Disebut Medali ‘Giveaway’, Gregoria Tunjung Diremehkan dan Alami Misoginisme

disebut-medali-‘giveaway’,-gregoria-tunjung-diremehkan-dan-alami-misoginisme

Indonesia turut bertanding dalam Olimpiade Paris 2024 dan terbukti mampu menorehkan prestasi di beberapa cabang olahraga. Salah satunya pada olahraga bulutangkis kategori tunggal putri. Nama Indonesia kembali berdiri di posisi ketiga tertinggi lewat pencapaian Gregoria Mariska Tunjung, yang memperoleh medali perunggu di babak semifinal.

Namun, Gregoria mengaku, “Sedih dan bingung,” kepada awak media yang meliput. Pasalnya, di babak semifinal pertandingan bulutangkis tunggal putri, lawannya yakni Carolina Marin (Spanyol) cedera lutut. Marin tidak dapat melanjutkan pertandingan dalam perebutan posisi ketiga (medali perunggu). Otomatis, Gregoria-lah yang kemudian menempati posisi tersebut.

“Pastinya ini bukan cara mendapatkan medali yang saya mau. Sedih juga melihat Marin dalam kondisi seperti itu, mengalami cedera lagi,” tutur Gregoria, dikutip dari Kompas.com.

Meskipun begitu, Indonesia harus tetap patut berbangga atas medali pertama yang berhasil dibawa pulang dari Olimpiade Paris 2024. Medali perunggu di cabang olahraga bulutangkis berhasil diraih oleh atlet perempuan muda, Gregoria Mariska Tunjung. Prestasi tersebut mesti dirayakan. Sebab ini merupakan pencapaian pertama Indonesia lolos pada babak semifinal, khususnya pada klasmen bulutangkis tunggal putri, di Olimpiade dalam 16 tahun terakhir.

Pun, Gregoria Tunjung bukan atlet baru yang tidak berpengalaman. Sebelum mengikuti Olimpiade Paris 2024, Gregoria banyak berkontribusi dalam kemajuan olahraga bulutangkis Indonesia, terlebih di kancah internasional.

Berlatih Sejak Kecil untuk Merintis Karier

Kerap akrab dipanggil Jorji, atlet tunggal putri ini berbakat dan memiliki segudang prestasi. Namun, layaknya peribahasa “berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian” pencapaian Gregoria bukan semata-mata keajaiban. Ada jatuh-bangun di sepanjang perjalanannya. Sejumlah kekalahan dan mengalami cedera turut mewarnai perjalanannya selama menjadi atlet perempuan muda Indonesia.

Bukan bulutangkis, Gregoria mengawali minatnya terhadap olahraga melalui cabang bela diri karate. Namun, ketertarikan Gregoria bergeser ke bulutangkis setelah menyaksikan pertandingan Taufik Hidayat di televisi. Tak heran, perempuan kelahiran tahun 1999 itu menjadi saksi pertandingan-pertandingan hebat atlet Indonesia di cabang bulutangkis pada saat itu. 

‘Pergeseran’ minat Gregoria ini mendapat respon positif dari kedua orangtuanya. Ayahnya sendiri justru melihat Gregoria memiliki bakat potensial di cabang bulutangkis. Meski baru menginjak kelas 1 SD, Gregoria rutin menekuni latihan dasar yang diberikan oleh ayahnya. Latihan dasar yang sejak kecil Gregoria dapatkan menjadi modal awal pengembangan teknik dasar bulutangkis.

Baca Juga: Imane Khelif Dipermalukan di Olimpiade Paris 2024, Ini Stigma Terhadap Ragam Identitas Gender

Gregoria sedikit demi sedikit melangkah maju. Ia mengasah kemampuan melalui klub pertamanya, AUB Surakarta di Jawa Tengah. Walaupun harus berhenti karena berpindah tempat tinggal, hal ini tidak memutus niat Gregoria untuk terus menekuni bulutangkis. Di kediaman barunya, Kota Bandung, Gregoria merajut pengalaman profesionalnya dengan bergabung di PB Mutiara Cardinal Bandung, Jawa Barat. Perjalanan ini terus berlanjut pada tahun 2013, ketika PBSI memilih Gregoria untuk bergabung ke Pelatihan Nasional di Cipayung, Jakarta Timur.

Sejak itu, kerja keras terus dirajut, prestasi pun terus bergulir. Gregoria meraih sejumlah prestasi baik di tingkat nasional dan internasional. Bahkan di usianya yang baru menginjak 18 tahun, ia mampu menunjukkan hasil kerja kerasnya ketika meraih gelar juara dunia di Junior BWF di Yogyakarta tahun 2017. Prestasi ini kemudian mengantarkannya bergabung ke tim putri senior Indonesia. Tidak hanya itu, ketekunan Gregoria dalam bulutangkis juga menempatkannya ke posisi 1 tingkat nasional dan 15 tingkat dunia di klasmen tunggal putri pada tahun 2019. 

Kerap Diremehkan, Tapi Tak Mudah Hilang Asa

Sepak terjang Gregoria dalam dunia bulutangkis tidak hanya berupa jatuh dan bangkit dari kegagalan. Ia juga menghadapi segelintir komentar negatif yang meragukan kemampuannya sebagai seorang atlet. Namun, komentar negatif tidak jadi penghalang bagi Gregoria untuk terus menunjukkan komitmennya kepada bulutangkis. Gregoria mengaku hanya akan mendengarkan kritik yang membangun saja, bukan hanya cemoohan yang menjatuhkan. 

Kegigihan Gregoria dalam menekuni bulutangkis telah terlihat melalui berbagai pertandingan, salah satunya Spain Masters 2023. Dalam laga itu, Gregoria berhasil meraih juara. Kemenangan itu pun mengingatkan Gillian Clark, seorang komentator Badminton World Federation, dengan kejayaan Susi Susanti pada masanya. Hal itu pun didasarkan dari keberhasilan Gregoria mengembalikan gelar kemenangan Indonesia yang terakhir diraih oleh Susi Susanti, Mia Audina, dan Lidya Djaelawijaya pada tahun 1900-an.

Meski sempat ragu dan ingin berhenti meniti karir bulutangkis, hingga saat ini Gregoria tetap konsisten bertanding mewakili Indonesia dalam pertandingan-pertandingan besar. Konsistensi ini juga ia tunjukkan, bahkan di saat ia mengalami cedera pada telapak kakinya pada China Masters 2023. 

Di babak pertama 32 besar melawan perwakilan Thailand, Gregoria tetap gigih dan berusaha untuk melanjutkan pertandingan. Kerja kerasnya membuahkan hasil, ia mampu bertahan dan lolos ke 16 besar. Dorongan dan dukungan dari orang-orang terdekatnya pun menjadi salah satu hal yang paling dibutuhkan oleh Gregoria saat mengalami masa-masa sulit. 

Naik-turun performa atlet adalah hal wajar. Komitmen serta dedikasi tinggi justru akhirnya berhasil mengharumkan nama bangsa. Toh, atlet juga manusia yang selalu berproses, kan?

Dedikasi Tinggi Mengharumkan Nama Indonesia

Dalam keterangan tertulis di PBSI pada tanggal 3 Agustus 2024, Gregoria menyatakan jika ia mencoba berpikir bahwa kemenangan ini adalah untuk dirinya sendiri. Ia tidak mau berpikir terlalu banyak untuk menghindari perasaan tertekan yang berlebihan. “Ini adalah pencapaian yang bagus untuk saya tapi kembali lagi saya tidak mau terlalu berpuas diri. Pertandingan besok akan lebih berat dan saya harus segera kembali bersiap,” jelas Gregoria mengenai kemenangannya melawan Carolina Marin. 

Sebagai seorang atlet bulutangkis putri yang kini meraih peringkat delapan tunggal putri dunia, Gregoria pun memiliki target yang ingin dicapainya di masa depan. Dalam jumpa pers yang diselenggarakan oleh Komite Olimpiade Indonesia, Gregoria menyampaikan bahwa untuk selanjutnya, ia akan fokus dengan world tour hingga akhir tahun ini dan bertekad meraih gelar juara. 

Berkat pengalamannya berlaga di Olimpiade Paris 2024, Gregoria mengaku banyak belajar dari para pemain hebat yang ia temui. “Misalnya Carolina Marin yang berjuang untuk bermain,” ujar Gregoria. Ia juga menyebutkan salah satu momen spesial yang paling diingat adalah pertandingan melawan Kim Ga Eun asal Korea Selatan. Pertandingan itu berlangsung tegang dan ketat sehingga Gregoria pun merasa sangat senang dan bersemangat ketika memenangkan pertandingan itu. Gregoria merasa lega karena pendukung yang datang di arena membuatnya merasa tidak sendiri dan terus bersemangat pada pertandingan selanjutnya.

Baca Juga: Bias Gender Bikin Olahraga Perempuan Makin Sulit Maju

Seorang atlet yang penuh semangat dan dedikasi merupakan kalimat yang tepat untuk mendeskripsikan Gregoria Mariska Tunjung. Berbagai tekanan pun dirasakan oleh Gregoria dalam usaha memenuhi harapan dan ekspektasi, baik bagi dirinya sendiri maupun orang terdekat juga masyarakat Indonesia.

Kesehatan mental yang baik juga diperlukan bagi Gregoria untuk menunjang kesehatan fisik selama perjalanannya menjadi atlet. Gregoria pun harus mengatasi saat-saat krisis, khususnya ketika bertanding, dengan baik secara mental. Dengan mencoba rileks dan memberi semangat kepada diri sendiri pun menjadi salah satu cara untuk menenangkan diri ketika kehilangan poin. “Aku juga mencoba rileks, menyemangati diri sendiri, mencoba bernapas, teriak, dan memberikan afirmasi positif ketika kehilangan poin,” jelas Gregoria.

Dijuluki ‘Medali Giveaway’: Gregoria dan Atlet Perempuan Olimpiade 2024 Hadapi Misoginisme

Sayangnya, prestasi Gregoria Tunjung dianggap tidak sepenting prestasi para atlet laki-laki Indonesia yang menjuarai berbagai cabang olahraga di Olimpiade Paris 2024. Alih-alih apresiasi, pencapaian Gregoria dinilai didapatkan secara ‘cuma-cuma’.

Julukan ‘medali giveaway’ disematkan pada diskursus pencapaian Gregoria Tunjung di media sosial. Ini lantaran Gregoria dinobatkan sebagai peraih medali perunggu usai lawannya, Carolina Marin (Spanyol) mengalami cedera lutut dan tidak dapat melanjutkan pertandingan semifinal.

Bahkan, sebuah stasiun televisi ternama secara gamblang menyebut prestasi atlet tersebut sebagai ‘medali giveaway pertama’ bagi Indonesia, pada tayangan tanggal 11 Agustus 2024. Meski telah muncul permintaan maaf resmi, hal ini menunjukkan bahwa atlet perempuan kerap dipandang sebelah mata oleh masyarakat, pemerintah, federasi olahraga, dan media.

Hal yang dialami Gregoria adalah contoh misoginisme dalam dunia olahraga. Di Olimpiade Paris 2024 saja, bukan hanya dirinya yang mesti berhadapan dengan diskriminasi, pengecilan, dan kebencian terhadap perempuan.

Baca Juga: Sebagai Mantan Atlet, Saya Kecewa Olahraga Berprestasi Tidak Masuk dalam Debat Capres

Kita tahu kasus Imane Khelif, petinju perempuan asal Aljazair yang juga memenangkan medali emas. Di tengah masa pertandingannya, Khelif mendapat banyak hujatan terkait isu gender yang membuatnya disebut tak pantas mengikuti pertandingan pada kategori perempuan. Mulai dari anggapan bahwa dia bukan perempuan ‘tulen’, punya kromosom XY yang membuat testosteronnya lebih mendekati laki-laki, hingga dituding memiliki identitas ‘asli’ transgender. Tidak cuma misoginisme, Imane Khelif menghadapi transfobia dan rasisme berturut-turut karena identitasnya.

Pada cabang olahraga gulat, ada Vinesh Phogat, pegulat perempuan asal India yang didiskualifikasi menjelang babak final. Vinesh merupakan penyintas kekerasan seksual yang dilakukan Federasi Gulat India (WFI) dan aktif melawan isu kekerasan seksual. Vinesh dan rekan-rekan sesama pegulat bahkan melakukan aksi protes tidur di trotoar selama 40 hari dan menghadapi tindakan represif polisi. Di India, Vinesh menghadapi berbagai bentuk misoginisme sebagai atlet perempuan. Salah satunya dikecualikan tampil dalam uji coba Asian Games. Di Olimpiade Paris 2024 pun, Vinesh sudah dipastikan maju ke babak final usai mengalahkan pegulat Jepang Yui Sasaki, yang sebelumnya empat kali jadi juara dunia. Namun, Vinesh didiskualifikasi lantaran berat badannya naik 100 gram menjelang pertandingan terakhir. Ini membuat kondisi psikisnya menurun hingga ia mengumumkan bakal pensiun dari dunia gulat.

Misoginisme pada atlet perempuan mewujud dalam beragam bentuk. Bisa jadi, bentuknya adalah peliputan media yang lebih sedikit dari atlet laki-laki, bias, serta fokus pada penampilan fisik dan kehidupan pribadi atlet perempuan. Atau kesenjangan besar dalam hal gaji dan hadiah antara atlet laki-laki dan perempuan di banyak cabang olahraga. Banyak atlet perempuan juga mengalami pelecehan dan kekerasan seksual oleh pelatih, manajer, rekan tim, maupun penggemar; dan kasus-kasus mereka tidak ditangani serius oleh organisasi olahraga.

Baca Juga: Film Dokumenter David Beckham Kisahkan Bagaimana Orang Tua Mengontrol Anak dalam Olahraga

Perempuan juga kerap menghadapi ekspektasi dan stereotipe gender terkait cabang olahraga yang ditekuninya. Misalnya, ekspektasi bahwa perempuan seharusnya tidak terlibat dalam olahraga tertentu yang dianggap ‘maskulin’ seperti tinju, gulat, atau sepak bola. Ketika perempuan melibatkan diri dalam olahraga tersebut, mereka sering kali dianggap ‘kurang feminin’ atau diberi label negatif. Atau, ketika perempuan berhasil membuktikan kompetensinya dengan menjuarai cabang olahraga ‘maskulin’ tersebut, ia justru dianggap ‘bukan perempuan tulen’—seperti yang dialami Imane Khelif.

Minimnya dukungan pemerintah dan lingkungan sosial untuk perempuan di bidang olahraga juga adalah misoginisme. Di banyak tempat, perempuan memiliki akses yang terbatas terhadap fasilitas olahraga, pelatihan, dan kompetisi dibandingkan dengan laki-laki. Ini memperkuat ketimpangan gender dan memperkecil peluang mereka untuk berprestasi di tingkat yang lebih tinggi. Belum lagi, dalam struktur organisasi olahraga, perempuan sering kali diabaikan dalam peran manajerial atau pelatih. Di banyak organisasi olahraga, laki-laki kerap mendominasi posisi kekuasaan. Ini berarti keputusan-keputusan penting sering diambil tanpa mempertimbangkan perspektif perempuan.

Misoginisme dalam olahraga tidak hanya merugikan atlet perempuan, tetapi juga mencerminkan masalah yang lebih besar. Yakni tentang ketidaksetaraan gender dalam masyarakat secara umum. Upaya untuk mengatasi misoginisme dalam olahraga harus melibatkan pendidikan, kebijakan yang lebih inklusif, serta perubahan budaya yang mendorong kesetaraan gender.

Di sisi lain, Gregoria Tunjung membuktikan bahwa ia tetap mampu menorehkan prestasi meski diremehkan dan dicemooh sebagai atlet perempuan. Tidak berhenti di Olimpiade Paris 2024, Gregoria bakal mengikuti turnamen Japan Open 2024 pada 20-25 Agustus 2024. Pencapaiannya sebagai atlet perempuan tidak kurang penting dibandingkan dengan prestasi atlet laki-laki. Baik itu medali emas, perak, perunggu, atau dengan tampil mewakili Indonesia di ajang Olimpiade dan kompetisi olahraga lainnya, Gregoria telah membanggakan Tanah Air. Selamat, Gregoria!

(sumber foto: NOC Indonesia/Naif Muhammad Al’as)

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Disebut Medali ‘Giveaway’, Gregoria Tunjung Diremehkan dan Alami Misoginisme

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us