Wacana rekonsiliasi Megawati Soekarnoputri dengan Prabowo Subianto dan Joko Widodo (Jokowi) mulai melempem. Akankah rekonsiliasi terjadi di era Megawati?
Wacana pertemuan antara Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri, dan Ketum Partai Gerindra, termasuk Presiden terpilih, Prabowo Subianto, masih menjadi buah bibir masyarakat.
Dan jujur saja, belakangan mulai banyak yang pesimis pertemuan antara dua elite politik Indonesia tersebut tidak akan terjadi. Tidak heran, rencana pertemuan Megawati dan Prabowo sudah mulai dibunyikan seminggu setelah Pemilihan Presiden (Pilpres) berakhir, tetapi hingga saat ini belum ada perkembangan yang jelas.
Menariknya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Gerindra, Ahmad Muzani membantah pertemuan Megawati dan Prabowo mengalami kemandekkan. Belum adanya perkembangan kata Muzani bisa jadi karena memang Megawati dan Prabowo masih disibukkan keperluan mereka masing-masing. Bersamaan dengan itu, Muzani tetap membuka kemungkinan pertemuan keduanya akan terjadi.
Namun, dinamika ini tentu menarik untuk kita telaah. Lantas, bagaimana kita bisa menganalisis kemungkinan pertemuan Megawati dan Prabowo jika melihat lanskap politik terkini?
Megawati Terlampau “Emoh” Bertemu?
Rasanya sudah jadi rahasia umum bahwa PDIP dan Megawati khususnya, memiliki perbedaan pandangan politik yang cukup mendalam dengan kubu pemerintah. Hal ini tentunya berpusat pada gestur-gestur politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang semakin hari semakin tunjukkan dirinya tidak lagi berada dalam “server” yang sama dengan PDIP.
Menariknya, jika PDIP masih dipimpin dengan gaya yang selama ini dipimpin, besar kemungkinannya wacana rekonsiliasi antara Megawati dan Prabowo ataupun Jokowi akan pupus. Ada beberapa hal yang bisa jadi pertimbangan.
Pertama, hal ini berkaitan dengan asumsi dominasi logika individualistik yang berlaku di dalam keorganisasian PDIP. Seperti yang kita ketahui, setiap elite PDIP yang diminta oleh media untuk menjelaskan keputusan strategis di partai selalu menyatakan bahwa keputusan tersebut tergantung pada kehendak Megawati, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini menjadi simbol bahwa apapun yang PDIP hendak lakukan, itu kemungkinan tidak terjadi jika tidak disetujui Megawati.
Dan melihat bagaimana catatan sejarah rekonsiliasi Megawati, contohnya dengan Partai Demokrat dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), impian perdamaian ini mungkin sangat sulit untuk terwujud.
Masalahnya, hal ini membuat wacana rekonsiliasi begitu bergantung kepada kelembutan hati Megawati. Meskipun mungkin PDIP akan sangat diuntungkan secara politik bila bekerja sama dengan kubu Prabowo-Gibran, bila Megawati masih menolaknya, maka wacana itu tetap tidak akan terjadi.
Kedua, rekonsiliasi juga sangat sulit terjadi karena harga diri partai dan para elitenya. Skenario bergabungnya PDIP ke Prabowo-Gibran diprediksi tidak hanya akan sakiti “hati politik” para elitenya karena selama ini selalu menempatkan diri sebagai oposisi, tetapi juga hati para konstituennya yang dikenal begitu ideologis. Kalau logika individualistik masih berperan kuat, tentu hal ini bisa jadi penghambat besar rekonsiliasi.
Namun, dua hal tadi bukanlah pendorong terkuat mengapa Megawati akhirnya akan putuskan untuk tidak rekonsiliasi dengan Prabowo ataupun Jokowi.
Megawati Perlu Prabowo Jadi Musuh?
Potensi Megawati dan PDIP sebagai oposisi dari pemerintah, Prabowo, dan Jokowi tidak hanya akan “menangkan” egosentrisme, tetapi sepertinya juga politik. Jika berada di luar pemerintahan, PDIP pasti memiliki keunggulan dan modal untuk menghadirkan beberapa narasi yang populis, mulai dari “penjaga demokrasi” hingga pencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Entah kebetulan atau tidak, PDIP pun kini menjadi satu-satunya partai yang memiliki pengalaman, ketahanan, dan kekuatan untuk menjadi oposisi. Kita bisa lihat sendiri track record mereka dari 2004 hingga 2014.
Tidak hanya menciptakan kesan positif di hadapan rakyat dan pemilih tradisional sebagai landasan untuk mengembangkan kekuatan dalam kontes elektoral berikutnya, tetapi juga dapat menjadi alat tawar dan platform politik tertentu sebagai “musuh yang diperlukan”. Persis seperti konsep musuh yang diperlukan (necessary enemy) dari ilmuwan politik, Leopoldo Fergusson.
Tujuannya adalah agar masyarakat tetap memiliki alasan untuk melihat bahwa mereka masih membutuhkan kontribusi dari para pemain politik ini, baik yang sedang berkuasa maupun yang berperan sebagai penyeimbang, untuk memastikan kelangsungan stabilitas.
Akan tetapi, sejatinya ini tidak menutup kemungkinan PDIP berganti haluan dan melembut ke Prabowo dan Jokowi, karena bagaimanapun politik selalu bersifat dinamis. Pertanyaannya, akankah hal itu terjadi di era Megawati atau Ketum PDIP selanjutnya? Well, we just have to wait and see. (D74)