Diva Suukyi Larasati, terlihat di Gedung YLBHI, Jakarta, Kamis 5 September 2024. Ia duduk di antara para aktivis HAM.
“Tuntutan saya selalu sama dari dulu, dari saya umur 2 tahun sampai sekarang umur 22 tahun, selesaikan janji-janji kalian yang kalian omongkan kepada ibu saya, bahwa kalian akan menuntaskan kasus abah saya,” kata Diva.
Diva bersama sejumlah aktivis dari berbagai aliansi masyarakat sipil duduk dalam acara konferensi pers 20 tahun pembunuhan Munir di gedung YLBHI, Kamis (5/9/2024). Yang ia maksud dengan kalian, adalah pemerintah.
Diva Suukyi Larasati, merupakan anak bungsu Munir dan istrinya, Suciwati. Sejak September 20 tahun lalu saat umurnya masih 2 tahun, ia harus kehilangan sosok abahnya yang hingga kini tak pernah bisa hidup lagi. Tuntutan Diva dan keluarga Munir masih sama.
“Kalau kalian berani berjanji, menelepon korban, bahwa ‘kami akan menuntaskan’. Bapak Jokowi, Bapak SBY, tolong selesaikan.”
Perjuangan Diva bersama ibunya, Suciwati, tak pernah berhenti hingga kini.
Dalam masa menunggu dituntaskannya kasus yang menyebabkan kematian abahnya, Diva pernah membuat film judulnya “Seandainya” yang masuk nominasi dalam Festival Film Dokumenter (FFD), sebuah festival film dokumenter di Asia.
Ia membuat Seandainya saat berusia 16 tahun sebagai penghormatan terhadap kenangan pada ayahnya, Munir Said Thalib, yang secara tragis dibunuh pada 2004 di atas pesawat ketika Munir melanjutkan sekolah ke Belanda. Diva memimpikan kehadiran ayahnya dalam perjalanan hidup yang harus ia tempuh. Melalui berbagai isyarat, ia mengungkapkan waktu-waktu yang hilang untuk mengenal sang ayah.
Baca juga: Bagaimana Kamu Harus Jadi Anak Muda Di Masa Roti Harga 400 Ribu dan Nepotisme Keluarga Istana?
Saat kelas 1 SMP, bersama Fajar Merah, anak Wiji Thukul, salah satu korban HAM yang hilang hingga kini, pernah mementaskan musikalisasi puisi, ia membacakan puisi karya Mustofa Bisri yang berjudul “Munir.”
“Munir punya makna, di masa kesederhanaan diabaikan, Munir membuktikan kekuatan yang elegan. Di masa para pengecut berlindung pada arogansi kekuasaan, Munir tampil melawan kelaliman…”
20 tahun berlalu, kasus yang menimpa abahnya, tak juga tuntas.
Bukan hanya Diva, banyak penyintas dan keluarga korban pelanggaran HAM masih menanti komitmen pemerintah untuk memberikan keadilan bagi mereka dan keluarga mereka. Fajar Merah yang menunggu ayahnya, Wiji Thukul; Sumarsih yang menunggu dituntaskannya kasus kematian anaknya, Wawan dalam peristiwa Semanggi I; Ho Kim Ngo yang mempertanyakan keadilan buat anaknya, Yun Hap, korban tragedi Semanggi II. Ratusan kali mereka melakukan Aksi Kamisan di depan istana negara, Jakarta.
Kasus pembunuhan Munir, Wawan, dan lainnya, serta penghilangan paksa aktivis seperti Wiji Thukul menjadi satu dari deretan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Beberapa kasus tercatat terjadi di bulan September dan tak kunjung diusut tuntas. Kasus-kasus pelanggaran HAM di bulan September antara lain G30S 1965 dan genosida yang terjadi setelahnya, tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa Semanggi II 1999, dan lain-lain.
Kasus-kasus pelanggaran HAM berikut ini terjadi di bulan September. Peradilannya masih menggantung sejak masa presiden Soekarno, Soeharto, hingga Joko Widodo.
‘September Hitam’ adalah penanda bahwa bulan ini penuh catatan kelam pelanggaran HAM yang tidak kunjung diusut tuntas oleh pemerintah.
Apa saja yang masuk dalam catatan kelam September Hitam?
1965-1966: Gerakan 30 September dan Genosida Pasca-1965
Gerakan 30 September (G30S) 1965 berawal dari penculikan dan pembunuhan beberapa perwira tinggi TNI dan anggota polisi.
Peristiwa ini bukan hanya menjadi titik balik peralihan masa Orde Lama ke Orde Baru. Ia berbuntut panjang menjadi tragedi yang lebih besar dan tercatat sebagai bagian dari sejarah kelam Indonesia.
Pasca-30 September, segala tudingan keterlibatan hingga dukungan terhadap PKI kerap berujung pada kekerasan. Bentuknya beragam: penangkapan tanpa peradilan, penyiksaan, pengasingan, hingga pembunuhan. Para pejabat dan tokoh-tokoh publik juga dituduh terafiliasi dengan PKI dan komunisme. Contohnya penulis Pramoedya Ananta Toer, yang dibuang ke Pulau Buru selama bertahun-tahun. Banyak orang muda pada masa itu juga menjadi eksil selama puluhan tahun di luar negeri karena pemerintah Indonesia tak menghendaki mereka pulang.
‘Pembasmian’ PKI yang terjadi pasca-1965 memakan banyak korban. Para sejarawan sepakat, ada setidaknya setengah juta rakyat Indonesia dibantai sepanjang 1965-1966 akibat tuduhan afiliasi dengan PKI dan komunisme. Banyak perempuan juga ditahan di penjara-penjara di sejumlah daerah. Salah satunya di Kamp Plantungan, Jawa Tengah. Hidup mereka kesusahan dan terpisah dari orang terkasih selama masa penahanan. Setelah bebas, para perempuan penghuni kamp pun bersolidaritas dengan membentuk paduan suara Dialita. Mereka membawakan lagu-lagu yang mereka ciptakan dari dalam penjara.
Tuduhan-tuduhan terkait afiliasi dengan PKI pun meluas. Jejak keterlibatan dengan partai maupun organisasi-organisasi sayap PKI, seperti Gerwani dan Lekra, menjadi alasan penangkapan. Komunisme menjadi sesuatu yang tabu. Orang-orang dituduh PKI atas hal-hal yang kadang tampak tak masuk akal. PKI dan komunisme juga diidentikkan dengan ateisme. Lantas orang-orang yang tidak tampak beragama dengan taat atau menganut kepercayaan tertentu dianggap harus dibasmi.
Baca juga: Magdalena Sitorus, Penulis Kisah-Kisah Perempuan Penyintas 1965
Sudah hampir 60 tahun berlalu. Pemerintah akhirnya mengakui peristiwa 1965-1966 sebagai kasus pelanggaran HAM berat. Namun, pengakuan tersebut berhenti pada permintaan maaf belaka, sedangkan kasus tak diusut tuntas. Korban dan keluarga korban 1965-1966 satu per satu tutup usia.
Meski lama menanti, mereka masih berjuang untuk mendapatkan keadilan bagi diri dan keluarga mereka.
1985: Peristiwa Tanjung Priok
Sebuah tragedi kemanusiaan terjadi di Tanjung Priok, Jakarta Utara, pada 12 September 1984 silam. Peristiwa ini terjadi di masa Orde Baru yang dipimpin oleh presiden Soeharto.
Cekcok antara aparat Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan warga Tanjung Priok berujung penangkapan empat orang. Penahanan mereka memicu demonstrasi warga lainnya yang tidak terima. Mereka menuntut agar keempat orang itu dibebaskan. Para warga yang berdemo kukuh bertahan di lokasi aksi saat disuruh membubarkan diri. Aparat pun membubarkan paksa aksi tersebut dengan tembakan.
Kerusuhan pecah. Selain penembakan, terjadi pembakaran dan perusakan kendaraan hingga gedung-gedung sekitar. Catatan resmi melaporkan setidaknya 24 orang tewas akibat penembakan dan 55 lainnya luka. Namun, temuan tim investigasi kelompok Solidaritas Nasional atas Peristiwa Tanjung Priok (SONTAK) menyatakan korban tewas mencapai 400 orang. Sementara itu, 160 orang ditangkap militer tanpa prosedur maupun surat perintah penangkapan lantaran dicurigai terlibat peristiwa itu.
Tahun ini, peringatan tragedi Tanjung Priok memasuki dekade keempat. Sudah 40 tahun, kejelasan mengenai dalang kasus ini beserta keadilan bagi warga yang menjadi korban, masih tak jelas. Orang-orang yang hilang dalam peristiwa ini pun banyak yang tidak diketahui keberadaannya hingga kini. Alih-alih, para mantan petinggi dan perwira dalam kasus Tanjung Priok justru divonis bebas. Kata ‘maaf’ dari pemerintah saja tidak cukup. Perlu ada pengusutan dan peradilan atas tragedi Tanjung Priok.
1999: Tragedi Semanggi II
Reformasi 1998 berhasil menumbangkan Orde Baru, tetapi juga mengorbankan banyak jiwa dalam perjalanannya. Meski Soeharto telah lengser, mahasiswa dan rakyat masih belum puas melihat tampuk kepemimpinan masih ditempati oleh orang-orang lama. Aksi protes yang dibalas represivitas aparat bersenjata pun memakan korban dalam momen yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Semanggi II, 24 September 1999. Peristiwa ini terjadi setahun setelah Tragedi Semanggi I pada November 1998.
Demonstrasi mahasiswa pada 24 September 1999 adalah bagian dari rangkaian aksi menentang Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (UU PKB) yang telah berlangsung sebelumnya. Lagi-lagi, aksi massa dibalas kekerasan oleh ABRI. Sama seperti yang terjadi pada Tragedi Semanggi I, aparat menembaki mahasiswa dan massa aksi. Di Jakarta, seorang mahasiswa Universitas Indonesia bernama Yap Yun Hap tewas tertembak peluru tajam di depan Universitas Atmajaya. Jenazahnya baru ditemukan kawan-kawannya di kamar jenazah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada 25 September 1999.
Tidak hanya di Jakarta, demonstrasi penolakan UU PKB juga berlangsung di beberapa daerah lainnya. Aksi-aksi tersebut juga dihadapi secara represif dan menimbulkan korban jiwa. Pada 28 September 1999, dua orang mahasiswa Universitas Lampung, Muhammad Yusuf Rizal dan Saidatul Fitriah, tewas tertembak di depan Koramil Kedaton. Sedangkan di Palembang, 5 Oktober 1999, Meyer Ardiansyah (Universitas IBA Palembang) tewas tertusuk di depan Markas Kodam II/Sriwijaya.
Baca juga: Aktivis Perempuan: Jangan Lupakan Perkosaan dan Pelanggaran HAM 98
Tim Pencari Fakta Independen atas peristiwa Semanggi II telah melakukan laporan-laporan temuan. Namun hingga kini belum ada kejelasan hukum atas pelaku penembakan. Tewasnya Yun Hap dalam Tragedi Semanggi II meninggalkan luka mendalam bagi keluarganya, terutama sang ibu, Ho Kim Ngo.
Ia dan Maria Katarina Sumarsih, ibu Bernardinus Realino Norman Irmawan alias Wawan yang jadi korban Tragedi Semanggi I, sempat melayangkan gugatan terhadap Jaksa Agung Republik Indonesia ST Burhanudin ke PTUN Jakarta. Pasalnya, pihak Jaksa Agung dianggap menghalangi keluarga korban untuk menuntut keadilan. Pada 4 November 2020, PTUN akhirnya menyatakan ST Burhanudin melakukan perbuatan melawan hukum.
Sudah 25 tahun berlalu. Namun Tragedi Semanggi II masih bernasib sama seperti kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang menggantung. Pemerintah mengakui dan meminta maaf atas kasus tersebut, tapi tidak menunjukkan niat untuk mengusut kasus hingga tuntas.
2004: Pembunuhan Munir
Pada tanggal 7 September 2004, aktivis HAM Munir Said Thalib meninggal dunia. Munir, salah satu pendiri Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), tewas diracun senyawa arsenik saat berada di pesawat Garuda Indonesia GA-974 menuju Amsterdam, Belanda.
Munir telah mengadvokasi berbagai kasus pelanggaran HAM sejak zaman Orde Baru. Beberapa kasus yang ditanganinya yaitu pembunuhan petani oleh TNI di Waduk Nipah, Banyuates, Sampang; penembakan di Bangkalan; peristiwa Tanjung Priok 1984; dan penghilangan paksa para aktivis HAM pada periode tahun 1997-1998. Munir juga aktif mengawal kasus pembunuhan aktivis buruh Marsinah pada 1994, yang juga belum tuntas hingga kini.
Aktivisme Munir pula yang kemudian menjadi motif pembunuhannya. Tewasnya Munir menjadi salah satu kasus pelanggaran HAM lainnya yang masih menggantung untuk diselesaikan.
Kasus Munir sempat berlanjut ke proses hukum. Rangkaian peradilan digelar, beberapa tersangka dihadirkan. Di tahun 2004, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menjabat sebagai Presiden waktu itu, membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) melalui Keppres Nomor 111 Tahun 2004. Namun, hasil penyelidikan TPF tidak pernah dipublikasikan oleh pemerintah. Bahkan, ketika tahun 2016 Komisi Informasi Publik (KIP) mendesak pemerintah untuk mengumumkan laporan TPF, dokumen penyelidikan justru dinyatakan hilang.
Seluruh proses peradilan juga tak lepas dari kontroversi. Misalnya, Mayjen (Purn.) Muchdi Purwoprandjono divonis bebas, kendati ia diduga kuat merupakan dalang pembunuhan Munir. Tahun 2024 menandai 20 tahun sejak kematian Munir, tapi pemerintah masih belum menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan kasus tersebut.
2015: Pembunuhan Salim Kancil
Seorang petani di Lumajang, Jawa Timur bernama Salim Kancil tewas mengenaskan pada 26 September 2015. Kasus Salim Kancil menambah panjang daftar pelanggaran HAM yang tidak diusut tuntas oleh pemerintah.
Diketahui, Salim Kancil dikeroyok sekitar 40 orang menggunakan senjata tajam, batu, hingga kayu. Tidak hanya itu, Salim juga diseret hingga 2 kilometer menuju balai desa. Di sana, ia kembali disiksa hingga meninggal dunia. Kawannya, Tosan, juga mengalami hal serupa. Tosan selamat dari maut karena berpura-pura meninggal setelah dianiaya.
Pembunuhan Salim Kancil diduga terkait dengan protesnya menolak kegiatan tambang pasir. Salim dan Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Selok Awar-Awar, merasakan kerusakan lingkungan akibat aktivitas penambangan di sana. Salim berjuang menuntut tanggung jawab atas rusaknya saluran irigasi persawahan hingga gangguan kegiatan pertanian akibat pengerukan pasir di Selok Awar-Awar.
Pelaku penganiayaan Salim Kancil telah ditangkap. Namun, penegakan hukumnya ganjil. Dua orang yang diketahui sebagai dalang dan pelaku pembunuhan Salim Kancil hanya divonis 20 tahun penjara. Hukuman tersebut tidak sepadan dengan penyiksaan dan pembunuhan terencana terhadap aktivis lingkungan tersebut. Selain itu, pengadilan kasus Salim Kancil tidak mengungkap pemilik tambang-tambang yang diprotes olehnya. Kasus Salim Kancil menjadi pengingat suram bahwa aktivisme memperjuangkan keadilan lingkungan kerap dihadapkan pada kekerasan saat mengusik penguasa dan pemodal.
2019: Brutalitas Aparat di Aksi #ReformasiDikorupsi
Masih begitu lekat di ingatan, seluruh elemen masyarakat turun ke jalan dalam aksi #ReformasiDikorupsi pada September 2019. Aksi ini terjadi tak lama setelah Jokowi memasuki periode ke-2 sebagai presiden.
Kemarahan rakyat memuncak kala pemerintah mengajukan pembahasan Omnibus Law dan sejumlah RUU bermasalah lainnya tanpa melibatkan publik. Padahal, Omnibus Law dikritik keras lantaran tidak berpihak kepada rakyat hingga lingkungan. Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) yang ditengarai melemahkan KPK sebagai lembaga anti-korupsi juga memicu protes.
Demonstrasi besar berlangsung di berbagai kota di Indonesia. Mahasiswa, buruh, perempuan, kelompok marjinal, hingga siswa sekolah melebur dalam aksi massa. Namun, aksi ini diiringi represi dari aparat, yang menggunakan kekerasan saat memaksa massa aksi untuk bubar. Polisi melakukan penganiayaan hingga menembakkan gas air mata ke massa aksi, sehingga banyak orang terluka. Brutalitas aparat tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga di kota-kota lainnya. Polisi bahkan konon menggunakan gas air mata kedaluwarsa untuk menghadapi massa yang terdiri dari rakyat sipil.
Korban jiwa berjatuhan. Di Sulawesi Tenggara, dua mahasiswa bernama Randi dan Yusuf Kardawi tewas akibat luka tembakan peluru tajam. Sedangkan di Jakarta, brutalitas polisi menyebabkan pemuda bernama Maulaya Suryadi serta dua pelajar, Akbar Alamsyah dan Bagus Putra Mahendra, meregang nyawa.
Represivitas itu juga menimbulkan ratusan korban luka-luka. Sejumlah demonstran sempat dinyatakan hilang saat kerusuhan pecah. Wartawan juga dihalang-halangi untuk meliput hingga mengalami penganiayaan kendati mengenakan identitas pers. Deretan catatan kekerasan saat aksi #ReformasiDikorupsi menjadi pelanggaran HAM lainnya yang harus dipertanggungjawabkan pemerintah.
2020: Pembunuhan Pendeta Yeremia
Pendeta Yeremia Zanambani adalah pimpinan Umat Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII). Pada 19 September 2020, istrinya menemukannya tewas dengan luka tembak dan luka tusuk di kandang babi. Ia dibunuh di Kampung Hitadipa, Distrik Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Pembunuhan pendeta Yeremia menggegerkan Indonesia. Yeremia dikenal vokal dalam mengkritisi kehadiran militer di Hitadipa. TNI sempat menyebut bahwa Yeremia ditembak kelompok kriminal bersenjata (KKB). Namun, berdasarkan keterangan juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Sebby Sambon, Yeremia dibunuh aparat TNI.
Pada Oktober 2020, pemerintah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki kasus kematian Yeremia. Laporan TGPF menemukan dugaan keterlibatan aparat keamanan dalam pembunuhan Yeremia. Namun, pemerintah masih belum menindaklanjuti hasil penyelidikan tersebut.
Selain kasus kematian Pendeta Yeremia, banyak kasus penembakan orang asli Papua di Intan Jaya juga masih menjadi misteri. Publik mendesak pemerintah agar segera mengusut tuntas kasus Pendeta Yeremia, juga kasus-kasus pembunuhan orang asli Papua lainnya demi penegakan HAM di Indonesia.
2023: Penggusuran Represif di Rempang
Penggusuran warga Rempang, Batam, menjadi sebuah kasus pelanggaran HAM yang masih sangat segar di ingatan. Kasusnya terjadi tepat setahun yang lalu, pada 7 September 2024.
Pulau Rempang menjadi salah satu kawasan yang masuk dalam Program Strategis Nasional (PSN) yang dicanangkan Pemerintah Republik Indonesia. Hal itu tercantum dalam Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023.
Bentrokan antara masyarakat dengan aparat terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau pada Kamis (7/9/2023). Warga menolak wacana relokasi perkampungan adat untuk pembangunan kawasan Rempang Eco City. Sedangkan pada hari itu, aparat keamanan TNI Angkatan Laut dan kepolisian memaksa masuk untuk memasang Patok Tata Batas dan Cipta Kondisi.
Aparat keamanan TNI Angkatan Laut dan Kepolisian dikerahkan untuk menggusur 16 Kampung Melayu Tua yang telah eksis sejak 1834. Bentrokan pun tak dapat terhindarkan. Aparat merangsek dan menembakkan gas air mata sampai ke kawasan SMPN 22 Galang dan SDN 24 Galang. Akibatnya, paling tidak enam orang warga ditangkap, puluhan orang luka, beberapa anak mengalami trauma, dan satu anak mengalami luka akibat gas air mata.
Sebut Tommy Yanda dari Aliansi Pemuda Melayu Kepulauan Riau, bentrokan itu menjadi puncak kekerasan yang dilakukan aparat terhadap masyarakat. “Orang tua, pelajar, bahkan ada balita yang terdampak gas air mata dari kerusuhan yang terjadi,” ucapnya dalam konferensi pers daring, Kamis (7/9/2023).
Hingga kini, warga Rempang masih berjuang mempertahankan tanah mereka. Kekerasan dalam upaya penggusuran di Rempang juga menandakan bahwa pembangunan PSN masih jauh dari perspektif HAM.
Pemerintah menghindari tanggung jawab pemenuhan hak masyarakat atas tanah, air, dan sebagainya. Alih-alih, mereka melakukan represi terhadap masyarakat yang tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi alat-alat pertahanan dan keamanan.