Empat perempuan Aceh sedang mencari binyeut (purun danau), bahan untuk tikar, di sebuah rawa bernama Paya Nie. Di tengah konflik Aceh yang tengah membara, satu sama lain bercerita tentang kehidupan sehari-hari yang mereka alami. Mereka adalah Ubiet, Mawa Aisyah, Cuda Aminah, dan Kak Limah.
Kak Limah memulai ceritanya yang baru saja dapat pelecehan seksual. Seorang laki-laki bernama Mail tiba-tiba muncul di hadapannya, mempertontonkan alat kelaminnya (eksibisionis). Laki-laki itu juga tampak melakukan aksi serupa kepada para perempuan di kampungnya.
Tak hanya melakukan pelecehan seksual, Mail ini juga pelaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Istrinya, Khadijah, seringkali dibuatnya lebam-lebam.
Pernah suatu kali Kak Limah bertanya ke Khadijah, kenapa bisa sampai begitu? Khadijah bilang, gara-gara dia tak dapat memberikan uang rokok yang diminta oleh Mail. Sumbu pendek, Mail pun, tak segan memukuli khadijah berkali-kali di depan anak bungsunya.
Meski mendapat perlakuan itu, lepas dari jerat KDRT juga tak semudah membalikkan telapak tangan. Kekerasan yang dilakukan Mail kepada Khadijah, tak lantas membuatnya menjauh atau berpisah dengan Mail. Tafsir “berbakti pada suami” telah dilanggengkan di masyarakat patriarki untuk membungkam perempuan.
“Almarhum ibuku selalu mengatakan, letak surga seorang istri ada pada kebahagiaan suaminya. Aku tak mau membuat arwah ibuku tak tenang,” ujar Khadijah kepada Kak Limah.
Begitulah sepenggal cerita yang melekat padaku saat membaca novel yang ditulis Ida Fitri, perempuan kelahiran Bireuen Aceh. Novel yang memperoleh Juara 3 Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2023 itu bercerita tentang perempuan Aceh di pusaran patriarki saat masa konflik Aceh.
Baca juga: Maju di Pilkada Aceh, Perempuan Diprotes di Medsos; Padahal Ini Hak Jadi Pemimpin
Di tengah konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan tentara saat itu, para perempuan dan anak-anak harus menghadapi berlapis kekerasan. Nilai-nilai patriarki juga membelenggu mereka.
Dalam tulisan yang ditayangkan Konde.co ‘Perempuan Aceh Bisa Memimpin Pemulihan Pasca Konflik’, KontraS pernah mencatat, selama pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada 1990 sampai 1998, diduga telah terjadi banyak pelanggaran HAM terhadap warga Aceh. Meski operasi itu bertujuan menumpas GAM, menurut KontraS, pada pelaksanaannya ada aktor-aktor keamanan yang diduga melakukan dugaan pelanggaran HAM atas nama operasi keamanan.
KontraS melaporkan “terdapat ribuan orang” hilang serta ditangkap dengan sewenang-wenang. Selain itu, ratusan perempuan diduga mengalami tindak kekerasan seksual oleh aktor keamanan.
Selain cerita Kak Limah, ada pula cerita Ubiet dalam novel itu yang juga menunjukkan bagaimana nilai-nilai patriarki itu dilanggengkan dalam ranah domestik.
Ubiet mengisahkan tentang kakeknya yang masih hidup seringkali memukuli istri dan anaknya. Padahal, sehari-hari istrinya disibukkan mengurus domestik dan mengasuh anak. Sementara kakek itu, jangankan ikut terlibat setara, sekadar membantu membersihkan pipis bayinya saja ogah-ogahan.
Setelah selesai menceritakan segala hal, mereka berempat beristirahat dan makan siang di kawasan rawa tersebut. Kemudian, setelah makan siang barulah kekacauan mulai terjadi, terdengar suara tembakan.
Pada awalnya, mengira bahwa suara tersebut dari arah kampung, tetapi dugaan itu salah dikarenakan baku tembak tersebut terjadi di dekat empat perempuan itu berada dan mereka langsung menunduk, merayap, dan berpencar karena ketakutan.
Kekacauan tersebut terjadi selama berhari-hari dan mengakibatkan Cuda Aminah menghembuskan nafas terakhir. Dia kehabisan darah sebab terkena peluru nyasar yang ditembakkan tentara.
Baca juga: Ayah di Aceh Perkosa Anaknya Hingga Melahirkan, Korban Kesana Kemari Cari Keadilan
Kak Limah selamat, tetapi ditahan serta disiksa oleh tentara bahkan perempuan yang paling muda bersamanya, diperkosa oleh tentara di depan mata Kak Limah.
Ubiet dan Mawa Aisyah selamat karena lebih dulu ditemukan oleh gerilyawan. Akan tetapi, saat di markas GAM tersebut Ubiet mengalami kejadian sangat buruk.
Awalnya, Ubiet berpikir bahwa markas ini merupakan tempat paling aman untuknya disaat baku tembak terjadi di kanan kirinya. Itu karena letak tempat ini sangat tersembunyi dan banyak gerilyawan lengkap dengan senjata. Tapi ternyata, perkiraan tersebut telah dikubur dalam-dalam dan tempat ini merupakan “neraka” bagi Ubiet. Sebab, saat sedang beristirahat, dirinya diperkosa oleh Fajri, yakni teman saat sekolahnya dan kini sebagai algojo gerilyawan GAM.
Dengan gaya bertutur dan bercerita yang menarik, novel tipis ini menyimpan berbagai macam hal yang dapat kita telisik lebih jauh. Utamanya tentang bagaimana nilai-nilai patriarki berkelindan di sekitar kita. Dia menjadi belenggu yang memperparah dampak konflik terhadap perempuan dan kelompok rentan.
Itu bisa terlihat dari berbagai persoalan yang terjadi pada para tokoh perempuan di novel itu. Seperti, pelecehan seksual, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), tak adanya ruang aman untuk perempuan, serta stigma-stigma buruk di masyarakat terkait seorang istri harus “patuh” pada suaminya.
Semua hal tersebut berasal dari budaya patriarki yang telah mengakar di negara ini. Hingga, menyebabkan perempuan sekedar jadi ornamen pelengkap dan dihantui rasa was-was tiap harinya.
Kamu bisa membaca selengkapnya cerita para perempuan Aceh ini di novel ‘Paya Nie’.