Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Presiden ke-8 RI Prabowo Subianto disebut menggagas wadah komunikasi presiden terdahulu dengan tajuk “Presidential Club”. Kendati menuai kontra karena dianggap elitis dan hanya gimik semata, wadah itu disebut sebagai aktualisasi simbol persatuan dan keberlanjutan. Saat ditelaah, kiranya memang terdapat skenario tertentu yang eksis di balik kemunculan wacana tersebut.
Jika benar-benar terwujud, Presidential Club inisiasi Presiden ke-8 RI Prabowo Subianto kiranya tak hanya menjadi aktualisasi simbol pemersatu dan keberlanjutan, tetapi turut menjadi instrumen politik tertentu.
Adalah Dahnil Anzar Simanjuntak, juru bicara Prabowo Subianto, yang pertama kali membahas mengenai “klub kepresidenan” itu dalam wawancara virtual dengan Kompas TV pada 29 April lalu.
Saat dikonfirmasi ulang, Dahnil menyanggah bahwa klub tersebut akan dilembagakan secara formal. Menurutnya, frasa klub itu hanya sebagai istilah pertemuan informal rutin RI-1 dengan presiden pendahulu yang merujuk pada The President’s Club di Amerika Serikat (AS).
Setelah ramai menuai respons dari berbagai elite politik maupun analis sebagai apa yang disebut sebagai efek trial balloon, sambutan positif yang hadir kiranya akan membuat peluang pelembagaan “klub” itu secara formal tak tertutup sama sekali ke depan.
Terlebih, jika resistensi dari kubu PDIP mengenai segala hal terkait Prabowo-Gibran mereda, dan Megawati Soekarnoputri berkenan untuk bergabung.
Di titik ini, skenario tertentu agaknya memang dapat dimaknai dari wacana dan implementasi Presidential Club Prabowo untuk menopang kekuasaannya kelak. Mengapa demikian?
Prabowo Tiru Julius Caesar?
Di ranah teoretis, teori realpolitik kiranya dapat digunakan untuk memahami gagasan atau wacana Presidential Club Prabowo.
Realpolitik pertama kali dicetuskan oleh Ludwig von Rochau dalam bukunya yang berjudul Grundsätze der Realpolitik. Dijelaskan bahwa, keputusan-keputusan politik diambil berdasarkan realita keadaan dan kebutuhan yang terjadi, bukan didasarkan pada ideologi semata.
Idealisme abadi disebut tak pernah eksis dalam politik, hanya kepentingan. Tokoh-tokoh yang semula berseberangan, kapanpun dapat menjadi kawan karena kepentingan yang sama.
Konsepsi ini lah yang menjelaskan fenomena di balik Presidential Club Prabowo. Mengingat, penyatuan para presiden terdahulu dalam satu forum bukanlah hal mudah dengan perbedaan kepentingan dan relasi spesifik di antara masing-masing di masa terdahulu.
Praktik dari realpolitik dan penyatuan kekuatan ini sendiri dapat dilacak serta berkaca pada era Yunani kuno.
Negara-kota Athena di bawah kepemimpinan Pericles memberikan contoh penting saat menerapkan kebijakan yang mempromosikan kepentingan Athena sebagai kekuatan dominan di dunia Yunani. Yakni dengan memprioritaskan keamanan kota, kemakmuran ekonomi, dan kemajuan budaya.
Kebijakannya, seperti memperluas kekuatan angkatan laut Athena dan membangun Akropolis Athena, dirancang untuk meningkatkan kekuatan politik dan militer Athena sekaligus memperkuat identitas budaya dan sipilnya.
Dalam prosesnya, Pericles menghimpun semua kekuatan, baik sekutu maupun eks rivalnya.
Demikian pula, di Roma kuno, negarawan dan jenderal Julius Caesar menggunakan pendekatan realpolitik untuk mengonsolidasikan kekuasaan dan memperluas pengaruh Roma.
Melalui kombinasi penaklukan militer, aliansi politik, dan reformasi populis, Caesar berupaya memperkuat posisi Roma di dunia Mediterania dan mengamankan supremasi politiknya sendiri.
Baik Pericles maupun Caesar memprioritaskan kepentingan negara masing-masing sambil memanfaatkan manuver politik dan taktik pragmatis untuk mencapai tujuan mereka, yang menunjukkan prinsip-prinsip realpolitik dalam tindakan.
Lalu, bagaimana proyeksi, pengaruh, serta probabilitas politik andai Presidential Club berhasil terwujud?
Prabowo Terkuat Sepanjang Masa?
Jika memang bertujuan sebagai wadah persatuan dan keberlanjutan, Presidential Club kiranya akan tetap berjalan dengan atau tanpa Presiden ke-5 RI Megawati.
Kendati belum meresponsnya secara langsung, politikus senior PDIP Hendrawan Supratikno mengatakan jika hanya sebatas pencitraan dan gimik, putri dari presiden Indonesia pertama, Soekarno itu dinilai tidak akan tertarik.
Namun, konsolidasi yang terus berjalan jika Presidential Club terlaksana dan berdampak positif, baik secara ideal maupun politis, bisa saja akan mengubah ketidaktertarikan itu.
Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) yang kemungkinan besar akan menyambut baik klub kepresidenan kiranya akan menciptakan tekanan tak terlihat bagi Megawati jika tak ikut join.
Presidential Club, kiranya akan menciptakan invisible pressure atau “tekanan tak terlihat” sebagai strategi politik, yang mengacu pada pengaruh halus dan tidak langsung dan diberikan pada individu atau kelompok untuk menyelaraskan diri dengan agenda atau ideologi tertentu tanpa paksaan maupun instruksi eksplisit.
Andai terwujud dan memiliki implikasi positif, dalam kelangsungannya, Presidential Club akan memberikan tekanan itu melalui sejumlah cara, antara lain social influence atau pengaruh sosial, norma dan ekspektasi, tekanan institusional, hingga narasi media.
Di samping proyeksi ideal pemersatu dan keberlanjutan, Presidential Club juga kiranya dapat menjadi instrumen politik untuk meluluhkan skenario “penyeimbang pemerintah” dengan merangkul pucuk pimpinan dan sosok berpengaruh, dalam hal ini seorang mantan presiden dengan pengaruh politik signifikan.
Jika berhasil dan menyatukan tiga presiden terdahulu, tak berlebihan kiranya untuk menyematkan predikat sebagai presiden dan aktor politik terkuat sepanjang sejarah Indonesia kepada Prabowo Subianto.
Bagaimanapun, menarik untuk menantikan kelanjutan skenario Presidential Club ini, utamanya yang memang berdampak konkret bagi kebaikan bersama dan bukan sebagai ajang konsolidasi yang bermotif kepentingan politik semata. (J61)