Kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden periode 2024-2029 dalam Pemilihan Umum (Pemilu) bulan Februari silam menutup euforia kontes politik nasional. Kini, perhatian publik mulai beralih ke pertarungan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Namun, narasi keberlanjutan kekuasaan pusat masih tetap menghiasi ruang diskursus politik publik dan berpotensi memengaruhi dinamika kontestasi dan konstelasi politik di level daerah. Sengitnya pertarungan politik utamanya akan terlihat di daerah-daerah dengan kota-kota besar yang padat populasi, seperti di Pulau Jawa, termasuk Jakarta.
Sebagai negara yang menganut sistem pemerintahan daerah berbasis desentralisasi, kepala daerah memiliki peran yang sangat penting dan kinerjanya jauh lebih dekat secara dampak kepada rakyat. Pembagian urusan pemerintahan secara gamblang menempatkan cakupan kerja yang luas kepada kepala daerah melalui urusan pemerintahan yang sejalan.
Dalam Pilkada serentak 2024 yang akan berlangsung bulan Oktober nanti, setidaknya akan ada dua indikasi yang mewarnai diskursus politik, tidak hanya di level daerah saja tetapi juga di level nasional.
Pertama, indikasi adanya kecenderungan pengaruh Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 lalu terhadap konfigurasi kandidasi di daerah. Kedua, kecenderungan bahwa Pilkada ini akan menjadi arena “pertarungan kedua” bagi mereka yang kalah dalam Pemilu 2024.
Pengaruh Pemilu dalam pertarungan Pilkada
Dalam pragmatisme politik, ada yang disebut upaya membentuk keseragaman warna antara pusat dan daerah maupun antara kepala daerah dengan legislatif daerah. Hal ini bukanlah sesuatu yang baru, sebab narasi “satu jalur” sudah pernah berkumandang di Pemilihan Gubernur Bali 2018.
Narasi ini mengusung semangat One Island One Mangement, yaitu Kepala Daerah terpilih_di level Provinsi dan Kabupaten/Kota berasal dari satu partai yang sama. Hal ini berangkat dari pemikiran dan cara pandang terhadap upaya penyelesaian persoalan daerah telah terwakilkan dengan satu partai yang memiliki kesamaan visi dan misi. Keseragaman ini akan terwujud jika setiap daerah dapat didominasi oleh satu partai (dalam kasus ini PDIP) dan “sewarna” dengan istana (yang waktu itu masih harmonis dengan PDIP).
Terbaru, pengusaha sekaligus politikus Jeffrie Geovanie, yang disebut-sebut menjadi “pencari dana” dalam kampanye Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dalam Pemilu kemarin, mewacanakan konsep “Barisan Nasional” sebagai kesinambungan koalisi di daerah. Artinya, ia menginginkan bahwa yang duduk di kekuasaan daerah seharusnya adalah yang menjadi pendukung atau berasal dari kubu pendukung Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Konfigurasi tersebut disebabkan oleh adanya anggapan bahwa jika kepala negara dan kepala daerah berada dalam warna yang sama, maka koordinasi dan afirmasi pengaruh akan lebih mudah dijalankan.
Jika hal demikian dipaksakan terjadi, jelas ini akan mencederai prinsip demokrasi yang menghendaki adanya desentralisasi kekuasaan. Skenario penyeragaman akan menutup kesempatan mereka yang berbeda pandangan untuk berkuasa di level daerah. Pengaruh kekuasaan pada akhirnya akan menjadi tersentralisasi (centralized) dan homogen.
Perlu dicatat bahwa dinamika politik di pusat dan daerah tidak bisa dipaksakan untuk sama. Misalnya, mungkin banyak anggapan bahwa partai Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mustahil berkoalisi dengan nasionalis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di level pusat. Nyatanya, koalisi kedua partai tersebut berjalan mulus di 13 daerah pada Pilkada tahun 2020.
Terbaru, Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep, yang merupakan putra bungsu Jokowi, membuka peluang kerja sama dengan PKS dalam Pilkada 2024. Hal ini merupakan fenomena ekstrem yang tidak terjadi di pusat namun terjadi di level daerah.
Meski demikian, peluang terwujudnya indikasi pertama ini cenderung besar, sebab para kandidat yang diuntungkan secara kesamaan warna politik akan menjual narasi kemudahan koordinasi dibandingkan rencana pembangunan yang konkret.
Aktor politik akan menjual ketakutan dan kekhawatiran pemilih melalui narasi pragmatis. Narasi ketakutan tersebut muncul akibat stigma yang berkembang bahwa daerah yang dipimpin oleh oposisi pemerintah akan mendapat porsi atensi yang sedikit.
Narasi ini akan menipiskan ruang kritis publik terhadap dinamika pilkada. Kemungkinannya, mereka yang “sewarna” akan menang mudah dan mereka yang “berbeda warna” akan dirugikan. Skema ini akan membentuk peta kompetisi politik daerah yang tidak setara.
Arena pertarungan bagi yang kalah Pemilu
Pentas pertarungan Pilkada diprediksi akan menjadi pelarian bagi mereka yang kalah dalam pilpres maupun pileg. Ini karena tidak ada larangan bagi kontestan Pemilu, termasuk calon presiden yang tidak terpilih, untuk terjun dalam kontestasi Pilkada.
Sebagai contoh, capres Anies Baswedan yang kalah dalam Pemilu akan kembali berkompetisi dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta sebagai petahana. Contoh lainnya adalah politikus Faldo Maldini yang sebelumnya gagal dalam Pileg 2024, diisukan akan maju dalam Pemilihan Walikota Tangerang 2024. Selain itu, lima caleg yang kalah dalam Pileg di Nusa Tenggara Barat (NTB) akan bertarung dalam Pilkada 2024.
Politik pelarian semacam ini akan membentuk garis start yang tidak setara dalam pilkada. Sebab, mereka yang telah berkontestasi dalam ajang sebelumnya memiliki tingkat exposure yang lebih besar dibandingkan mereka yang baru bersafari jelang masa pendaftaran Pilkada 2024. Keuntungan ini dapat dimanfaatkan menjadi amunisi untuk memenangkan kontestasi kendati tidak ada jaminan kemenangan di gelanggang pertarungan.
Tentu tidak ada larangan konstitusional untuk hal ini, sebab setiap orang berhak maju selama tidak menabrak aturan yang ditetapkan. Masalahnya, fenomena ini akan memunculkan pragmatisme politik. Mereka yang kandas dalam Pemilu mencari panggung kerja agar namanya tidak tenggelam dalam lima tahun ke depan (menuju Pilpres 2029). Lagi-lagi, Pilkada menjadi jalan mencari batu loncatan untuk melenting ke pentas nasional.
Menantikan kemerdekaan kandidasi dalam Pilkada
Pilkada merupakan aktualisasi dimensi desentralisasi politik (dalam otonomi daerah) yang mengedepankan aspek partisipasi dan representasi. Kandidasi figur diharapkan mampu merepresentasikan kehendak publik daripada sekadar ikut-ikutan warna politik pusat. Perbedaan warna antara pusat dan daerah akan membuka lebar ruang partisipasi multi kelompok dalam pembangunan daerah dibandingkan dengan kondisi politik yang satu warna.
Maka dari itu, kemerdekaan kandidasi dalam pesta politik daerah hendaknya dijauhkan dari upaya unifikasi warna politik maupun nuansa pelarian akibat kalah dalam pilpres. Selain itu, ruang pilkada yang bebas dari naluri pelarian akan menciptakan proses pemilihan pemimpin yang tegas secara sikap dan tidak aji mumpung.
Genuisitas politik daerah semestinya dibiarkan berjalan secara natural tanpa harus sama dengan konfigurasi pusat. Perbedaan warna dalam perpolitikan daerah merupakan peluang bagi aktor politik daerah untuk berkolaborasi, sehingga setiap insan memiliki kesempatan yang sama dalam membangun daerah. Kesamaan garis start proses dalam kontestasi akan turut menciptakan iklim demokrasi yang jauh lebih kompetitif daripada mengakomodir kemungkinan pelarian politik.
Pilkada sudah seharusnya menjadi mekanisme demokrasi yang memperjuangkan kemaslahatan publik. Pilkada bukanlah panggung opera bagi mereka yang pragmatis dan aji mumpung. Eksistensi pilkada sebagai aktualisasi dimensi otonomi daerah diharapkan mampu menghantarkan daerah dalam mencapai ultimate goal otonomi daerah itu sendiri, yakni kesejahteraan rakyat.