Mubadalah.id – Suatu hari saya pernah ditanyai sebuah pertanyaan oleh seseorang tentang bagaimana pengalaman saya ketika mengunjungi suatu tempat yang dia sebut. Saya tidak butuh waktu lama untuk menjawab pertanyaan itu. Lalu saya bilang bahwa pengalaman itu menyenangkan. Saya melihat hal-hal baru yang berbeda dari apa yang saya alami di tempat saya dibesarkan.
Si penanya justru bersikap aneh. Menurutnya tidak begitu seharusnya saya menjawab. Pertanyaan itu semestinya kita jawab dengan sudut pandang “seperti ini”, kata dia. Melihat gelagatnya yang terus mendesak saya untuk memakai template jawaban yang dia inginkan, membuat saya mengurungkan niat melanjutkan percakapan itu.
Saya kemudian menyadari bahwa apa yang saya alami tu adalah suatu bentuk penyeragaman terhadap metode berpikir. Ia berupaya memanipulasi lawan bicara untuk menggunakan cara berpikir yang serupa, agar bisa memvalidasi kesimpulan yang sudah lebih dahulu ia buat di dalam kepalanya. Dan penyeragaman seperti ini adalah salah satu bentuk dari penjajahan kreatifitas berpikir orang lain.
Upaya penyeragaman dalam aspek apapun di kehidupan. seperti keberagaman perempuan adalah suatu bentuk perenggutan terhadap kemerdekaan seseorang dalam mengekspresikan kediriannya. Kenapa para siswa kita minta memakai seragam?
Tujuannya agar mereka mudah kita atur sesuai dengan peraturan yang ada. Sehingga alasan utama manusia sangat ingin menjadikan orang lain seragam, tidak lain adalah untuk menjadikan seseorang itu di bawah pengaruhnya, di bawah jajahannya.
Padahal bukankah keberagaman, terutama keberagaman perempuan itu sendiri adalah sebuah keniscayaan. Dan nalar paling pendek pun tahu, jika berhadapan dengan keniscayaan sikap kita sebagai manusia hanya perlu menerimanya. Sebagaimana penerimaan kita terhadap bergantinya siang dan malam, berbedanya warna kulit dan kebudayaan.
Menerima Keberagaman
Tentu, manusia biasa tidak akan sampai pada kebijaksanaan menerima keberagaman itu. Hanya manusia dengan akal budi yang aktiflah yang akan mampu memahami dan memperlakukan perbedaan dengan penerimaan dan toleransi.
Jika kita tarik ke dalam konteks keindonesiaan, penyeragaman sendiri hanyalah sesuatu yang kontras dengan kebhinnekaan yang kita miliki. Suatu kali ketika BPUPKI di tahun 1945 merumuskan butir-butir Pancasila, ada keinginan menjadikan syariat Islam untuk memayungin NKRI yang beragam.
Namun kemudian kebijaksanaan para pendiri bangsa menyepakati agar menjadikan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sebuah idiologi yang memayungi semua kepercayaan itu. Tidak hanya islam tapi semua agama yang dipeluk oleh semua rakyat Indonesia dari Barat hingga ke Timur.
Kejadian ini tentu menunjukkn kesensitifan para pendiri bangsa. Yakni dengan menyadari bahwa upaya penyeragaman hanyalah sebuah upaya untuk mengkerdilkan sebuah bangsa yang besar. Lalu ditetapkanlah Pancasila sebagai sebuah ideologi negara yang sah pada 18 Agustus 1945. Tujuannya guna menjamin eksistensi setiap yang berbeda itu agar dapat hidup saling menopang bagi kokohnya NKRI.
Tentang Seragam Paskibraka
Kemudian pada hari ini, berdasarkan laporan dari PPI (Purna Paskibraka Indonesia) terdapat 18 anak bangsa yang dengan semangat nasionalismenya ingin menghargai lambang-lambang negara. Selain itu mengkhidmati perjuangan para pahlawan untuk memerdekakan bangsa, justru terjajah kebebasan ekspresi keagamaannya untuk tetap mengenakan kerudung sebagai PASKIBRAKA (Pasukan Pengibar Bendera Pusaka).
Padahal perjuangan para pahlawan itu mencakup pembebasan agar bangsa ini merdeka dari penjajah. Pembebasan agar bangsa ini bangga dengan apa yang dianutnya, dengan tanahnya, dengan budayanya, dengan bahasanya, dengan pakaiannya, dengan karakter dan jati dirinya. Namun, di tengah penghayatan mereka akan nilai-nilai pembebasan itu justru pada saat yang sama mereka terjajah kembali oleh sesuatu yang kita namai “seragam”.
Seragam mengharuskan mereka menanggalkan identitas dan keberagaman perempuan. Penanggung jawab kegiatan tersebut dengan lugunya justu memutar balikkan nalar yang anak kecil pun paham. Bahwa upaya penyeragaman itu justru adalah bentuk dari menghidupkan nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila yang mana yang mengakomodir manusia untuk mengekang kebebasan orang lain untuk memilih cara dia menjalani kehidupan.
Sila pertama Pancasila misalnya, menekankan toleransi dalam menghadapi perbedaan keyakinan beragama. Toleransi adalah kata lain dari membebaskan orang lain beragama. Termasuk dalam arti toleransi adalah membiarkan seorang perempuan berhijab tetap dengan kerudung di kepalanya.
Segala upaya yang dilakukan agara individu tersebut terjebak dalam pilihan menanggalkan identitasnya dalam beragama adalah upaya melanggar sila pertama. Itulah pengkhianat Pancasila yang sebenarnya.
Lebih tidak masuk akal lagi aturan menyeragamkan ini justru insiatornya adalah BPIP RI. Yakni sebuah lembaga yang bertugas untuk memastikan tegaknya Pancasila di Indonesia. BPIP yang semestinya menjiwai Pancasila sebagai nilai-nilai yang toleran dan inklusif justru dengan gelap mata mengubah nilai Pancasila itu menjadi nilai eksklusif yang tidak mampu menerima keberagaman.
Beragama dalam Pancasila
Mirisnya lagi Yudian Wahdyudi, yang merupakan ketua BPIP ternyata adalah seorang guru besar pada Fakultas Syariah dan Hukum Islam. Seharusnya punya senjata lengkap untuk menegakkan nilai-nilai Pancasila yang fleksibel dan terbuka serta toleran. Pada saat yang sama sudah semestinya juga paham bahwa konsep seragam yang BPIP buat sudah atas persetujuannya itu telah menyalahi prinsip Pancasila sekaligus menodai kebebasan beragama seseorang berkaitan dengan pemakaian kerudung.
Usut punya usut rupanya Yudian Wahyudi yang menjadi ketua BPIP sejak awal memanglah sosok yang tidak toleran terhadap keberagaman perempuan. Ia pernah melakukan pelarangan cadar bagi mahasiswa semasa ia menjabat sebagai rektor. Lalu pada tahun 2020 lalu ketikadetik.com wawancara, dia juga pernah mengeluarkan pendapat yang menggambarkan intoleransinya dengan mengatakan bahwa “agama adalah musuh bagi pancasila”.
Jika demikian apakah upaya yang kini BPIP lakukan untuk menghalangi anggota Paskibraka muslimah tetap berjilbab adalah interpretasinya sendiri terhadap anggapan bahwa agama adalah musuh bagi Pancasila. Bagaimana bisa seorang yang dibesarkan dalam lingkungan keagamaan dan menjadi seorang guru besar hukum agama, justru mengangap agama sebagai musuh bagi Pancasila.
Personality yang tidak toleran tentu saja akan menghasilkan tindak-tanduk maupun kebijakan yang tidak toleran. Pertanyaan besarnya adalah mengapa seorang yang sejak awal tidak toleran sejak dalam pikirinnya kita biarkan menggerogoti nilai-nilai keberagaman yang ada dalam Pancasila.
Pemahaman terhadap Pancasila tidak seharusnya kita benturkan dengan nilai-nilai agama. Beragama dalam Pancasila adalah sesuatu yang terlindungi, beragama juga dalam Pancasila menandakan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang religius sedari awal. Sehingga pencopotan simbol keagamaan sama saja dengan upaya merenggut jati diri bangsa itu sendiri. Dan itu adalah kejahatan. []