Oleh Reza A.A Wattimena
Ah, berkendara di Jakarta, rasanya seperti di neraka. Motor melawan arah. Ditegur, justru ia semakin galak. Mobil mengebut di jalan ramai. Sama saja, ditegur, justru ia semakin ganas, (apalagi kalau punya saudara jendral). Ini namanya berkendara secara ugal-ugalan.
Yang jualan pun punya sikap serupa. Trotoar pejalan kaki digunakan untuk jualan. Ditegur, justru ia semakin galak. Katanya, ia mencari nafkah, tapi kok justru menyusahkan orang lain. Ini namanya berjualan ugal-ugalan.
Yang beragama juga sama sikapnya. Bernyanyi dan berteriak-teriak sepanjang hari, bahkan sampai jam 11 malam, dan lebih. Yang sakit, bayi dan orang-orang butuh istirahat terganggu, namun tak berdaya. Mereka takut kena pasal penistaan agama. Pemerintah korup juga membiarkan. Ini namanya beragama ugal-ugalan.
Ikan membusuk dari kepalanya. Mental ugal-ugalan ini menurun dari pemimpin bangsa kita. Anak dan menantu pemimpin busuk yang tak becus didorong untuk menjadi pemimpin politik. Dikira, Indonesia itu milik keluarganya. Politik keluarga busuk ini adalah politik ugal-ugalan.
Ugal-ugalan itu sikap serampangan. Orang bertindak semaunya, tanpa mempertimbangkan aturan yang ada, ataupun kepentingan orang lain. Mental ugal-ugalan itu mental preman. Ia tidak layak hidup di negara hukum yang beradab.
Akarnya
Ada sembilan hal yang menjadi akar dari mental ugal-ugalan ini. Pertama, sikap ugal-ugalan berkembang, persis karena ia dibiarkan. Sikap semaunya seolah menjadi wajar. Sikap serampangan di semua bidang kehidupan, mulai dari berkendara, beragama sampai politik keluarga, kini menjadi budaya yang dibiarkan tumbuh dan berkembang di Indonesia.
Dua, pembiaran sikap ugal-ugalan ini terjadi, persis karena tidak adanya kepastian hukum di Indonesia. Yang bersalah dan melanggar dibiarkan, apalagi jika ia berkuasa dan punya uang. Yang benar kerap kali menjadi korban, karena ia memperjuangkan ketidakadilan. Indonesia adalah negara terbalik, dimana yang jahat dianggap baik, dan yang murni dianggap busuk.
Tiga, pembiaran hukum terjadi, karena penegak hukum korup sampai ke akarnya. Sistem hukum dirongrong mafia hukum itu sendiri. Hukum menjadi jauh dari keadilan, dan semakin dekat dengan kebusukan. Penegak hukum baru bekerja, jika ia disuap, diperintah atasan atau ditekan oleh media sosial.
Empat, sekali lagi, sebagai negeri yang amat bergantung pada sosok pemimpin, Indonesia kembali terpuruk di faktor ini. Kita tidak punya teladan pemimpin yang baik. Semua pemimpin politik korup dari ujung kaki sampai ujung kepala. Pemimpin agama bermain mata dengan radikalisme agama kematian, dan dengan kapitalisme turbo yang menuhankan uang. Krisis keteladanan yang menyeluruh ini membuat kita menjadi bangsa yang ugal-ugalan.
Lima, sebenarnya, kita tahu, bahwa aturan itu dibuat untuk dipatuhi. Kita juga tahu, bahwa mematuhi aturan itu penting untuk keamanan dan kenyamanan hidup bersama. Namun, pengetahuan itu tidak menjadi kebiasaan. Orang menjadi sekedar tahu, tapi tak sungguh memahami sampai ke dalam, mendorong perubahan perilaku, apalagi menciptakan kebiasaan baru yang bermutu.
Enam, ini terhubung dengan rendahnya mutu pendidikan kita di Indonesia. Hafalan dan kepatuhan dianggap sebagai hal terpenting. Padahal, keduanya justru membunuh pikiran manusia, dan membuatnya menjadi mayat hidup. Menteri dan jajaran pejabat pendidikan yang tak bermutu membuat seluruh sistem pendidikan di Indonesia bobrok sampai ke akarnya.
Tujuh, sudah lama, pendidikan Indonesia dijajah oleh ideologi agama kematian dari tanah gersang. Pikiran kritis dan kreatif diracuni oleh hafalan buta yang sama sekali tak berguna. Perempuan dijajah dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ibadahnya pun merusak ketertiban hidup bersama, serta membuat orang lain menderita.
Delapan, ideologi agama kematian berakar pada kesadaran yang sempit dan rendah. Di dalam teori transformasi kesadaran, saya menyebutnya sebagai kesadaran distingtif dualistik. Kesadaran ini terbelah antara aku dan kamu, kelompokku dan kelompokmu, serta antara baik-buruk, benar-salah dan sebagainya. Kesadaran ini membuat orang sempit dan menderita, sehingga cenderung agresif di dalam perilakunya.
Sembilan, buah dari kesadaran sempit yang disebut distingtif-dualistik tersebut adalah mental konservatif eksklusif. Orang tidak bersikap kritis pada tradisi dan pola kebiasaan lama yang membusuk. Orang cenderung sempit dan membenci perbedaan cara hidup. Sikap konservatif eksklusif akan menghancurkan sebuah bangsa. Ini jelas bertentangan dengan politik progresif inklusif yang saya rumuskan sebagai jalan untuk mewujudkan keadilan serta kemakmuran di dalam hidup bersama. (Lihat buku ini: Kesadaran, agama dan politik)
Obat
Kita tidak bisa terus menjadi bangsa ugal-ugalan. Negeri ini bisa hancur lebur dari dalam. Tantangan global amatlah berat. Kita perlu merapatkan barisan, menegaskan identitas kita sebagai negara hukum demokratis, mewujudkan keadilan sosial, menciptakan politik progresif inklusif, membangun budaya berpikir kritis-rasional, menyingkirkan agama kematian serta meningkatkan mutu kesadaran kita sebagai bangsa.
Budaya, termasuk budaya ugal-ugalan, bukanlah sesuatu yang mati. Ia tidak pernah mutlak. Ia bisa diubah, asal ada kesadaran yang cukup, dan kehendak yang kuat untuk sungguh berubah. Itulah yang kiranya sungguh dibutuhkan bangsa kita sekarang ini. Jangan ditunda lagi.
===
Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Dana bisa ditransfer ke rekening pribadi saya: Rekening BCA (Bank Central Asia) 0885100231 atas nama Reza Alexander Antonius. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/