Hubungan Standar di TikTok: Bisakah Kita Mencapainya?

hubungan-standar-di-tiktok:-bisakah-kita-mencapainya?

Belakangan, tren konten pasangan ideal sering muncul di fyp (for your page). 

Konten-konten ini dibuat oleh pasangan, maupun influencer yang jenis kontennya adalah memberi tips tentang hubungan yang seolah-olah diyakini paling benar. Dari misalnya bare minimum relationships, tanda pasanganmu serius atau tidak, sampai marriage is scary.

Muncul juga konten yang menilai pasangan dari prank-prank, kayak “Kalo aku minta sesuatu, aku matre nggak?” untuk mengetes pasangan pelit atau tidak. 

Atau orange peel theory yang ngetes pasangan apakah mau mengupaskan jeruk sebagai tanda sayang. Atau keinginan agar pasangan bisa memiliki sifat yang sama persis dengan ayah atau ibunya.

Influencer-influencer pasangan ini bikin hubungannya jadi konsumsi publik. Demi konten date ideas misalnya, mereka rela bikin video di spot-spot romantis. Foto liburan, nongkrong di kafe mahal, dinner yang estetik, semua untuk fyp dan atensi warganet. Akibatnya, hubungan jadi konsumtif, dan kalau ditiru, uang kita akan terus keluar demi konten. 

Selain influencer yang makin tinggi engagement nya, medsos tentu saja ikut untung dari tren ini. Makanya nggak heran, kita bisa merasa capek sendiri: cinta yang dulunya penuh makna, sekarang jadi sesuatu yang dioptimalkan demi like dan share.

Standar Hubungan yang Berevolusi

Pernikahan dan hubungan romantis aat ini telah mengalami perubahan besar dalam beberapa dekade terakhir. 

Dulu, ekspektasi tentang cinta sering berputar di sekitar kesetiaan, kenyamanan finansial, dan peran gender tradisional. Namun, di era media sosial, standar ini mulai bergeser dan berevolusi dengan cepat. TikTok, Instagram, dan platform serupa telah memainkan peran besar dalam membentuk ulang pandangan tentang hubungan yang ideal, terutama di kalangan gen Z.

Munculnya istilah-istilah baru seperti “situationships,” “breadcrumbing,” hingga “cushioning” yang memperlihatkan kompleksitas baru dalam dinamika cinta modern. Istilah-istilah ini seringkali membingungkan bagi banyak orang yang merasa harus bisa memahami dan memainkan peran di dalamnya.

“Situationships,” misalnya, adalah bentuk hubungan romantis tanpa status atau komitmen. 

Baca Juga: Mau Dibawa Kemana Hubungan Ini? Tips Percintaan untuk Anak Muda

“Breadcrumbing” adalah seseorang yang berpura-pura suka dengan memberi perhatian namun lantas menghilang. Dan “cushioning” adalah menjalani beberapa opsi hubungan secara bersamaan, sebagai “cadangan” jika hubungan utama tidak berjalan sesuai harapan.

Namun istilah-istilah lainnya dalam hubungan menurut saya bagus untuk mengenali apakah hubungan sehat atau tidak seperti “ghosting”, “gaslighting” atau “love bombing.” Dan semakin banyaknya pembicaraan seputar toxic relationships menunjukkan bahwa orang menjadi lebih sadar akan pentingnya hubungan yang sehat.

Membuat Ekspektasi kepada Pasangan Semakin Tinggi

Ekspektasi yang tinggi ini berasal dari keinginan kita untuk mengikuti tren, branding diri sendiri, dan bahkan mengejar validasi sosial. Termasuk salah satunya ingin pasangan yang bisa “dipamerkan” di media sosial.

Pada tahun 2014, psikolog Sivan George-Levi, bersama dengan tim peneliti, meneliti tentang rasa berhak secara relasional, persepsi seseorang tentang apa yang pantas mereka dapatkan dari pasangannya. Mereka membaginya menjadi 4 skala:

1. Rasa berhak yang berlebihan atau orang yang berperilaku seolah-olah pasangannya selalu berhutang yang terbaik kepada mereka

2. Rasa berhak mengendalikan perilaku pasangannya terhadap mereka

3. Hak yang terbatas atau orang yang percaya bahwa pasangannya pantas mendapatkan yang lebih baik dari mereka; dan

4. Hak yang tegas atau orang yang membela hak mereka dalam suatu hubungan dengan cara yang sehat

Penelitian menunjukkan semakin besar konflik yang dirasakan tentang apa yang menjadi hak seseorang terhadap pasangannya, semakin rendah kepuasan yang dirasakan pada hubungan tersebut. 

Baca Juga: Hubungan dengan Pasangan Terasa Stagnan, Padahal Terlihat Sedang Baik-Baik Saja, Kamu Relate?

Mengharapkan seseorang untuk memahami dan mengetahui apa yang kita inginkan dalam sebuah hubungan tanpa komunikasi yang jelas adalah tidak sehat, berdasarkan asumsi bahwa “jika dia orang yang tepat, dia akan mengerti tanpa perlu diberi tahu.”

Esther Perel, yang juga seorang konselor hubungan dan pernikahan, menjelaskan dalam blognya, kita memberi beban pada satu orang dengan harapan bahwa mereka akan memenuhi semua kebutuhan kita dan menyediakan semua sumber daya yang dulunya disediakan oleh seluruh desa atau komunitas. 

Akhirnya kita bergantung pada pasangan untuk mendapatkan kasih sayang, dukungan, gairah seksual, dan stabilitas finansial, kita kemudian mulai menggantungkan identitas diri atau, bahkan harga diri kita dari pasangan. Contohnya, kamu akan dikenal orang karena kesuksesan suamimu, bukan karena dirimu sendiri. Dan yang lebih buruk akhirnya kita kecewa karena satu orang ini tidak bisa memenuhi semua ekspektasi dan kita terus-menerus mencari “pasangan yang tepat” yang akan “tahu” apa yang kita inginkan.

Influencer-influencer di media sosial menciptakan gambaran hubungan yang tampaknya terlalu sempurna. Pasangan yang selalu harmonis, selalu tampak bahagia, dan saling memberi kejutan romantis di momen-momen spesial. Realitas seperti ini membuat banyak orang tanpa sadar mematok standar yang sangat tinggi dalam hubungan mereka sendiri. Mereka berharap pasangannya bisa seperti pasangan ideal yang ada di TikTok. Selalu penuh kejutan manis, memahami sendiri tanpa perlu bicara, dan tanpa konflik.

Baca Juga: Gaya Komunikasi Berubah, Tanda Putus Hubungan Sejak Jauh Hari

Semua ini bikin kita mikir ada cara yang “benar” buat jadi pasangan, yang sebenernya cuma mereduksi seseorang jadi prediktif dan bisa diubah sesuai keinginan. Padahal, realita sering jauh dari ekspektasi yang dibangun sama tren ini. Kadang malah bikin kita berharap hubungan yang flawless, tanpa masalah.

Memang selain membuat ekspektasi kepada pasangan semakin tinggi, mengikuti konten-konten tentang date ideas misalnya bisa memberi inspirasi untuk membuat hubungan lebih menyenangkan. Atau membuat konten bersama di TikTok bisa membuat hubungan dengan pasangan semakin hangat, asal dilakukan dengan kemauan bersama dan tidak memaksakan diri. 

Jangan sampai obsesi untuk menciptakan momen-momen yang bisa diunggah di TikTok dapat menyebabkan pasangan kehilangan fokus pada koneksi emosional yang seharusnya lebih penting dalam hubungan. 

Baca Juga: Bukan Sekadar Lucu, Ini Tips Menggunakan Humor dalam Percintaan

Sebelum membandingkan hubungan kita dengan yang kita lihat di media sosial, ajukan pertanyaan pada diri sendiri: apakah konten ini realistis? Apakah ini sehat untuk hubungan saya? Dan apakah ini sesuai dengan nilai-nilai yang saya yakini?

Pada akhirnya, evolusi standar hubungan di era digital ini menuntut kita untuk lebih kritis dalam menyikapi konten yang kita konsumsi di media sosial. Apakah hubungan yang kita lihat di layar benar-benar mencerminkan kenyataan? Atau hanya ilusi yang sengaja diciptakan demi likes dan views

Cinta di era digital mungkin lebih kompleks dari sebelumnya. Tetapi pada akhirnya, hubungan yang sehat dan bahagia tetaplah hubungan yang autentik. Yang tidak diukur oleh jumlah followers atau kualitas foto di feed, melainkan oleh kedalaman koneksi dan rasa saling menghargai dalam kehidupan nyata.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Hubungan Standar di TikTok: Bisakah Kita Mencapainya?

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us