Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS) mengamanatkan setiap perguruan tinggi untuk membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (satgas PPKS), tidak terkecuali Universitas Indonesia (UI).
Pelaksanaan amanat Permendikbudristek PPKS di UI mengalami tantangan berat karena minimnya dukungan dari pihak rektor dan jajaran pimpinan UI. Masalah ini sudah tampak sejak proses pembentukan satgas PPKS yang membutuhkan waktu lebih dari satu tahun setelah aturan dikeluarkan, dan upacara pengangkatan yang tidak dihadiri rektor.
Read more: 3 sebab satgas pencegahan kekerasan seksual di universitas rentan derita eksploitasi kerja
Tulisan ini adalah kesaksian tangan pertama untuk menjelaskan pengunduran diri seluruh satgas PPKS UI–yang harapannya dapat menjadi pembelajaran bagi satuan tugas di kampus-kampus lain yang tengah mengemban beban berat mencegah dan mendampingi korban kekerasan seksual.
Kronologi pembentukan satgas PPKS UI
Rektor dan jajaran pimpinan UI baru menindaklanjuti amanat Permendikbudristek PPKS setelah adanya desakan dan tuntutan Aliansi UI Anti-Kekerasan Seksual terhadap rektor UI—lebih dari tujuh bulan sejak terbitnya Permendikbudristek PPKS pada 03 September 2021.
Pada 28 April 2022, pimpinan UI mengumumkan rekrutmen anggota panitia seleksi (Pansel) Satgas PPKS UI. Proses ini berlangsung lebih dari tiga bulan. Pansel PPKS UI, yang bertugas melakukan seleksi calon anggota satgas PPKS UI periode 2022-2024, baru terbentuk pada 18 Agustus 2022.
Semasa pansel PPKS bekerja, pimpinan UI mengeluarkan Peraturan Rektor Universitas Indonesia Nomor 91 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Universitas Indonesia (Pertor PPKS), yang ditetapkan pada 26 September 2022.
Sementara itu, buah kerja pansel PPKS menghasilkan satgas PPKS UI Periode 2022-2024, yang resmi terbentuk pada 22 November 2022, melalui Surat Keputusan (SK) Rektor UI Nomor 2442/SK/R/UI/2023. Terdapat 13 anggota Satgas PPKS UI, yang terdiri dari tiga dosen, tiga tenaga kependidikan, dan tujuh mahasiswa. Artinya, butuh waktu satu tahun lebih bagi UI untuk akhirnya membentuk tim berisi 13 orang tersebut.
Resmi dibentuk tapi minim dukungan
Meskipun Pertor PPKS dan keputusan rektor tentang pembentukan satgas PPKS UI sudah terbit, langkah pencegahan dan penanganan kekerasan seksual tidaklah mudah, bahkan melahirkan situasi rumit yang tidak berujung.
Tampaknya UI belum serius dalam memastikan kampusnya merdeka dari kekerasan seksual. Hal ini terlihat dari ketidaksiapan kampus dalam menyediakan fasilitas-fasilitas pendukung kerja satgas.
1. Absennya sarana prasarana pendukung
UI tidak menyediakan sarana prasarana yang mendukung kerja satgas dalam menjalankan tugas pencegahan dan penanganan kasus-kasus kekerasan seksual dengan baik.
Ruangan satgas baru diperoleh setelah satgas bekerja delapan bulan. Itu pun setelah penanganan sejumlah kasus kekerasan seksual terpaksa dilaksanakan dengan meminjam ruangan di sana-sini, seperti ruang kerja dosen di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya dan Fakultas Psikologi UI, dan bahkan di kantin.
Setelah ruangan satgas tersedia, situasi dan kondisi ruang kerja satgas belum sesuai dengan standar yang memadai untuk kebutuhan penanganan kasus dan perlindungan anggota satgas. Situasi ini bukan saja semakin meningkatkan kerentanan korban dan saksi, namun juga menjadikan anggota satgas menghadapi risiko berbahaya dari terlapor yang agresif.
2. Ketidakpastian anggaran
Rendahnya komitmen pimpinan UI semakin jelas terlihat dalam ketidakpastian anggaran dan rumitnya administrasi pencairan dana remunerasi anggota dan operasional satgas.
Selain itu, fasilitasi kegiatan untuk peningkatan keterampilan dan pemulihan psikologis dari dampak penanganan kasus pada anggota satgas nihil. Anggaran untuk memenuhi kebutuhan penanganan kasus yang sifatnya mendesak bagi para korban, seperti layanan visum dan pendampingan psikologis, tidak diperoleh atau harus menunggu lama karena birokrasi yang berbelit. Tak ayal, penanganan kerap menggunakan dana pribadi anggota.
Padahal, Pertor PPKS UI mencantumkan adanya Pusat Penanganan Terpadu (PPT), yang seharusnya disediakan dan dikoordinir oleh rektorat untuk mengakomodasi berbagai kebutuhan terkait penanganan kasus. Sayangnya, PPT hanyalah pernyataan di atas kertas tanpa realisasi.
Dukungan moril (sayangnya) tidak cukup
Kinerja satgas yang bekerja dengan hati nurani membuahkan hasil. Kepercayaan sivitas akademika UI semakin terlihat melalui besarnya dukungan moril atas kerja satgas dan meningkatnya laporan kasus yang dipercayakan untuk ditangani satgas.
Dalam kurun waktu 15 bulan (1 Januari 2023 – 4 Maret 2024), satgas PPKS UI telah menangani 78 laporan kasus, dengan total 82 terlapor/pelaku dan 86 korban, baik kelompok laki-laki maupun perempuan. Angka ini belum terhitung kasus yang tidak dilaporkan tetapi diketahui satgas. Karena berbasis pengaduan, satgas PPKS baru dapat bergerak jika mendapat persetujuan korban.
Data penanganan kasus juga menunjukkan bahwa seluruh jenis kekerasan seksual sebagaimana tercantum dalam Permendikbudristek dan Pertor PPKS yang menjadi acuan satgas PPKS UI dalam menjalankan peran dan fungsinya, telah terjadi oleh maupun terhadap warga UI.
Ironisnya, kinerja satgas tetap tidak mengubah dukungan universitas. Keterbatasan sarana prasarana mendorong satgas mengembangkan upaya-upaya kerja sama dengan berbagai pihak dan menyediakan kebutuhan operasional dari sumber daya individu anggota satgas sendiri secara swadaya.
Para konselor Fakultas Psikologi UI bahkan bersedia memberikan konseling kepada korban, saksi, dan pelaku secara pro bono (sukarela).
Akan tetapi, sistem kerja demikian bukanlah sistem kerja yang sehat. Selain semakin memperberat kerja satgas, hal ini seolah menormalisasi sikap tak acuh pimpinan UI terhadap tanggung jawabnya pada isu kekerasan seksual.
Komitmen dan keseriusan satgas PPKS UI dalam melakukan penanganan kasus juga memiliki dampak psikologis bagi anggota satgas. Hampir semua anggota satgas PPKS UI periode 2022-2024 mengalami persoalan kesehatan mental karena terpicu atau terdampak kasus-kasus yang telah ditangani.
Sementara itu, pihak universitas tetap menutup mata dan tidak menempuh upaya apa pun untuk melindungi anggota satgas sebagaimana ketentuan Permendikbudristek PPKS. Pasal 37 dalam peraturan tersebut menyebutkan bahwa perguruan tinggi berkewajiban memfasilitasi pelaksanaan tugas dan wewenang satgas yang mencakup:
a. penyediaan sarana dan prasarana operasional;
b. pembiayaan operasional pencegahan dan penanganan;
c. pelindungan keamanan bagi anggota Satuan Tugas; dan,
d. pendampingan hukum bagi anggota Satuan Tugas.
Faktanya, posisi satgas justru dilemahkan di dalam sistem dan struktur yang ada. satgas tidak diperhitungkan sebagai bagian integral dari universitas.
Upaya mengingatkan tanggung jawab pimpinan
Sebagai upaya menggugah kesadaran dan komitmen pimpinan UI, satgas sempat memutuskan menghentikan sementara penerimaan laporan kasus pada Agustus 2023. Satgas PPKS UI juga berulang kali melakukan upaya komunikasi tapi tidak membuahkan hasil. Bahkan, masukan dari tim inspeksi Inspektorat Jenderal (Irjen) Kemendikbudristek pada 12 Oktober 2023 untuk perbaikan ruangan agar sesuai standar, tidak diindahkan.
Puncaknya adalah ketika satgas tiba pada kesimpulan bahwa keadaan ini tidak dapat dilanjutkan. Pada 4 Maret 2024, satgas PPKS UI menyurati rektor UI untuk menyampaikan keputusan penghentian penerimaan laporan hingga 30 Maret 2024. Selama masa itu, satgas mengupayakan penyelesaian kasus-kasus yang tengah ditangani untuk direkomendasikan hasilnya. Dalam rentang waktu 4 Maret 2024 hingga 31 Maret 2024, tidak ada respons atau tindak lanjut dari rektor dan jajaran pimpinan UI.
Satgas pun melakukan refleksi, menimbang dengan penuh kesadaran, dan pada akhirnya membulatkan keputusan untuk mundur meskipun dengan berat hati. Satgas mengembalikan mandat dan menyerahkan kembali tanggung jawab memastikan kampus bebas kekerasan seksual kepada rektor dan jajaran pimpinan UI pada 1 April 2024.
Meninggalkan tanda tanya
Di luar persoalan teknis dan administratif, kekerasan seksual adalah persoalan kemanusiaan yang serius. Semakin banyaknya kasus kekerasan seksual dalam komunitas berpendidikan tinggi seharusnya menjadi keprihatinan bersama
Entah bagaimana nasib dan keberlanjutan pencegahan serta penanganan kekerasan seksual di UI. Padahal, proses merekrut anggota pansel satgas PPKS tidak mudah karena kriteria yang dipersyaratkan Kemendikbudristek amat berat, demikian pula kriteria bagi para anggota satgas PPKS itu sendiri.
Dengan kejadian ini, kalaupun ada orang-orang yang memenuhi syarat, bersediakah mereka mendaftarkan diri sebagai anggota satgas PPKS UI ketika pimpinan universitas bersikap tidak peduli dan menelantarkan satgasnya?