Pengasuhan Anak Itu Tugas Laki-laki dan Perempuan, Tapi Perempuan yang Sering Dijulidin

pengasuhan-anak-itu-tugas-laki-laki-dan-perempuan,-tapi-perempuan-yang-sering-dijulidin

Setahun belakangan ini, algoritma sosial media-ku memang banyak menampilkan konten-konten keluarga. Bisa jadi, selama masa kehamilan dan pasca melahirkan aku banyak like dan follow akun-akun yang berisi seputar pengasuhan anak.

Satu di antara akun instagram yang menarik buatku adalah sosok Uma Mega. Dengan logat bahasa Jawa Timur ‘khas Tulungagung-an’ tentu saja ini familiar denganku, yang tetangga desa dengannya, Cah Blitar. 

Uma Mega adalah perempuan asal Tulungagung Jawa Timur yang menikah dengan warga Jepang. Mereka memiliki dua orang anak bernama Natsuki dan Ritsuki di sebuah apartemen di Jepang. Uma Mega membuat vlog video ‘Ueno Family’ tentang kesehariannya sebagai ibu rumah tangga yang mengasuh anak-anaknya, kadang juga main bareng sekeluarga dan kumpul bersama rekan-rekannya. 

Aku merasa relate dengan konten Uma Mega. Mulai dari dialek sampai kosakata lokal yang biasa diucapkannya, aku sering mendengarnya sehari-hari ketika pulang kampung. Termasuk, kata pamungkas Uma Mega kepada anak perempuannya, Ritsuki.  ‘Sing Eling’ (Yang ingat), yang biasanya memang digunakan untuk menasehati orang tua kepada anaknya supaya tidak bertindak kebablasan. 

Karakter nyablak perempuan dengan branding ‘Tulungagung Pride’, ditambah polah tingkah lucu dan unik Ritsuki ini memang menghiburku. Terlebih, di tengah situasi hari ini yang dipenuhi berita miris dan tragis. 

Hingga belum lama ini, ramai di sosial media tentang Uma Mega. Ada potongan-potongan video yang beredar tentang cara asuhnya, yang dinilai jahil karena suka mengerjai anaknya Ritsuki. 

Baca Juga: Klinik Hukum Perempuan: Pengasuhan Anak yang Orangtuanya Pisah, Tanggungjawab Siapa?

Itu misalnya tampak pada video saat Ritsuki berjalan di jembatan, kemudian Uma Mega menoel-nya sampai hampir terjatuh. Ada pula saat dia menakut-nakuti Ritsuki saat di pantai dengan teriakan “Megalodon”. Pun momen Uma Mega bersembunyi di balik tembok untuk melihat reaksi Ritsuki yang tengah berlari ketika ditinggal. 

Uma Mega juga seringkali dinilai nyablak, terkesan kasar dari intonasi suaranya yang tinggi (Pada bagian ini, sebenarnya ini hal yang biasa dijumpai sebagai sesama orang Jawa Timuran).

Munculah respons yang mengkritik cara asuh Uma Mega. Bahkan, ada satu akun di X yang mengetikkan mengarah ke mom shaming, yaitu perilaku kritik yang dilontarkan kepada ibu yang dapat mempermalukan, merendahkan, menghina, atau bahkan menyakiti perasaannya. 

“Ibunya Ritsuki ini orang kampung, ga sekolah, ga berpendidikan, suka ngomong kata2 sampah serapah di depan anak2nya. Itu dia bisa tinggal di Jepang modal m*m*k doang apa gimana dah? Jijik kali aku sama ibunya Ritsuki (emot muntah),” cuit akun EurMajt, pada 31 Agustus 2024.

Tak sedikit, warganet yang menyesalkan komentar itu, yang bisa dikatakan jahat. Sebagian lainnya, juga berkomentar dengan menampilkan video-video Uma Mega lain, yang justru memuji cara pengasuhannya. Seperti, Uma Mega yang berhasil mengasuh Natsuki dan Natsuki tanpa ‘kecanduan’ gadget sampai Ritsuki yang punya empati tinggi. 

Baca Juga: Pengalaman Nikita Willy dan Indra Priawan: Pengasuhan Anak Bukan Cuma Urusan Perempuan 

“Anak se”nande” ritsuki harus berkelahi dengan tweet ibu-ibu “Not my cup of tea. Next.” Dia gatau aja kalo ritsuki lagi mode eling,” kata @lovidsalah satu warganet di twitter. 

Menanggapi perbincangan soal pola asuhnya, Uma Mega pun menuliskan komentarnya di sosial media. Dia mengatakan dirinya legowo menerima kritikan akan pola asuh kepada anak-anaknya. Dia menerima nasihat kepada dirinya, yang sebaiknya bisa disampaikan langsung di DM instagram ataupun adminnya. 

“Untuk parenting tidak bisa dipungkiri tidak semua orang harus suka dengan parentingku, ngomong-ku, nyablakku, kasar ucapanku, tindakanku tidak masalah semua orang punya hak. Untuk itu, sama-sama masih belajar menjadi ibu baik versi diri sendiri sekali lagi terima kasih untuk besti ueno family… ,” tulis akun IG Ueno Mega. 

Pengasuhan Itu Bukan Cuma Tugas Ibu, Stop Dikotomi “Ibu Baik vs Ibu Buruk” 

Kita semua tentu sepakat, pengasuhan itu memang harus ramah anak. Bagaimana orang tua bisa menjalankan peran perawatan tumbuh kembang anak dengan aman dan nyaman. Pengasuhan tidak berjenis kelamin, artinya tanggung jawab itu harusnya dilakukan kedua belah pihak pasangan (orangtua) yang terlibat aktif. 

Namun masyarakat patriarki ingin pengasuhan ini hanya jadi urusan ibu. Sebab, laki-laki sudah menjadi tulang punggung untuk bekerja ke luar rumah. Makanya, perempuan atau pekerja rumah tangga perempuan harus tetap tinggal di rumah. Merekalah yang harus melakukan kerja-kerja domestik dan pengasuhan anak. 

Domestikasi terhadap perempuan itu, juga tak jarang diglorifikasi dengan puja-puji ‘perempuanlah tempat cinta dan peduli’. Belum lagi, tafsir agama bahwa surga ada di bawah telapak kaki ibu. Seringnya, menjadikan perempuan merasa perlu berkorban segalanya dan mencurahkan hidupnya untuk kerja perawatan. 

Peran pengasuhan yang seringnya lebih dibebankan pada perempuan ini, bisa kita lihat di sekitar kita. Termasuk tampak di sosial media, dimana kanal ataupun konten parenting seolah selalu dilekatkan pada sosok ibu atau para moms.  

Masyarakat patriarki juga melakukan dikotomi atas peran ibu. Mengacu pada Toril Moi (1985), penulis cum filsuf Helene Cixous, tentang pemikiran biner patriarki. Salah satunya, muncul dikotomi “ibu baik vs ibu buruk” yang mendasar pada kerangka ideal masyarakat patriarki. Dimana, ibu yang baik adalah sesuai dengan nilai dan ukuran laki-laki. Begitu sebaliknya. 

Selama ini, perempuan distereotipkan sebagai sosok yang lemah, nurut, tutur katanya manis, dan tidak membangkang. Seperti itu pula ketika menjadi ibu. Perwujudan dikotomi “ibu baik vs ibu buruk itu” itu bisa muncul seperti ibu kasar vs ibu lembut, ibu nyablak vs ibu santun, ibu semaunya sendiri vs ibu nurut dan sebagainya. 

Padahal realitanya, menjadi ibu yang menjalankan peran pengasuhan itu tidak sesederhana itu. Jangan mengabaikan kompleksitas persoalan yang dihadapi para ibu. 

Baca Juga: Pengasuhan Ramah Anak Itu Penting, untuk Hindari Penganiayaan Balita di Day Care

Tiap ibu punya kondisi dan pengalamannya masing-masing. Kita perlu memahami bahwa perempuan atau ibu itu punya latar belakang kondisi tubuh, sosial, ekonomi, suku atau ras, budaya, hingga geografis yang berbeda-beda. Dari situlah, pola asuh yang dihadirkan juga tidak akan sama. 

Maka dari itu, hargai setiap proses pengasuhan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya. Termasuk seorang ibu, dengan pengalaman dan caranya. Selagi, cara-cara yang ditempuh bukan termasuk kekerasan terhadap anak yang membahayakan dan pidana. 

Kita juga perlu ingat, cegahlah kekerasan bukan dengan kekerasan juga. Seperti perundungan, mempermalukan, menghina, dan lainnya. 

Bijak dalam Sharenting: Lindungi Privasi dan Keamanan Anak 

Di era yang apa-apa jadi konten termasuk soal pengasuhan, memang harus berhati-hati ketika ingin sharenting. Istilah sharenting muncul dari gabungan dua kata Bahasa Inggris, yaitu share dan parenting. Ini merujuk pada aktivitas orang tua berbagi pengalaman mengasuh anak-anak di media sosial. 

Orang tua sebaiknya memilah konten apa saja yang akan dibagikan ke sosial media terlebih jika menyangkut privasi dan keamanan anak. Dikarenakan belakangan ini, penyalahgunaan data digital rawan terjadi. 

Upaya menjaga privasi anak itu bisa dilakukan dengan beberapa cara. Seperti, tidak membuka informasi detail terkait tempat anak tinggal dan bersekolahnya. Pertimbangkan juga untuk tidak mengekspos berlebihan kehidupan anak. Bahkan jika perlu, pastikan wajah anak tidak terekspos hingga usia tertentu.

Penting juga untuk membagikan konten anak dalam keadaan yang layak. Sebab jejak digital ini akan terus ada, jangan sampai berujung membahayakan dan mempermalukan mereka di kemudian hari. 

Di Indonesia aturan soal sharenting anak di sosial media memang relatif longgar. Tidak ada aturan spesifik yang mengikat. Seperti yang ada di Perancis misalnya, ada rancangan undang-undang melarang orang tua untuk sharenting. Pasalnya, orang tua dinilai harusnya bertanggung jawab atas privasi anak yang belum bisa memberikan consent atas peredaran foto mereka di internet.

Jika disahkan, UU itu akan jadi yang pertama di dunia tentang aturan privasi dan penyebaran konten anak oleh orang tua. Pada kasus yang lebih ekstrim, pengadilan bahkan dapat mencabut hak orang tua membagikan konten anak mereka jika dianggap berlebihan dan berbahaya. Orang tua juga dapat dihukum jika membagikan konten anak mereka demi menarik followers dan mendapatkan uang. 

Jadi, sharentinglah secara aman. Sharenting bisa digunakan sebagai sarana aktualisasi diri orang tua, tapi jangan sampai mengabaikan privasi dan keamanan anak.

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Pengasuhan Anak Itu Tugas Laki-laki dan Perempuan, Tapi Perempuan yang Sering Dijulidin

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us