Peringatan Hari Perempuan Internasional bulan Maret ini semestinya menjadi renungan terhadap ketidaksetaraan gender yang merajalela secara global. Berbagai tantangan di sektor-sektor masyarakat, seperti politik, kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan, masih terus dihadapi oleh perempuan. Terutama, perempuan kelompok rentan yang sering terabaikan seperti pekerja migran.
Contoh konkret dari tantangan ini ada dalam dinamika hubungan antara Malaysia dan Indonesia.
Malaysia menjadi magnet penting bagi tenaga kerja atau pekerja migran Indonesia. Sebaliknya, Indonesia menduduki posisi sebagai penyedia tenaga kerja utama bagi Malaysia, yang sebagian besar adalah perempuan. Mereka umumnya bekerja di sektor informal, seperti kebersihan dan perawatan lansia.
Jika menggunakan makna kelas pekerja dalam analisis Marxisme yang dicetuskan Karl Marx, Indonesia adalah salah satu pemasok utama “pasukan cadangan pekerja” yang pekerjanya ditujukan untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja di sektor-sektor dengan kondisi kerja buruk, jam kerja panjang, dan situasi yang sering tidak manusiawi.
Pada praktiknya, para pekerja migran juga rentan menjadi korban perdagangan manusia dan perdagangan seks serta terjebak dalam siklus perbudakan. Ini terjadi mayoritas terhadap pekerja migran perempuan. Mereka juga sering menghadapi eksploitasi dan kekerasan.
Para pekerja migran perempuan menjadi korban ketidakpastian yang disebabkan oleh sistem migrasi dan perekrutan yang cenderung eksploitatif kapitalis, sehingga membuat mereka kehilangan hak-haknya sebagai pekerja.
1. Kondisi kerja dan upah yang tidak pasti
Ketidakpastian dalam kondisi kerja dan upah yang cenderung rendah menciptakan keuntungan bagi pemberi kerja di Malaysia karena biaya tenaga kerja yang lebih murah di Indonesia. Bahkan, terdapat beragam laporan yang menyoroti fakta bahwa gaji para pekerja seringkali tidak dibayarkan..
Selain itu, ditemukan juga laporan yang menyebutkan bahwa sejumlah besar pekerja migran Indonesia diminta membayar sejumlah uang sebagai persyaratan untuk mendapatkan pekerjaan, umumnya melalui agen perekrutan yang mencari pekerja dengan upah rendah dari negara periferi (memiliki kekuatan ekonomi yang rendah) seperti Indonesia untuk dieksploitasi di Malaysia, yang merupakan negara semi-periferi. Para migran terpaksa membayar dan bahkan berutang untuk membiayai perjalanan mereka.
Menurut Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO), 29% pekerja migran perempuan Indonesia di Malaysia mengalami kondisi yang masuk dalam definisi kerja paksa. Kondisi tersebut meliputi tingkat isolasi yang tinggi dan pembatasan kebebasan, seperti kebebasan bergerak, terutama di sektor pekerjaan rumah tangga migran. Mereka juga seringkali tidak memiliki dokumen, tidak terdaftar, dan oleh karena itu rentan karena tidak sepenuhnya dilindungi oleh undang-undang ketenagakerjaan.
Namun, perlu dicatat bahwa bahkan di antara pekerja rumah tangga reguler, ada jumlah yang signifikan yang mungkin tinggal dalam situasi kerja paksa dan eksploitasi. Banyak keluarga di negara seperti Malaysia menggunakan pekerja rumah tangga, seringkali perempuan dari negara seperti Indonesia, karena gaji mereka lebih rendah dibandingkan pekerja lokal.
Praktik tersebut menciptakan eksploitasi bahkan dalam kerangka hukum yang lebih jelas, karena majikan dapat mencoba memaksimalkan keuntungan mereka dengan merugikan hak dan kesejahteraan pekerja rumah tangga.
2. Terjebak utang
Terdapat banyak kasus mengenai buruh migran yang dipaksa berutang kepada majikan atau agensi penyalur tenaga kerja. Banyak dari mereka yang membayar di muka. Artinya, mereka berutang untuk mendapatkan pekerjaan demi mencoba melarikan diri dari kemiskinan di negara asal mereka.
Namun utang tersebut menjadi hambatan yang mencegah para pekerja meninggalkan pekerjaan mereka meskipun telah dieksploitasi, atau bahkan untuk berani menuntut hak-hak dasar mereka. Ini karena ada ketimpangan relasi kuasa antara buruh migran dan majikan.
Melalui agensi, gaji secara otomatis dipotong dari upah pekerja, dan seringkali dokumen seperti paspor disita oleh majikan sebagai jaminan agar pekerja tidak pergi, mengundurkan diri ataupun melarikan diri dari tempat kerja.
Dengan kata lain, utang ini merupakan pedang bermata dua karena buruh migran yang terpaksa berutang untuk bertahan hidup berisiko mengalami siklus eksploitasi yang tak berujung.
3. Ketidakpastian hukum
Para pekerja migran juga menghadapi ketidakpastian di hadapan hukum. Ini terjadi mayoritas melalui penyitaan dokumen pribadi dan diskriminasi gender.
Praktik penyitaan dokumen pribadi, seperti paspor, oleh majikan atau pemberi kerja masih sering terjadi. Dari sudut pandang hukum, hal ini memerlukan perhatian khusus, karena praktik seperti ini tidak hanya akan melanggar hak-hak pekerja tetapi juga berimplikasi secara ekonomi. Terlebih lagi, ini bisa berujung pada pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) internasional.
Penyitaan dokumen semacam itu bisa berdampak sosial terhadap identitas para pekerja perempuan dan anak-anak mereka. Situasi ini dapat berkontribusi pada penciptaan kategori individu tanpa kewarganegaraan.
Selain itu, norma hukum di Malaysia menyatakan bahwa perempuan hamil ilegal untuk menjadi pekerja migran di sana. Ini tentunya menimbulkan kekhawatiran akan diskriminasi gender dan dampak sosial dari ketentuan tersebut, termasuk terjadinya keterasingan.
Secara keseluruhan, berbagai ketidakpastian tersebut memperlihatkan adanya struktur kekuasaan yang mendasari ketidakefektifan sistem.
Perlu adanya pendekatan multidisiplin dan kritis guna memberikan pemahaman menyeluruh tentang dinamika situasi pekerja migran perempuan Indonesia di Malaysia.
Selain itu, penting juga untuk membuka ruang diskusi yang terinformasi dan identifikasi solusi yang mencerminkan prinsip-prinsip keadilan sosial serta penghormatan terhadap HAM.