Sudah hampir seratus tahun Amerika Serikat (AS) menjadi negara terkuat di dunia. Mengapa sangat sulit bagi negara-negara lain untuk saingi AS?
Dunia kita sudah merasakan kedigdayaan Amerika Serikat (AS) selama hampir seratus tahun. Beberapa sejarawan bahkan akan sebut kedigdayaan AS sudah dimulai sejak tahun 1898, karena pada saat itu AS berhasil menang melawan Kerajaan Spanyol dan mendapatkan wilayah-wilayah imperialnya di Benua Amerika.
Kedigdayaan ini pun kerap membuat sejumlah orang berkesimpulan bahwa mungkin “kepemimpinan” AS semakin mengarah ke salah satu bentuk hegemoni global terlama dan dalam sejarah. Max Fisher, pengamat politik dari Lowy Institute bahkan pernah dengan berani menyebutkan bahwa AS kini telah menjadi negara paling kuat dalam sejarah manusia.
Kendati pandangan-pandangan ini masih berupa opini subjektif dan butuh banyak pembuktian, kita juga tidak boleh menampik bahwa pengaruh AS memang kini sama sekali tidak ada tandingannya.
Sepanjang sejarah, AS memang kerap dipersepsikan punya rival yang bisa melengserkannya seperti Uni Soviet, dan bahkan Jepang ketika mereka mencapai pertumbuhan ekonomi yang luar biasa saat akhir periode 1980-an. Namun, pada akhirnya semua negara yang digadangkan akan menjadi rival AS tersebut akhirnya terbukti tidak mampu menyaingin Negeri Paman Sam.
Pada era sekarang kita punya Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang juga sering digadangkan bakal jadi the next superpower, tapi, jujur saja hingga saat ini kekuatan RRT masih belum sanggup saingin AS baik dari aspek ekonomi maupun politik.
Dominasi yang overwhelming ini lantas memantik sebuah pertanyaan menarik: mengapa seakan sulit sekali “lengserkan” AS dari tahta hegemoni global?
AS dan Institutional Inertia
Satu hal yang menjadi ciri khas kepemimpinan hegemoni AS dibandingkan dengan negara atau kerajaan-kerajaan lampau adalah AS memiliki pengaruh yang begitu mengglobal, hal ini tentunya bisa diatribusikan sebagai manfaat dari perkembangan zaman dan teknologi, yang telah memberikan dunia sistem keuangan global dan juga institusi-institusi global.
Menariknya, karena hal ini pula hegemoni AS tampaknya mustahil dihilangkan karena sistem yang begitu mengglobal seperti sekarang membawa dampak yang bisa dijelaskan dalam suatu konsep yang disebut institutional inertia.
Herman Aksom dalam tulisannya Institutional inertia and practice variation, menjelaskan bahwa institutional inertia adalah fenomena di mana organisasi atau lembaga sulit berubah atau bahkan enggap berubah karena terperangkap dalam struktur, kebiasaan, atau proses yang dianggapnya sudah stabil. Hal ini dapat menyebabkan penolakan terhadap inovasi atau perubahan, bahkan jika perubahan tersebut dianggap penting atau bermanfaat.
Dalam konteks organisasi internasional, institutional inertia terjadi ketika rutinitas, kebijakan, atau budaya yang sudah ada selama bertahun-tahun menjadi kendala dalam merespons perubahan lingkungan eksternal atau kebutuhan internal yang baru.
Ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk birokrasi yang kompleks, kecenderungan untuk mempertahankan status quo, resistensi terhadap perubahan dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam menjaga kekuasaan atau keuntungan, serta ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi atau tren baru.
Nah, terkait dengan AS, organisasi-organisasi internasional seperti PBB, IMF, dan Bank Dunia pun telah lama didominasi oleh AS dan sekutunya. Struktur kekuasaan yang ada cenderung mempertahankan status quo yang menguntungkan AS. Proses pengambilan keputusan dan kebijakan di dalam organisasi-organisasi ini juga sering kali dipengaruhi oleh kepentingan AS, menciptakan hambatan besar bagi upaya untuk mengubah hegemoni tersebut.
Tidak hanya dari aspek organisasi internasional, dari segi ekonomi, infrastruktur keuangan internasional, seperti dominasi dolar AS sebagai mata uang cadangan dunia, memberikan keunggulan ekonomi dan politik yang besar bagi AS. Ketergantungan global terhadap sistem keuangan dan ekonomi AS menciptakan inertia yang kuat terhadap upaya untuk menggoyahkan hegemoni tersebut. Negara yang digadangkan sebagai pengganti AS seperti RRT saja hingga saat ini masih sangat bergantung kepada dollar.
Lantas, apa kira-kira dampak dari situasi yang seperti ini kepada proyeksi negara adidaya baru di masa depan?
AS Mustahil Dilengserkan?
Karena hal-hal di atas bisa cukup disimpulkan bahwa kalaupun ada negara yang kekuatannya semakin mendekati kekuatan AS, selama ia masih menjadi bagian dari ekonomi dan politik internasional ia tidak akan bisa menggeserkan posisi AS dari “jabatan” adidaya global. Negara penantang seperti RRT misalnya, butuh menciptakan sebuah sistem baru di mana ia tidak bisa dilibatkan dalam permainan hegemoni AS.
Dengan demikian, pernyataan seperti yang diucapkan oleh Max Fisher, seperti yang dikutip di awal tulisan ini, bisa jadi bukanlah sebuah pernyataan yang dilebih-lebihkan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah hegemoni sebuah negara tampaknya sangat-sangat sulit untuk ditantang. Kalau AS menjadi adidaya di zaman yang belum begitu terkoneksi, mungkin AS tidak akan sekuat sekarang.
Dengan adanya efek institutional inertia di dalam organisasi-organisasi internasional, infrastruktur ekonomi dan politik global yang terkait erat dengan kekuasaan AS, serta resistensi terhadap perubahan yang muncul dari berbagai sektor. Karena itu, hegemoni AS kemungkinan besar akan tetap bertahan dalam waktu yang lama. Meskipun mungkin ada pergeseran dalam lanskap geopolitik global, AS tetap akan memainkan peran sentral dalam urusan dunia.
Namun pada akhirnya tentu ini semua hanyalah asumsi belaka. Bagaimanapun juga di dalam politik suatu perubahan sangatlah mungkin terjadi dan bisa jadi kekuatan AS yang begitu dominan pada akhirnya bisa dikikis sedikit demi sedikit di masa depan. (D74)