Jatuh Bangunnya Bangsa: Sebuah Teori

jatuh-bangunnya-bangsa:-sebuah-teori

il_570xN.2494022848_e69pOleh Reza A.A Wattimena

Generasi Indonesia 1920-an adalah generasi emas. Mereka lahir dari rahim kolonialisme Belanda. Dari penjajahan dan penderitaan yang amat kuat, mereka menempa diri. Mereka menimba ilmu, berjuang dan mendorong revolusi Indonesia yang melahirkan Indonesia, seperti sekarang ini.

Eropa 1400-an adalah Eropa yang sedang bangkit. Setelah lebih dari 1000 tahun hidup dalam cengkraman agama, para seniman dan pemikir Eropa kembali ke akar budaya mereka, yakni Filsafat Yunani Kuno. Dari titik itu, mereka berkarya. Melampaui kebodohan, perang dan wabah, Eropa keluar dari abad kegelapan, dan menuju masa pencerahan, dimana sains dan teknologi mengusir takhayul yang menindas serta memperbodoh.

Tahap 1: Masa-masa Sulit

Masa-masa sulit selalu penuh harapan. Orang ditekan keadaan. Untuk bisa hidup, ia harus berpikir, bertindak dan berkarya. Inilah tahap pertama perkembangan peradaban, yakni dari masa-masa sulit yang menekan jiwa dan raga.

Konflik adalah ciri utama masa-masa sulit. Kesalahpahaman seolah meraja di udara. Setiap komunikasi berakhir dengan kebingungan baru. Darah kerap tertumpah dari berbagai konflik dan kebingungan yang ada.

Dalam keadaan sulit, manusia dipaksa untuk berpikir. Ia tidak boleh lengah di dalam kedunguan. Ia tidak boleh tenggelam di dalam kebodohan yang bersembunyi dibalik tradisi dan kebiasaan lama. Ia harus berpikir, berkarya dan bertindak menyingkapi beragam keadaan yang ada.

Kesadaran pun meluas. Orang melihat identitas sebagai sesuatu yang rapuh dan sementara. Toleransi terhadap perbedaan pun meningkat. Semua terjadi demi keselamatan diri di masa-masa sulit.

Tahap 2: Masa Pembangunan

Di masa ini, orang bekerja sama untuk membangun. Mereka ingin keluar dari kebodohan dan kemiskinan yang kental di masa sebelumnya. Mereka pun mulai membangun. Dengan segala daya yang ada, mereka membayangkan dunia yang lebih baik di masa depan, dan mulai bekerja untuk mewujudkannya.

Pendidikan dirancang demi kemajuan bangsa. Kebudayaan dikembangkan untuk membangun identitas yang kokoh. Prosesnya tentu tak mudah. Hubungan kerja sama dengan bangsa-bangsa lain jelas mutlak diperlukan.

Ekonomi juga mulai dirancang. Keunikan khas bangsa itu diteliti dan dikembangkan untuk pemberdayaan ekonomi, sekaligus untuk ekspor ke bangsa lain. Secara perlahan namun pasti, pendidikan, kebudayaan dan ekonomi berkembang. Kemajuan mulai dirasakan oleh segenap rakyat yang ada.

Tahap 3: Masa Keemasan

Karena bertekun, pembangunan, akhirnya, sungguh berbuah. Bangsa tersebut memasuki masa keemasan. Rakyat hidup sejahtera. Perdamaian sungguh terasa di seluruh pelosok bangsa tersebut.

Ciri masa keemasan adalah kemajuan budaya. Seni dalam segala bentuknya berkembang pesat. Rakyat mengenal dan menghayati identitas budayanya. Pengaruh asing tentu ada, terutama di jaman globalisasi ini, namun tidak menggerus keutuhan identitas asli bangsa itu.

Ekonomi juga maju. Pertumbuhan dibarengi dengan pemerataan. Semua lapisan masyarakat merasakan buah dari pembangunan. Kemiskinan ekonomi pun lenyap dari kehidupan.

Dengan kokoh di dalam, bangsa yang sedang mengalami masa keemasan pun terlibat dalam banyak persoalan global. Ia banyak terlibat aktif di dalam forum-forum internasional. Pengaruhnya pada kebijakan global juga amat besar.

Tahap 4: Masa Kesombongan

Keberhasilan selalu membuahkan kesombongan. Ini rupanya penyakit manusia yang tak terhindarkan. Bangsa besar, yang tengah mengalami masa keemasan, juga kerap jatuh pada penyakit ini. Kesombongan, dalam konteks ini, adalah awal dari kehancuran.

Ciri dari masa kesombongan adalah ketidakadilan yang meluas. Rakyat diperlakukan tidak adil di dalam politik dan ekonomi. Diskriminasi dan penindasan terhadap masyarakat terjadi, dan didiamkan oleh aparat penegak hukum. Di dalam hubungan internasional, sikap tidak adil juga terus ditunjukkan, misalnya dengan menyerang negara lain yang lebih lemah, atau membiarkan, atau malah menciptakan, konflik baru.

Tahap 5: Masa Kehancuran

Di masa ini, semuanya hancur. Politik dan ekonomi hancur. Masyarakat hidup dalam kebencian dan konflik tanpa henti. Negara tak berdaya menghadirkan keamanan, keadilan dan kemakmuran untuk warganya.

Pendek kata, di masa kehancuran ini, negara menjadi negara gagal. Pola ini seperti tak terhindarkan. Apa yang tercipta pasti akan lenyap di masa depan. Setelah tahap kehancuran, sebuah bangsa akan kembali ke masa-masa sulit, masa pembangunan, masa keemasan, masa kesombongan dan kembali ke masa kehancuran. Pola ini berlaku untuk semua jaman, mulai dari Persia kuno, Yunani Kuno, Romawi, Majapahit dan bahkan untuk Amerika Serikat sekarang ini yang memasuki masa kesombongan.

Tentu saja, ada ciri khas dari masing-masing bangsa. Namun, ciri khas itu tidak mengubah siklus jatuh bangun yang ada, seperti sudah dijelaskan sebelumnya. Tak ada yang lolos dari pola jatuh bangunnya bangsa. Beragam upaya bisa dilakukan untuk memperpanjang, misalnya, masa keemasan. Namun, itu pun harus berakhir dengan berbagai sebab yang ada.

Ini kiranya sejalan dengan ciri dasar dari kenyataan. Semuanya bersifat sementara. Apa yang tercipta dalam ruang dan waktu pasti akan berakhir. Kelekatan pada kenyataan, dan segala unsur di dalamnya, adalah sumber terbesar dari derita hidup manusia.

Indonesia?

Di dalam siklus jatuh bangunnya bangsa, dimana posisi Indonesia? Jawabannya sederhana. Kita masih berada di masa-masa sulit. Ini terjadi persis karena kesalahan para pemimpin bangsa yang korup dari tindakan sampai cara berpikirnya.

Di Indonesia, negara tak sepenuhnya gagal. Namun, keamanan, keadilan dan kemakmuran masih sangat jauh dari genggaman. Niat membangun pun nyaris tak ada. Bangsa ini ada, dan masih terus ada, karena kecelakan sejarah, dan bukan karena rancangan sadar dari rakyat maupun pemimpinnya.

Di sisi lain, ada begitu banyak potensi di bangsa kita. Kreativitas dan energi yang nyaris tak terbatas dari rakyatnya. Sumber daya alam yang begitu melimpah. Kita tinggal mengganti semua pemimpin yang ada sekarang ini, dan memulai proses pembangunan ke tahap selanjutnya. Tunggu apa lagi?

===

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Jatuh Bangunnya Bangsa: Sebuah Teori

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us