarkan contoh di atas, penilaian atas baik buruknya suatu perilaku dapat berbeda tergantung prinsip moral apa yang digunakan untuk menilai perilaku tersebut. Tetapi pertanyaannya, bolehkah kemudian disimpulkan kalau seseorang menginginkan kesuksesan dalam politik praktis, mereka harus punya standar moral yang fleksibel?
Salah kaprah tentang Machiavellianisme
Faktanya, Machiavellianisme sering disalahpahami. Machiavelli sendiri tidak pernah menyarankan agar pemimpin harus menjadi tidak bermoral agar sukses. Ia sekadar menganjurkan bahwa apabila seseorang ingin menjadi pemimpin yang baik, ia harus bersedia melakukan apapun demi kepentingan rakyatnya.
Machiavelli menggunakan Marcus Furius Camillus, seorang diktator Romawi, sebagai contoh kepemimpinan yang ideal. Dia memuji Camillus karena selama berkuasa, ia berani menggunakan metode yang meragukan secara moral dengan cekatan dan penuh kehati-hatian.
Salah satu contohnya, Camillus “mempolitisasi” agama untuk meningkatkan semangat prajuritnya ketika mempertahankan kota Roma dari serangan bangsa Veii dan menolak untuk mengambil anak-anak sebagai tahanan untuk menghindari kritik atas kekejamannya dalam menghukum tahanan dewasa. Menurut catatan Machiavelli, Camillus adalah tipe pemimpin yang bersedia menanggalkan standar moralnya sendiri demi kepentingan publik.
Tetapi perlu dicatat bahwa mengambil keputusan yang semata-mata menguntungkan diri sendiri tetap dianggap salah secara moral, bahkan di mata seorang Machiavellian sejati.
Machiavelli memperingatkan bahwa apabila strategi yang bermasalah secara moral digunakan untuk menguntungkan segelintir orang saja, maka pemimpin tersebut akan termakan oleh keserakahan mereka sendiri. Mereka akan terus menerus merasa takut kehilangan kekuasaannya, meskipun faktanya mereka memiliki kekuasaan yang sangat besar. Pemimpin seperti ini kemudian akan dibutakan oleh ilusi kebesaran dengan berpikir bahwa mereka adalah satu-satunya penyelamat rakyatnya.
Sikap mengagungkan diri sendiri seperti ini akan membuat pemimpin tersebut bersikap kejam terhadap orang yang mengkritik keputusannya, dan akhirnya, berujung pada pengambilan keputusan yang tergesa-gesa dan sembrono. Alih-alih dijatuhkan lawannya, pemimpin ini akan menjatuhkan dirinya sendiri ke dalam jurang sejarah.
Apabila kita merefleksikan kembali mundurnya kebebasan sipil selama lima tahun terakhir kepemimpinan Jokowi sekaligus rekam jejak Prabowo yang buruk dalam kasus-kasus hak asasi manusia di masa lalu, maka sulit membayangkan pemerintahan Prabowo-Gibran ke depan akan diimbangi oleh kekuatan oposisi yang memadai.
Apabila Prabowo dan Gibran mendapatkan kekuasaan yang begitu besar tanpa ada akuntabilitas atas pelanggaran etika yang terjadi, maka semakin besar kemungkinannya mereka terjebak dalam sikap mengagungkan diri sendiri di masa depan.