“Bicara soal ‘cawe-cawe’, kayaknya udah dua tahun ya ngejawab soal ‘cawe-cawe’ ini kan. Kita lihat Pak Jokowi selama proses pemilu tidak hadir di kampanye manapun atau ke kandidat manapun. Dan tidak meng-endorse siapapun bahkan.”
– Faldo Maldini, politikus Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang juga juru bicara Tim Pemenangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dalam acara Panggung Demokrasi yang ditayangkan Metro TV pada 4 Maret 2024.
Faldo menegaskan bahwa Presiden Joko “Jokowi” Widodo tidak pernah melakukan “cawe-cawe”, yang artinya intervensi, termasuk melalui kampanye atau dukungan terhadap kandidat manapun, selama penyelenggaraan Pemilu 2024.
The Conversation Indonesia menghubungi Wawan Kurniawan, peneliti dari Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, untuk menganalisis klaim Faldo tersebut.
Gibran – representasi simbolik dukungan Jokowi
Klaim Faldo tidak benar.
Meskipun Presiden Joko “Jokowi” Widodo telah secara resmi menyatakan bahwa dia tidak ikut berkampanye dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, keterlibatan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden (cawapres) membuat netralitas Jokowi patut dipertanyakan.
Keterlibatan keluarganya dalam perhelatan Pemilu dapat dilihat sebagai bentuk dukungan tidak langsung, yang menunjukkan bahwa dia mungkin tidak sepenuhnya netral terhadap kandidat manapun selama Pemilu 2024.
Dari sudut pandang psikologi politik, keterlibatan Gibran dapat diinterpretasikan sebagai representasi simbolik dari kelanjutan pengaruh politik keluarga Jokowi, yang tentunya dapat memengaruhi persepsi publik terhadap sikap Jokowi.
Representasi simbolik dapat menciptakan Efek Halo, yakni ketika persepsi positif atau negatif terhadap satu aspek tokoh politik (misalnya, keberhasilan Jokowi sebagai Presiden) dapat memengaruhi penilaian terhadap aspek lain (misalnya, kualifikasi Gibran sebagai cawapres). Maka, hal tersebut dapat memengaruhi cara individu atau pemilih memahami dan menilai tokoh atau kelompok politik tertentu. Ini pada gilirannya akan membentuk sikap dan preferensi politik para pemilih.
Sebagai contoh, jika Gibran dianggap sebagai simbol kelanjutan kepemimpinan yang baik dari Presiden Jokowi, hal ini dapat meningkatkan dukungan masyarakat terhadapnya.
Pada akhirnya, keterlibatan Gibran dalam Pemilu 2024 akan lekat dengan adanya dukungan dari Jokowi, terutama jika publik memandang Gibran sebagai perpanjangan dari pengaruh politik Jokowi.
Meskipun Jokowi secara resmi menyatakan netralitas, hal tersebut tidak sepenuhnya tepat. Persepsi publik dapat dipengaruhi oleh tindakan dan interaksi politik yang melibatkan keluarga, yang dapat diinterpretasikan sebagai bentuk dukungan.
Artikel ini merupakan hasil kolaborasi program Panel Ahli Cek Fakta The Conversation Indonesia bersama Kompas.com dan Tempo.co, didukung oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI).