Oleh: Kirana Sulaeman
Podcast Total Politik bersama bintang stand-up comedy Pandji Pragiwaksono pada 5 Juni 2024 lalu tengah memantik kontroversi. Semua bermula ketika host Arie Putra dan Budi Adiputro bertanya pada Pandji mengapa ia begitu sensitif terhadap isu dinasti politik, sebuah isu yang saat ini tengah gencar disoroti pada keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Arie Putra kemudian melemparkan sebuah pernyataan yang sontak menjadi bahan kritikan, parodi, hingga meme di jagat media sosial– yaitu bahwa dinasti politik pada dasarnya merupakan “human rights.”
Perdebatan yang terjadi di podcast ini menarik untuk dianalisis, terutama ketika dinasti politik disandingkan dengan hak masyarakat di tatanan negara demokrasi untuk memilih dan dipilih dalam pemilu. Benarkan praktik dinasti politik adalah bentuk hak asasi manusia dan apakah kita layak untuk mempermasalahkannya?
Pertama-tama perlu dicatat bahwa dalam Universal Declaration of Human Rights PBB 1948 pasal 21, semua individu memang punya hak untuk untuk berpartisipasi dalam pemerintahan secara langsung atau lewat perwakilan.
Senada dengan klausul ini, UUD 1945 Pasal 28D juga menyatakan bahwa setiap warga negara dari Sabang sampai Merauke memiliki hak yang sama dalam pemerintahan.
Pasal-pasal inilah yang kemudian menjadi rujukan MK untuk akhirnya menghapus larangan keluarga petahana atau politik dinasti pada tahun 2015 silam. Alasannya, melarang kelompok tertentu untuk menggunakan hak konstitusionalnya untuk mencalonkan diri adalah bentuk diskriminasi.
Jika kita membatasi kacamata pada aspek legal-formal tersebut, maka sulit untuk menyanggah argumen bahwa dinasti politik adalah human rights berdasarkan asas kebebasan dan equality.
Setiap manusia tidak memilih dilahirkan dari keluarga mana dan orang tua yang berprofesi sebagai apa. Maka, melarang keluarga petahana mengikuti jejak ayah, ibu, dan saudara sedarahnya untuk berkarir di dunia politik dapat menimbulkan tuduhan pelanggaran atas hak-hak ini.
Di sinilah diskusi isu dinasti menjadi cukup rumit, karena pertanyaan tentang aspek human rights seharusnya segendang sepenarian dengan dua aspek sosial-politik yang lebih luas.
Memperluas Kacamata Melihat Politik Dinasti
Katakanlah kita sepakat bahwa politik dinasti adalah human rights, apakah diskusi ini boleh selesai di titik tersebut? Justru, terdapat pertanyaan lanjutan (follow-up question) yang sama-sama penting untuk dicari tahu jawabannya, yaitu cara/mekanisme pencalonan diri dan motivasi di balik pencalonan diri bagi para keluarga petahana. Dua faktor ini sangat esensial untuk menilai politik dinasti secara holistik.
Ketika berbicara tentang mekanisme dalam pencalonan diri, maka terdapat unsur etika, integritas, dan kejujuran yang bermain. Dalam kasus keluarga Jokowi, sejumlah sivitas akademika sepakat bahwa terjadi manuver dan tindakan menyimpang dari Presiden untuk memenangkan anaknya di kontestasi politik–di antaranya dengan memanfaatkan putusan MK–seperti isi petisi dari setidaknya 20 universitas seluruh Indonesia.
Jika pelanggaran ini benar adanya, maka sebetulnya ia telah melanggar isi pasal yang sama di Universal Declaration of Human Rights PBB 1948, bahwa “the will of the people shall be the basis of the authority of government; this will shall be expressed in periodic and genuine elections which shall be by universal and equal suffrage.”
Ini pula yang disebut oleh Kenawas (2015) sebagai fenomena non-demokratis yang dicapai lewat prosedur demokrasi formal, yang menciptakan apa yang disebut dengan “dissonance of legitimacy.”
Terkait pertanyaan kedua tentang motivasi pencalonan diri, argumen Pandji di podcast Total Politik dapat menjadi rujukan penting. Ia mengatakan bahwa dalam sejarahnya, dinasti politik melanggengkan tindak kejahatan berkelompok, karena terdapat upaya untuk menutupi kejahatan dengan menempatkan anggota keluarga di posisi politik yang strategis.
Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Brownlee (2007) dalam “Hereditary succession in modern autocracies” bahwa suksesi dinasti adalah cara para pemimpin otokratik untuk melindungi dirinya dari ancaman tertentu, seperti pidana kriminal setelah mereka meninggalkan kursi kekuasaan. Praktik ini dilakukan terutama ketika posisi kekuasaan tersebut merupakan sumber kekayaan ilegal yang penting untuk disembunyikan dan dilindungi.
Di Indonesia, dinasti politik memang sangat erat dengan korupsi terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Kasus paling populer barangkali Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah (kakak Tubagus Chaeri Wardana) yang melakukan korupsi pengadaan alat kesehatan tahun 2013 sehingga divonis pidana penjara dan denda Rp20 juta.
Kemudian Bupati Klaten Sri Hartini (istri mantan Bupati Klaten Haryanto Wibowo) yang melakukan suap promosi jabatan, hingga akhirnya mendapat vonis dan denda Rp900 juta.
Contoh lain adalah Walikota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi (putra mantan Walikota Cilegon Aat Syafaat), di mana tindak suap perizinan pembangunan yang ia lakukan berujung pada vonis penjara dan denda Rp250 juta.
Dinasti politik memang tidak selalu berujung pada korupsi. Di Singapura, misalnya, di mana dinasti politik memegang salah satu kekuasaan tertinggi, pada kenyataannya tidak membuat korupsi merajalela di negara tersebut.
Bahkan, Lee Kuan Yew sebagai pelaku dinasti politik berhasil menjadikan Singapura sebagai salah satu negara paling bersih dari korupsi menurut Transparency International 2016.
Namun, perlu dipahami pula bahwa keberhasilan Singapura menciptakan irrelevansi antara dinasti politik dan tingkat korupsi adalah karena penegakan hukum yang sangat baik sehingga dapat mencegah dan memberantas kejahatan korupsi secara efektif dan accountable.
Pada akhirnya, isu politik dinasti tidak boleh dikerangkeng dari kacamata legal-formal saja, yaitu berlandaskan satu pasal tunggal dalam deklarasi HAM internasional atau UUD 1945. Konsekuensi dari penerimaan aspek tunggal ini dapat mengeksaserbasi kekuasaan otokratik, tindak korupsi TSM, dan kejahatan lainnya yang sudah kepalang menjamur di Indonesia.
Ketika kedua faktor di atas atau salah satunya dilanggar oleh keluarga petahana yang maju di kontestasi politik, maka human rights mereka patut dipertanyakan atau dilucuti, karena mereka telah menggunakan hak tersebut untuk kepentingan non-demokratis. Atau seperti kata Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII, Eko Riyadi, “HAM dapat dibatasi untuk menjaga kualitas demokrasi”.
Lebih jauh dari itu, diskusi publik perlu diperluas ke faktor sosio-politik yang terangkum dalam pertanyaan soal mekanisme dan motivasi dalam berpartisipasi di pemilu.
Jika kesimpulan yang timbul adalah ditemukan problematika dan pelanggaran serius, maka masyarakat berhak untuk “sensitif” dan marah seperti diekspresikan oleh Pandji di podcast Total Politik, alih-alih bersikap permisif dan menormalisasi.
Artikel ini ditulis oleh Kirana Sulaeman
Kirana Sulaeman adalah Redaktur Senior Makna Politik
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.