Baru-baru ini di Aceh, berkembang narasi yang membenci perempuan yang tersebar di media sosial.
Narasi tersebut berbunyi: menolak partisipasi perempuan Aceh dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) berdasarkan penafsiran yang sempit terhadap ajaran Al-Qur’an. Jadi intinya perempuan tak boleh jadi pemimpin dalam Pilkada Aceh menurut aturan agama.
Organisasi Balai Syura Ureung Inong Aceh (Balai Syura) dan seluruh elemen gerakan perempuan bereaksi atas narasi di medsos ini. Mereka menegaskan bahwa, memilih dan dipilih dalam Pemilu dan Pilkada merupakan hak politik warga negara Indonesia, termasuk hak perempuan Aceh.
Jaminan atas pemenuhan hak ini telah dinyatakan dengan tegas dalam Konstitusi dan sejumlah peraturan perundang-undangan di bawahnya, baik dalam bentuk UU maupun Qanun. Hal ini sejalan dengan prinsip non diskriminasi dan kesetaraan substantif yang dinyatakan dalam CEDAW atau Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Undang-Undang No. 7 Tahun 1984).
Selain itu, baik UU Pemerintah Aceh (UUPA), UU Pemilihan Kepala Daerah maupun Qanun Aceh tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota sudah menyebutkan, tidak ada satupun yang melarang perempuan untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah.
Bahkan UUPA telah mewajibkan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota untuk memajukan dan melindungi hak-hak perempuan.
Pasal 8 Qanun Aceh tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan juga telah menegaskan jaminan atas hak perempuan untuk menduduki posisi jabatan politik di eksekutif maupun legislatif secara proporsional, melakukan berbagai aktivitas politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan dicalonkan sebagai anggota legislatif oleh partai politik nasional maupun partai politik lokal. Karenanya larangan bagi Perempuan Aceh untuk mencalonkan diri dalam Pilkada merupakan pelanggaran terhadap ketentuan perundang- undangan dan perampasan hak konstitusional perempuan.
Baca juga: Nasib Perempuan di Pilkada: Diserang Identitas Gendernya, Dipertanyakan Apakah Bisa Memimpin
Khairani Arifin, Ketua Presidium Balai Syura Ureung Inong Aceh dalam Live Instagram di Konde.co pada 7 Agustus 2024 menegaskan bahwa selama ini memang ketika masuk dalam masa Pilkada, selalu ada narasi keagamaan yang digulirkan untuk menolak pemimpin perempuan. Ini yang membuat perempuan selalu ragu untuk maju dan selalu ketakutan untuk maju.
“Padahal sebelum maju pun, para perempuan ini sudah ada pertentangan, ini akan menghambat proses perempuan untuk maju dalam Pilkada dan menjadi pemimpin.”
Narasi yang beredar di media sosial ini kemudian juga ditambahi dengan ujaran atau tulisan dari ulama yang kemudian membuat publik malah memojokkan perempuan dan menolak mereka menjadi pemimpin. Ini bisa terjadi dalam waktu yang relatif sangat cepat, sehingga perempuan terpojok posisinya karena penolakan-penolakan ini
“Padahal di Aceh ada banyak sekali qanun yang mendukung perempuan untuk menjadi pemimpin, tidak ada penolakan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin. Narasi ini kemudian dikembangkan dan orang melihat ada benarnya dan orang menggunakan nama-nama ulama-ulama terkenal di Aceh dan seolah-olah ini adalah sebuah kebenaran,’ ujjar Khairani Arifin
Narasi yang sudah dibesar-besarkan ini kemudian ditulis oleh media, atau disebarkan dalam ceramah-ceramah agama secara masif, sehingga dengan waktu yang sangat cepat, publik berpikir untuk tidak memilih perempuan dalam Pilkada. Jika ada perempuan yang bereaksi dan marah dengan kondisi ini, maka langsung distempeli stigma bahwa perempuan memang emosional dan tak pantas jadi pemimpin.
“Ini tantangannya terlalu besar dan mereka gak jadi maju, kalau maju mereka akan ragu dan gak akan maju, ketakutan. Dengan adanya ketakutan seperti ini, maka akan mempengaruhi keraguan mereka dan tidak akan maju.”
Padahal di Aceh, ada sejumlah pemimpin perempuan yang terjadi di Tahun 1400 sampai 1600 an. Namun ketika ini diwacanakan di publik, banyak laki-laki yang menjawab bahwa perempuan bisa jadi pemimpin kala itu, karena tidak ada laki-laki di masa itu.
Baca juga: Peluncuran Panduan Jurnalis Pilkada 2024, Pentingnya Suarakan Isu Gender dan Inklusi
“Pemerintah sudah menerbitkan aturan untuk perempuan dan Pilkada, peraturan ini harus dijalankan dengan upaya-upaya memastikan kepemimpinan perempuan dengan narasi yang lebih logis dan substantif, dan bisa mendorong narasi agama soal kepemimpinan perempuan. Jika ini ditolak, maka pemerintah harus memastikan, ada charta perempuan aceh atau piagam perempuan aceh yang memberikan dorongan maju dan pendidikan politik ke masyarakat yang tak merugikan perempuan dalam narasi politik ini. Perempuan yang memimpin juga bisa mengambil kepemimpinan.”
Khairani mengakui bahwa Memasukkan isu kesetaraan dan keadilan ini bukan sesuatu yang mudah, jadi pilihlah orang yang kuat, cerdas, jangan pilih jenis kelaminnya agar perempuan muncul dan kepemimpinannya
Khaerani juga mengatakan, selama ini sejarah Islam telah mencatat peran penting tokoh perempuan seperti Sayyidah Khadijah, Sayyidah Aisyah, dan Sayyidah Fatimah dalam mendukung dan menyebarkan ajaran Islam, tanpa melarang mereka untuk berpartisipasi dalam kepemimpinan politik.
Aceh sendiri memiliki warisan kepemimpinan perempuan yang kuat dengan 4 Ratu yang memimpin Aceh selama 59 tahun, yang didukung oleh dua ulama besar, Nuruddin Ar-Raniri dan Abdurrauf As-Singkili. Ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki tempat yang penting dalam sejarah kepemimpinan di Aceh. Oleh karenanya, penting bagi publik di Aceh untuk mempelajari kembali sejarah ini guna menghindari kesalahpahaman dan merawat ingatan bersama.
Terhadap permasalahan di atas, Balai Syura Ureung Inong Aceh dan seluruh elemen gerakan perempuan menyatakan mendesak Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota, agar memastikan setiap warga negara termasuk perempuan terlindungi dan terpenuhi hak konstitusionalnya sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, termasuk dalam hal ini memastikan setiap perempuan yang mencalonkan diri dalam Pilkada atau terlibat dalam politik tidak menghadapi diskriminasi atau hambatan karena keberadaannya sebagai perempuan
Baca juga: Alami Intimidasi Sampai Pelecehan, Gimana Cara Laporkan Kekerasan Pada Perempuan Di Pemilu?
“Lalu mengambil langkah-langkah konkret untuk mempromosikan dan melindungi hak-hak perempuan dalam politik, termasuk mendukung keterlibatan mereka dalam bursa Pilkada dan posisi kepemimpinan politik lainnya, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hak-hak perempuan dalam politik, serta menghapus stereotip dan prasangka gender yang dapat menghalangi partisipasi perempuan.”
Kami juga meminta Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) Aceh dan Panwaslih Kab/Kota untuk meningkatkan pengawasannya terhadap penggunaan konten atau materi kampanye yang mengarah kepada hoax dan politisasi SARA dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah sejak dari tahap persiapan, dan melakukan langkah-langkah konkret untuk pencegahan dan menyerukan kepada seluruh Bakal Calon/Calon Kepala Daerah dan tim suksesnya agar berkompetisi secara fair dalam keseluruhan tahapan proses pemilihan kepala daerah, tanpa harus melakukan politisasi agama/politisasi Syariat Islam untuk menjegal perempuan menggunakan hak politiknya.
“Sebagai bagian dari masyarakat yang majemuk, kami percaya bahwa partisipasi penuh perempuan dalam kepemimpinan politik adalah kunci untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan berdaya.”