arievrahman
Posted on July 7, 2022
“Kamu diikutin barong, tuh.” Si mbok yang saya temui secara tidak sengaja malam itu berkata, ujug-ujug, tidak ada angin tidak ada hujan dan tidak ada Pandji yang bersembuyi sambil menunggu untuk berseru ‘Kena deh!’. Hanya ada kita berdua malam itu, remang-remang, ditemani lantunan musik jazz yang mengalun perlahan. “Iya, barong yang ada jubah emasnya itu.”
“Hah, barong?” Saya yang sedang melamun santai sambil membayangkan dipijat di pinggir pantai oleh wanita berbikini sambil diiringi lagu Sway dengan irama marimba tiba-tiba membelalak. Barong, bukankah dia mahkluk menyerupai singa dengan kepala yang berwarna merah dan berbulu putih tebal, yang patung atau lukisannya kerap kita temukan di pura? Lantas, pertanda apakah ini? “Aduh…”
“Tenang, diikuti barong itu pertanda baik.” Mbok mencoba menenangkan saya yang terlihat gusar. Memang, dalam mitologi Hindu Bali, barong kerap dijadikan sebagai simbol kebajikan dan perlindungan terhadap hal-hal yang jahat. Dalam konsep keagamaan, barong terdiri dari dua kata yaitu bar atau bor yang berarti poros dan ong adalah sebutan bagi Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). “Gak apa-apa, dia cuma mau antar kamu balik, memastikan kamu baik-baik saja.”
“Oh, begitu ya, Mbok.”
“Iya, aman kok. Memangnya kamu habis dari mana, kok sampai diikuti oleh barong?”
Tiga Jam Sebelumnya
“Gue mau ajak lu ke tempat yang anti mainstream di Uluwatu.” Aryan menjawab pertanyaan basic saya sebelumnya, yang menanyakan enaknya ke mana lagi kalau mau menikmati sunset di Uluwatu, Bali. Sebelum-sebelumnya, saya biasa mengunjungi Pura Luhur Uluwatu menyaksikan matahari terbenam sambil menonton monyet Pertunjukan Tari Kecak. “Kalau nonton sunset di Pura Luhur, pasti lu sudah bosan, kan?” Tambah Aryan, seakan mengetahui apa yang ada di pikiran kotor saya.
“Lalu, ke mana kita?”
“Lu sudah pernah ke mercu suar belum?” Tanyanya balik, yang saya jawab dengan gelengan. “Terakhir sih cuma lewat mercu yang di Meruya, Yan.”
“Hadeeeeh, ya sudah nanti kita ke sana.”
Rambu Suar Tanjung Mobulu
Mercu suar, atau rambu suar yang dimaksud oleh Aryan, ternyata terletak di sebuah lokasi ketinggian di tepian barat daya Pulau Bali, bukan di pinggiran pantai. Kontur Bali Selatan yang bertebing-tebing dengan pantai yang terletak jauh di bawah tebing, sepertinya membuat Rambu Suar Tanjung Mobulu yang dicat warna putih ini dibangun di atas tebing, menempel dengan kebun milik warga.
Untuk mencapai tempat ini pun sedikit tricky, karena tidak ada papan petunjuk arah yang jelas, juga harus sedikit blusukan mirip Pak Jokowi melintasi jalanan rusak berlubang dengan menggunakan sepeda motor atau berjalan kaki, karena mobil tidak dapat masuk ke area tersebut. Dari Renaissance Bali Uluwatu Resort & Spa tempat saya menginap, perjalanan menuju tempat ini dapat ditempuh dalam waktu 40 menitan, melewati Pura Luhur Uluwatu. Pada lapangan kecil di depan rambu suar, Aryan memarkir Vespa putihnya.
“Dulu kita bisa masuk naik sampai atasnya.” Celoteh Aryan menjelaskan sekilas mengenai bangunan yang dibangun pada tahun 1992 dan sempat mendapat perbaikan pada tahun 2015 ini. “Namun karena sempat viral jadi tempat main dan menonton sunset sekarang bangunan ini ditutup … karena banyak yang corat-coret di temboknya.”.
Vandalisme, atau kegiatan merusak barang-barang maupun karya seni yang bukan miliknya, adalah hal yang saya benci. Hidup sendiri sudah berat, masa masih harus memperberat hidup orang lain, sih? Ya walaupun kadang terbersit keinginan untuk menuliskan ARIEV WAS HERE di setiap tempat yang saya kunjungi, namun selalu saya urungkan, karena tidak membawa pylox.
“Kalau gak bisa masuk, lalu sunset-annya di mana kita?”
“Tenang, ini di sini kita parkir motor saja.” Sahut Aryan, menenangkan. “Lokasi sesungguhnya masih di depan sana. Kita trekking sebentar melalui jalan setapak beberapa ratus meter, menyusuri kebun warga, dan sampai deh ke Tebing Batu Jaran.”
WHAT, TEBING BATU JARAN? Jaran yang berarti kuda? Atau apa? Sebuah nama lokasi yang sepertinya belum pernah saya dengar sebelumnya, walaupun sepertinya tidak begitu asing ketika mendengarnya. Yang jelas, saat itu saya tidak menyangka bahwa niat perjalanan saya ke Bali untuk bersantai sejenak dengan staycation sembari bekerja, malah membawa saya trekking di tempat asing yang terasa familiar ini.
Satu Hari Sebelumnya
Tak ada delay pada penerbangan yang membawa saya kembali ke Bali dari Bandung; akhirnya setelah dua tahun lebih tidak mengunjungi Bali akibat pandemi, saya bisa kembali menginjakkan kaki di Bandara I Gusti Ngurah Rai. Perasaan campur aduk sedikit melanda ketika tiba, bagaimana apabila Bali sudah banyak berubah selama dua tahun ini, bagaimana jika kali ini Bali tidak ‘menyambut’ saya dengan baik?
Di area kedatangan, Aryan sudah menunggu saya dengan dandanan anak motornya. Jaket dan sarung tangan dikenakannya dengan baik, sementara sebuah anting hitam menempel minimalis di cuping telinganya. “Apa kabar lu? Lama gak ketemu, Yan!” Saya menyapanya, menanyakan kabarnya. Sejak berkenalan secara online lebih dari sepuluh tahun silam, saya memang jarang bertemu dengan Aryan, terlebih dia sudah pindah ke Bali lima tahun belakangan, sementara saya justru ditugaskan di Ciamis karena pekerjaan sejak tahun lalu.
Selama beberapa hari di Bali, saya meminta bantuan Aryan yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai teman jalan-jalan di Bali, untuk menemani saya sepanjang perjalanan. Maklum, namanya juga solo traveler. Siang itu, saya berencana makan siang dahulu di Denpasar sebelum check-in di Renaissance Bali Uluwatu Resort & Spa sore harinya. Setelah menitipkan barang bawaan ke mobil jemputan hotel yang akan lebih dahulu berangkat ke Uluwatu, saya dan Aryan pun berkeliling Denpasar dengan vespanya.
Tiga jam kemudian, kami terjebak hujan lebat di Denpasar, yang membuat jadwal check-in saya menjadi mundur ke malam hari. Sementara rencana kunjungan saya ke Roosterfish Beach Club di Pantai Pandawa sore harinya menjadi terpaksa diundur ke hari berikutnya. Aduh, semoga ini bukan pertanda buruk kunjungan saya ke Bali kali ini.
Welcome to Renaissance Bali Uluwatu Resort & Spa!
Dari yang awalnya berpikiran untuk membonceng sepeda motor Aryan ke Uluwatu layaknya pasukan NICA membonceng tentara sekutu kembali ke Indonesia, rencana saya berubah menjadi menggunakan taksi online dari Denpasar ke Uluwatu, akibat hujan lebat yang membuat saya basah kuyup luar dalam. Semoga saja bapak driver-nya tidak marah karena joknya sedikit basah akibat rembesan dari pakaian saya.
Saat itu, yang saya pikirkan adalah bagaimana kalau saya nampak seperti gembel ketika akan check-in di Renaissance Bali Uluwatu Resort & Spa? Sungguh derasnya kucuran air hujan dari langit telah membuat sesuatu yang ada pada diri saya sedikit mengkerut, kepercayaan diri maksudnya.
“Mau check-in atas nama M Arif Rahman.” Saya menyerahkan KTP kepada resepsionis hotel dengan suara yang sedikit bergetar, gemetar karena kedinginan, bukan karena grogi menatap mbak-mbak di meja resepsionis. “Kalau barang-barang tadi sudah diantar lebih dahulu dengan mobil jemputan dari bandara.”
“Baik, Pak, kami cek dahulu, ya.” Balasnya dengan kalem, auranya tenang dan nyaman, seperti tidak peduli akan penampilan saya yang lebih mirip homeless di New York dibanding nasabah prioritas BCA yang sedang check-in di hotel bintang lima. Lima belas detik kemudian, sepasang kartu kamar sudah diberikannya kepada saya. “Silakan, Pak, kamar 3330 ya, executive suite room.”
Executive Suite Room Experience
Dari sekian banyak hotel yang telah diinapi, saya bisa berkata bahwa Executive Suite Room dari Renaissance Bali Uluwatu Resort & Spa ini adalah salah satu suite termewah yang pernah saya tempati. Tone warna minimalis pada interior, paduan hitam kelabu pada lantai, gradasi cokelat pada perabot, dan putih creamy pada dinding menambah kesan elegan kamar berukuran 78 m² ini. Sesekali aksen merah terlihat pada ornamen kamar yang lainnya, untuk menegaskan keberadaannya.
Secara garis besar, kamar ini dapat dibagi menjadi dua bagian utama, ruang tidur dengan king-size bed, dan ruang mandi dengan kamar mandi lega terbuka tanpa sekat yang ukurannya lebih luas daripada kamar-kamar di Kalibata City. Iya, kamar mandi di sini disajikan tanpa pintu dan dengan pemandangan ke arah laut yang lega. Sesekali, kamu bisa melihat pesawat terbang melintas dari kaca jendelanya, walaupun mereka tidak dapat melihatmu yang sedang telanjang bulat berendam di dalam bath tub.
“We travel not to escape life, but for life not to escape us.” Saya membaca kutipan quote traveling yang entah siapa yang memulainya pada sebuah kartu pos yang diletakkan pada meja bar di bawah sepasang buah kelapa muda bertato R – YOU DRIVE ME COCONUTS yang ditemani sebungkus kue kelapa. Dari Simon, Front Office Manager Renaissance Bali Uluwatu Resort & Spa. “Dear Bapak Arif, welcome to Renaissance Uluwatu, where you can play like nobody’s watching.”
Cocok sekali kalimatnya dengan konsep ruangan suite yang dimilikinya, di mana tidak ada sekat dan pintu antar ruangan, yang membuat saya bisa bebas bermain hilir mudik lalu lalang sambil telanjang di kamar dengan leluasa. “We wish you a fantastic discovery with us.” Lanjutnya. Sekarang tinggal saya berpikir, apa saja yang bisa saya discover di sini?
Dinner at Double Ikat Restaurant
Penelusuran pertama di Uluwatu, membawa saya ke sebuah jamuan makan malam fantastis di Double Ikat Restaurant, yang masih tergabung di dalam area Renaissance Bali Uluwatu Resort & Spa. Sebenarnya, saya ingin menyebut malam ini sebagai malam yang romantis, namun saya batalkan karena teman makan malam saya adalah Aryan.
Pelayan restoran datang dengan membawa sebuah ulekan sambal lengkap dengan cabai dan tomatnya, beserta semangkuk kecil aneka keripik seperti ubi merah hingga bayam. “Ini welcome snack-nya, Pak.” Ucapnya, sambil lanjut mengulek. Mengulek sambal, bukan Aryan. “Silakan dicoba, sambil menunggu pesanan utama datang.”
Untuk malam itu, kami memesan menu sharing untuk berdua, yang meliputi bakwan sayur, gado-gado, sate sapi lalah manis, udang bakar Jimbaran, dan jagung bakar sebagai pengganti nasi untuk kami yang sedang lucu-lucunya diet ini. Namun sebelum semua tersaji, ternyata ada satu set appetizer lain yang disajikan, yaitu sepiring kecil lumpia udang mini yang juicy dan segelas mocktail dengan buah nanas sebagai pelengkapnya.
Tak lama, satu persatu menu yang kami pesan datang beriringan dengan mewahnya. Mulai dari bakwan jagung dengan cocolan bumbu kacang pada piring batu, gado-gado dengan telur rebus yang terbelah sempurna, hingga sate sapi, udang bakar, dan jagung bakar yang semuanya disajikan di atas panggangan batu yang menjaganya tetap panas hingga detik terakhir makan malam fantastis tersebut. Favorit saya malam itu, jatuh kepada Udang Bakar Jimbaran yang merupakan udang windu berukuran dua jari orang bule Nigeria, yang dioles bumbu kecap manis dan rempah sebelum dibakar di atas bara api dengan taburan cabai, potekan daun seledri, dan irisan bawang merah.
Semua terasa fantastis malam itu, dan apabila ada penyesalan yang bisa disampaikan malam itu adalah saya menyesal tidak sempat memesan dessert karena sudah sangat kenyang. Juga menyesal karena tidak bisa mengajak Wulan Guritno, alih-alih malah bersama Aryan Gurindam.
Pottery Class, Why Not?
Pagi harinya, saya dijadwalkan untuk ikut pottery class di arena Clay Craft yang masih berada di dekat area restoran. Ini adalah pengalaman pertama saya mengikuti kelas seperti ini, so apabila kamu seperti saya yang juga masih virgin perihal pottery class, maka saya ingin menjelaskan bahwa kelas ini adalah merupakan kelas belajar membuat benda-benda kerajinan tanah liat, yang dalam hal ini adalah membuat peralatan makan seperti piring, gelas, ataupun mangkuk. Bukan membuat Guci Lotus Biru seperti di Komik Tintin.
Yang menarik dari kelas ini adalah … tentu saja cara membuat benda-benda tersebut, di mana kamu akan diminta duduk menghadap pottery wheel, dengan sepasang tangan memegang, atau tepatnya meremas dan memijat sebongkah tanah liat di atas meja putarnya. Sedetik di pottery wheel, mungkin kamu akan merasa seperti seorang DJ yang sedang memainkan turntable di atas panggung disko, minus crowd yang khusyuk bergoyang sambil sesekali meneriakkan namamu, tentu saja.
“Kalau sudah agak keras, ditambah airnya lagi.” Bli Suja, sang instruktur pagi itu mengingatkan. Sesekali, tangannya meremas tangan saya, meminta supaya saya tidak terlalu terburu-buru memutar tanah liat tersebut. “Pelan-pelan saja, dinikmati.” Ucapnya, selaras dengan suasana ruangan yang sedikit temaram. Apabila sayup-sayup terdengar alunan lagu Unchained Melody dari The Righteous Brothers ketika mata kami saling bertatapan, maka bisa dipastikan bahwa itu akan menjadi the most bromance moment for me. Astaghfirullah.
Saya menyelesaikan kelas pagi itu kurang dari satu jam, dengan sebuah mangkuk berulir acak sebagai hasil akhirnya. Untuk dapat membuat mangkok tersebut menjadi siap pakai, ternyata memerlukan waktu dua-tiga minggu untuk dapat selesai dengan sempurna karena harus melewati proses pematangan di dalam oven tembikar, sebelum masuk ke proses coloring dan laminating apabila diperlukan. Sebuah pesan yang mengatakan bahwa hal-hal yang sering kita anggap sepele, terkadang melewati proses yang panjang dan berliku serta penuh pengorbanan, yang mungkin kita tidak menyadarinya.
Breakfast at Clay Craft Restaurant
Setelah menyelesaikan prakarya hasil karya sendiri yang tidak bagus-bagus amat, saya merasakan bahwa ternyata lapar juga ya membuat satu buah mangkuk, gimana kalau tadi rekues belajar bikin tandon air coba? Beruntungnya, tempat sarapan hari itu terletak tepat di hadapan Clay Craft, yang bahkan namanya pun sama, Clay Craft Restaurant.
Sikat!
Terdapat beberapa sektor makanan pada Clay Craft Restaurant ini, mulai dari pastry, dessert, dim sum, egg station, cereal, hingga healthy food seperti fresh juice dan yoghurt. Walaupun lapar combo, mata dan perut, tapi saya mencoba tetap behave di sini, supaya tetap memenuhi kaidah 3B. Bibit Bebet Bobot. Dengan elegan, saya mengambil sedikit demi sedikit makanan dan minuman yang disajikan. Mulai dari beberapa potong dim sum, sepiring egg benedict –makanan yang tidak pernah saya temukan sejak merantau ke Ciamis, sepasang croissant, juga semangkuk kecil yoghurt dan buah segar. Untuk minumannya, saya memilih segelas cappuccino buatan mereka yang numero uno, dan beberapa gelas jus segar.
Dari sekian banyak makanan yang saya coba, yang terbaik jatuh kepada egg benedict dengan poached egg setengah matang yang luber dengan sempurna ke irisan salmon yang diletakan di atas roti tawar yang mempunyai after taste manis di ujung lidah. So yummy! Apalagi kalau dinikmati bersama pasangan, sembari menatap infinity pool dan lautan nun jauh di sana.
Ya walaupun sedang tidak bersama pasangan, tapi ada Aryan, lumayan lah. “Yan, habis sarapan, nanti siangan kita ke Roosterfish yuk.” Ajak saya, yang dibalasnya dengan pose jempol om-om. “Buat ganti intinerary yang kemarin kelewat.”
Lazy Afternoon at Roosterfish Beach Club
Walaupun letaknya berada di Pantai Pandawa, Roosterfish Beach Club sejatinya adalah masih bagian dari Renaissance Bali Uluwatu Resort & Spa. Loh, kok bisa? Well, karena letaknya yang tidak berada di pinggir pantai langsung, maka pihak Renaissance membangun beach club sendiri sebagai fasilitas pendukung untuk tamu-tamu yang menginap yang juga dapat dinikmati khalayak umum. Nice bukan?
Kemudian, karena statusnya yang masih menjadi bagian dari hotel, maka Renaissance Bali Uluwatu Resort & Spa juga menyediakan free shuttle yang dapat kamu pergunakan secara gratis pada jam-jam tertentu. From the hotel lobby straight directly to the beach club in 20 minutes.
Dari pintu masuk, sebuah ruangan luas dengan ceiling tinggi menyambut, dengan beberapa meja kayu yang diapit oleh kursi-kursi rotan, yang nampak nyaman untuk menjamu keluarga bahagia. Sepasang bar berada pada sisi kiri dan kanan, yang satu menyajikan makanan, sementara yang satunya khusus untuk minuman. Saya berjalan melintasi ruangan semi-indoor ini, menuju halaman luas di belakang bangunan, dengan sebuah kolam renang di sisi pantai yang ditemani sebuah bar bernuansa bambu pada sisi kolamnya. Berhubung sudah melakukan reservasi sebelumnya, saya mendapat tempat di sisi kolam renang, tepat menghadap ke arah Pantai Pandawa di kejauhan, yang apabila kamu mau, bisa juga mengeksplorasi pantainya tanpa biaya tambahan lagi.
Untuk siang itu, saya memesan seloyang pizza seafood, sepiring salad, semangkuk kentang goreng, dan juga segelas refresco nanas sebagai teman menikmati hari di Pantai Pandawa sambil ditemani dentuman musik-musik upbeat. Tersedia juga pilihan wine impor, beer dingin, dan berbagai variasi cocktail untuk kamu yang menginginkannya.
Pukul setengah empat sore, saat saya sedang leyeh-leyeh di kursi pantai, busa-busa sabun ditembakkan ke arah kolam renang yang membuat pengunjung berkumpul di dalam kolam sembari bermain busanya. Terlanjur basah ya sudah main busa sekali pikir mereka, mungkin. Sepasang bule juga nampak sibuk berciuman tak memedulikan apa yang terjadi di sana, seolah Bali hanya milik mereka berdua, dan saya yang sesekali memerhatikan mereka. Saat itu, saya masih tak tahu, petualangan apa yang menanti saya di sore harinya.
Sambil iseng, saya bertanya ke Aryan “Yan, enaknya nanti sore ke mana ya buat sunset-an di Uluwatu?”
Satu Setengah Jam Berikutnya
Saya sedikit bersyukur bahwa selama pandemi melanda dua tahun lebih ini, saya banyak melakukan aktivitas fisik yang bukan di atas kasur, melainkan di luar ruangan. Trekking maksudnya. Karena kebiasaan trekking tersebut, saya malah menikmati jalanan tanah sedikit menanjak yang membawa saya blusukan di tengah kebun warga menuju Tebing Batu Jaran. Perjalanan tersebut tidak terasa menyebalkan, melainkan justru sangat menyenangkan. Sebenarnya, sejak pindah ke Ciamis, dan jauh dari Sentul, saya memang sudah tidak rutin trekking lagi, walau memang masih tetap menjaga badan dengan olahraga ringan dan mengatur pola makan.
“Masih jauh, Yan?” Saya bertanya, yang tidak dibalasnya dengan ‘kamu nanyeaaa?‘ “Motor aman kan lu tinggal di rambu suar?”
“Aman, tenang, ini sedikit lagi sampai.” Jawabnya sambil menyibak dahan pohon yang melintang di hadapannya. “Tuh, sudah kelihatan tebingnya.”
Sunset at Batu Jaran Cliff
Matahari belum turun dengan sempurna ketika kami tiba di lokasi Tebing Batu Jaran, sementara sudah terlihat belasan orang yang memadati lokasi tersebut –kebanyakan bule, yang beberapa di antaranya duduk lesehan di atas rumput sambil mengeluarkan perbekalan yang sudah dibawa sebelumnya. Di sana memang tidak ada warung yang menjual makanan dan minuman, untungnya kami sempat mampir ke warung kecil yang ada di pinggir jalan, membeli camilan dan minuman.
“Kita lebih maju lagi yuk!” Aryan melompati bongkahan batu yang ada di depannya. Dengan badannya yang tinggi semampai, hal tersebut tentu bukanlah hal yang susah. Nah saya? Untung sudah cukup kurus saat itu. “Di sana sunset-nya lebih berasa, di pinggir tebing!”.
Debur ombak terdengar nyaring memecah karang dari ketinggian, di lokasi di mana kami memutuskan untuk duduk lesehan, tepat di pinggir tebing dengan pantai yang berada puluhan meter di bawah. “Kalau yang lain itu VIP Class, kita itu kelas festival. Front row!” Aryan berseru.
Sore itu, kami bersiap untuk menikmati salah satu pertunjukan paling megah dari Sang Pencipta. Matahari terbenam, yang tidak bisa diduplikasi oleh siapapun. Sebungkus Cheetoz ada di tangan kanan saya, sementara sebotol Cap Badak ada di tangan satunya lagi, siap menemani kami di barisan depan. Warna indigo-toska yang dihadirkan oleh lautan Bali juga makin menambah istimewa sore itu.
“Pura Luhur Uluwatu kelihatan dari sini.” Aryan menunjuk ke arah tebing lain di sisi kiri Batu Jaran. “Cuma kalau di sana bayar, di sini gratis, hahaha.”.
Tak jauh dari tempat kami duduk, ada juga sebuah pura kecil yang syahdu. “Kalau ini pura apa, Yan?” Saya menunjuk pura tersebut, sebelum menurunkan telunjuk tangan karena merasa ada yang salah dengan hal yang saya lakukan. Aryan cuma menjawab tidak tahu, sementara di kejauhan, langit mulai berpendar dengan warna senjanya, walaupun awan tebal masih menyelimuti di sepanjang horison.
“Kayaknya kita gak dapat sunset, deh.” Aryan berseru beberapa menit kemudian. “Lu lihat saja itu awannya tebal.”
Satu hal yang hampir selalu dapat dipastikan ketika mengunjungi objek wisata alam adalah, kita tidak dapat memaksakan kehendak kita ke alam, karena Tuhan sudah mengatur semuanya. Kabut di puncak gunung, hujan di pantai, ataupun awan tebal menjelang matahari terbenam adalah kuasa-Nya, bukan kita yang bisa merencanakan, pun demikian dengan Mbak Rara.
“Iya gak apa-apa kok, Yan.” Saya menjawabnya lirih “Gue cuma mau nikmatin sore ini saja, terima kasih juga kepada semesta karena dikasih cuaca yang cerah.”
Dua Jam Berikutnya
“Tadi Si Mbok ngomong banyak tentang gue.” Saya bercerita kepada Aryan tentang perjumpaan yang tidak disengaja malam itu. Sedikit heran sekaligus kagum, bagaimana bisa seseorang yang tidak pernah saya temui dan kenal sebelumnya, bisa bercerita banyak tentang diri saya. “Ngomongin kalau gue diikutin barong, ngomongin tentang energi di tubuh gue, sampai ngomongin tentang rezeki gue di tahun depan.”
“Wah terus-terus, apa lagi?” Berbeda dari dugaan saya sebelumnya, bahwa ini tidak akan menjadi topik hangat malam itu, Aryan justru menyambutnya dengan sangat antusias. Dari niat yang sekadar basa-basi setelah seharian pergi bersama, menjadi obrolan spiritual yang lebih intimate, in a good way, di Renaissance Bali Uluwatu Resort & Spa. Malam itu, saya bercerita panjang lebar kepada Aryan tentang pengalaman yang saya dapatkan hari itu, yang secara tak sengaja malah menjadi lanjutan dari perjalanan saya ke Bali dua tahun sebelumnya.
Dari yang awalnya hanya ingin bersantai sejenak dengan staycation sembari bekerja di Bali, ternyata saya justru mendapatkan perjalanan spriritual yang tidak disangka-sangka. Perjalanan yang seolah-olah mengingatkan bahwa saya diminta untuk kembali ke atas, melalui kebetulan-kebetulan yang tidak diduga-duga. Ya memang, tidak ada yang namanya kebetulan kalau semuanya sudah digariskan.
Kalau tidak ke Bali, mungkin saya tidak bertemu Aryan. Kalau tidak kehujanan bersama Aryan di Denpasar, berarti check-in saya di Renaissance Bali Uluwatu Resort & Spa tidak jadi terlambat dan tetap ke Roosterfish Beach Club sore itu. Kalau tetap ke Roosterfish Beach Club pada hari pertama, maka saya bisa jadi tidak ke Rambu Suar Tanjung Mobulu esok harinya. Kalau saya tidak menikmati sunset di Rambu Suar Tanjung Mobulu dan Tebing Batu Jaran saat itu, mungkin saya tidak jadi diikuti barong dan bertemu dengan Si Mbok. Kalau saya tidak bertemu dengan Si Mbok malam itu, berarti tidak akan ada obrolan-obrolan panjang dengan Aryan perihal spiritual dan hal-hal istimewa lainnya yang terkadang tak bisa dijelaskan dengan logika.
“Hmm, mungkin kita memang diminta untuk ketemu, Rif.” Pungkas Aryan, menutup perbincangan kami malam itu. Sebuah penutup yang membuat saya bertanya-tanya kembali kepada semesta, akan kejutan-kejutan apa lagi yang mungkin datang kepada saya di masa depan. Saat itu, saya masih belum menyadari bahwa nama tempat saya menginap selama di Bali, Renaissance, juga berarti kelahiran kembali.
Oh, Bali, terima kasih banyak atas sambutan dan kejutanmu yang sangat istimewa ini. Semoga dapat menjadi petunjuk yang baik bagi hal-hal baik di masa depan. Astungkara.