Pernah nggak kamu merasa kena sindrom penipu atau sindrom ragu-ragu dengan kemampuanmu sendiri, setelah mendapat pujian karena hasil kerjamu?
Sindrom ini jadi membatasi keberanian perempuan untuk mengambil pekerjaan atau peluang baru.
“Aku gak yakin, sebenarnya aku punya bakat nggak sih?.”
“Ah, tapi ini kan cuma kebetulan. Masih banyak karya teman-teman lain yang lebih keren.”
“Karya aku nggak semua bagus, kayaknya aku belum pantas disebut pekerja kreatif.”
“Gimana kalau nanti hasil kerjaku tidak bisa sebagus ini lagi?.”
Kalau pernah merasa begini, kamu nggak sendirian. Ini adalah tanda-tanda yang bisa jadi kamu terkena Imposter Syndrome atau sindrom penipu.
Fenomena ini bikin seseorang merasa nggak layak atas pencapaian mereka dan cenderung menganggap kesuksesan hanya karena faktor keberuntungan. Padahal, kenyataannya kamu memang kompeten dan berbakat.
Baca Juga: Pengalaman Kerja Tak Mengenakkan di Indonesia, Membuat Pekerja Milenial Pindah ke Luar Negeri
Natalie Portman, seorang artis juga mengalami ini saat pidato di hadapan para lulusan senior di Harvard.
“Hari ini saya merasa seperti saat saya datang ke Harvard Yard sebagai mahasiswa baru pada tahun 1999,” katanya. “Saya merasa ada kesalahan, bahwa saya tidak cukup pintar untuk berada di sini, dan bahwa setiap kali saya membuka mulut, saya harus membuktikan bahwa saya bukan sekadar aktris bodoh.”
Maya Angelou seorang feminis pun tak luput pernah mengalami imposter syndrome. “Saya telah menulis 11 buku, tetapi setiap kali saya berpikir, wah, mereka akan mengetahuinya sekarang.” Padahal Angelou dinominasikan untuk Penghargaan Pulitzer, dan memenangkan lima Grammy untuk rekaman lisannya, ditambah segudang penghargaan lainnya.
Orang-orang yang menderita sindrom penipu cenderung menganggap keberhasilan mereka semata-mata hanya karena keberuntungan, dengan perasaan tidak enak bahwa mereka telah menipu orang lain agar percaya bahwa mereka lebih pintar daripada yang sebenarnya.
Perempuan Tidak Didukung untuk Berhasil oleh Masyarakat
Awalnya, sindrom ini diperkirakan hanya dialami oleh perempuan. Pada tahun 1978, para ilmuwan menduga perempuan lebih sering merasakannya karena pengaruh sosial dan budaya. Namun, studi terbaru menemukan bahwa laki-laki juga bisa terkena sindrom ini.
Contoh aja, di perusahaan besar seperti Hewlett Packard melaporkan, laki-laki sering kali dipekerjakan berdasarkan potensi mereka, sementara perempuan harus menunjukkan pengalaman konkret dulu. Padahal laki-laki melamar pekerjaan ketika mereka hanya memiliki 60% dari kualifikasi pekerjaan tersebut, sedangkan perempuan menunggu sampai mereka merasa telah memenuhi semua kualifikasi tersebut. Ini bikin perempuan cenderung merasa mereka belum cukup layak untuk mengambil risiko atau memimpin.
Apa yang bikin perempuan lebih rentan? Pertama, anak perempuan disosialisasikan dengan kuat untuk mematuhi aturan dan di sekolah mereka diberi penghargaan, atas tindakan mereka. Sebagian, keberhasilan anak perempuan yang lebih besar di sekolah (dibandingkan dengan anak laki-laki) dapat dikatakan dapat dikaitkan dengan kepatuhan mereka yang lebih baik terhadap aturan. Kemudian ketika berkarir, kebiasaan mematuhi aturan itu berlanjut. Kedua, dan yang lebih penting, sistem masyarakat kita memang belum sepenuhnya mendukung perempuan untuk berhasil secara bebas.
Baca Juga: Persaingan Sengit, Kualifikasi Selangit: Gen Z Makin Sulit Dapat Kerja?
Ketidakmampuan terus-menerus seseorang untuk mengakui keberhasilannya bahkan ketika dihadapkan dengan bukti nyata, meskipun secara teknis bukan suatu gangguan, dapat menyebabkan stres, kecemasan, rasa malu, harga diri rendah, dan dalam beberapa kasus, bahkan depresi .
Ketika perasaan “aku nggak cukup bagus” ini terus muncul, dampaknya bukan cuma di pikiran, tapi juga karir kita. Clare Josa, penulis buku Ditching Imposter Syndrome, menyebutkan bahwa sindrom ini adalah salah satu hambatan terbesar untuk sukses.
Orang yang terjebak sindrom penipu cenderung main aman, menghindari risiko, dan akhirnya ragu buat melangkah lebih jauh. Bahkan dalam dunia startup dan usaha, 56% pengusaha perempuan mengaku sindrom ini membatasi keberanian mereka untuk mengambil proyek atau peluang baru.
Perempuan Kenyataannya Memang Jarang Direkomendasikan
Nah, buat kamu yang terjun di dunia kreatif atau karier yang menuntut kecerdasan, sindrom ini bisa terasa lebih nyata.
Penelitian menunjukkan perempuan di bidang STEM (sains, teknologi, teknik, dan matematika) sering merasa “tidak cukup pintar” dibandingkan rekan laki-laki mereka. Bahkan, ada studi yang menemukan orang-orang lebih jarang merekomendasikan perempuan untuk pekerjaan yang dianggap memerlukan “kecerdasan tinggi.”
Di jurnal ilmiah seperti Nature, 69% kutipan dari pakar berasal dari ilmuwan laki-laki. Nggak heran kalau perempuan sering merasa tidak dilihat atau diapresiasi dengan sama. Dan bukan hanya publikasi ilmiah, penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar kutipan yang dimuat media juga berasal dari laki-laki. Hal ini menunjukkan adanya bias gender yang jelas dalam masyarakat.
“Kita telah menyingkirkan begitu banyak perempuan jenius dari sejarah, tetapi mereka tidak mudah diingat. Hasilnya adalah ketika ‘kecerdasan’ dianggap sebagai persyaratan untuk sebuah pekerjaan, yang sebenarnya dimaksudkan adalah ‘penis’. Kita tidak melihat perempuan sebagai orang yang secara alamiah brilian,” tulis Caroline Criado Perez seorang penulis feminis dalam bukunya yang berjudul Invisible Women: Exposing Data Bias In A World Designed For Men.
Baca Juga: Persaingan Sengit, Kualifikasi Selangit: Gen Z Makin Sulit Dapat Kerja?
Jadi, bagaimana cara menghadapinya? Cobalah untuk mengingat bahwa setiap orang pernah merasakan keraguan terhadap diri mereka. Jangan takut untuk bicara soal ide-ide kamu, bahkan ketika kamu merasa belum ‘siap.’ Beranikan diri untuk mengambil kesempatan baru, seperti proyek yang menurutmu menantang. Salah satu cara terbaik buat mengatasi sindrom ini adalah dengan bertanya pada rekan kerja atau mentor, meminta feedback, dan fokus pada progres yang sudah kamu capai, bukan pada kesempurnaan.
Tentu saja, mengatasi sindrom penipu bukan cuma tanggung jawab individu, tapi juga tanggung jawab perusahaan atau pemberi kerja. Lingkungan kerja yang inklusif dan suportif bisa membantu meringankan tekanan ini. Perusahaan dapat mulai dengan memberikan pelatihan dan program mentoring yang mendorong karyawan untuk lebih percaya diri. Misalnya, dengan menyediakan feedback yang konstruktif dan penghargaan yang jelas untuk pencapaian yang telah dicapai, perusahaan bisa membantu karyawan merasa dihargai secara adil.
Lebih jauh lagi, pemberi kerja harus menciptakan budaya yang mendorong komunikasi terbuka, di mana karyawan merasa aman untuk membahas keraguan mereka tanpa takut dihakimi. Ini akan membantu menciptakan ruang di mana setiap orang bisa tumbuh dan berkembang tanpa merasa harus “menipu” untuk diakui.