tirto.id – Matahari sudah condong ke barat, saat ratusan masyarakat berkumpul Lapangan Sepakbola Bawuran, Kapanewon Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Kamis (10/10/2024). Menunggu senja, mereka tumpah ruah tapi bukan menyaksikan pertandingan, untuk turut menghidupi Festival Kebudayaan Yogyakarta (FKY) 2024.
Pembukaan FKY 2024 diawali dengan Pawai Pusaka Warga. Kirab mengusung lima gunungan yang masing-masing mewakili kabupaten-kota di DIY. Tiap gunungan dihiasi oleh beragam isian benda yang dianggap oleh masyarakat sebagai pusaka, sebab telah melengkapi kebutuhan rutinitas sehari-hari.
FKY 2024 mengusung roadmap ‘benda’ dengan tema Umpak Buka yang diselenggarakan pada 10-18 Oktober 2024.
Wakil Gubernur DIY, KGPAA Paku Alam X, membacakan sambutan Gubernur DIY yang berhalangan hadir menyebut bahwa Festival Kebudayaan Yogyakarta tidak hanya sebatas selebrasi budaya.
“Tetapi juga memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan ekonomi, pariwisata, dan pendidikan di Yogyakarta,” ujarnya membaca sambutan di Lapangan Bawuran.
Festival Kebudayaan Yogyakarta memberikan dorongan yang signifikan bagi sektor ekonomi kreatif dan pariwisata, yang berdampak langsung pada masyarakat luas. Festival ini juga telah terbukti menjadi salah satu magnet yang menarik wisatawan, baik dari dalam negeri maupun mancanegara.
“Melalui berbagai program yang ditawarkan, festival ini juga menjadi ruang bagi generasi muda untuk belajar, berinteraksi, dan memahami pentingnya melestarikan budaya sebagai bagian integral dari kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Tidak hanya itu, FKY pun dinilai mampu mempertemukan semua lapisan dan golongan masyarakat dalam merajut kebersamaan dan memperkuat identitas Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan yang inklusif. “Masa lalu dan masa kini menyatu dalam harmoni” sebutnya.
Eni Ermawati (35) jadi salah satu yang bersyukur dengan adanya gelaran FKY. Warga asli Bawuran ini bersama suaminya, Fajar Riyadi, memiliki usaha mikro kecil memengah (UMKM) di bidang kerajinan bambu.
“Alhamdulillah ini ada peningkatan, kalau di adakan event rame (pengunjung membeli),” kata Eni.
Beberapa kerajinan yang dipasarkan oleh Eni dengan merek Fajar Bambu adalah mainan tradisional, kursi, hiasan lampu, dan tirai. Dia berharap, event serupa FKY makin banyak diselenggarakan. Sebab dapat menumbuhkan geliat UMKM.
“Semoga tahun depan kalau ada lagi (FKY) bisa ikut. Saya bukan hanya menjual produk sendiri, tapi juga dititipi sama saudara,” lontarnya.
Sementara bagi salah satu inisiator Bertiga Project, Riri, menjadikan FKY sebagai ajang untuk memperkenalkan dan menyebar informasi terkait kemampuannya menggambarkan. Berkolaborasi dengan PhotoNgeBooth, yang sudah cukup dikenal di Bandung dan Jakarta, Riri dan empat orang temannya menjajal diri.
“FKY sudah terkenal luas banget di Yogyakarta dan sekitarnya. Jadinya komunitas kami, kumpulan orang suka gambar ini, bikin tenan. Kami berharap dari FKY, jadi memiliki dampak untuk bisa dikenal sama banyak orang, kalau di Jogja ada PhotoNgeBooth yang produksi dan kualitas kertasnya bagus,” paparnya.
Riri menjelaskan, PhotoNgeBooth merupakan gambar manual berdasarkan citra atau foto dari pelanggan. Namun, proses menggambar ini hanya membutuhkan waktu 15-30 menit. Sehingga mirip dengan photo booth atau foto boks dengan harga Rp50 ribu sampai Rp125 ribu.
“Sistemnya beli tiket, kirim gambar ke kami, nanti kami akan gambar ngebut. Digambar manual. Kalau dua kepala 15 menit. Maksimal tiga kepala 30 menit,” kata perempuan 24 tahun itu.
tirto.id – Sosial budaya
Kontributor: Siti Fatimah
Penulis: Siti Fatimah
Editor: Anggun P Situmorang