Mubadalah.id – Hari ini, 12 Rabiul Awal 1446 H atau 16 September 2024 merupakan hari istimewa bagiku dan sebagian masyarakat di Desa Klampok, Kecamatan Wanasari, Brebes. Di hari ini, kami sedang merayakan puncak Maulid sosok Nabi Agung, Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Masjid-masjid dan mushala di desa kami ramai dengan marhabanan (membaca Kitab Maulid Barzanji atau Diba’i). Pembacaan marhaban itu dilakukan tidak hanya dilakukan pada 12 Rabiul Awal. Melainkan sejak tanggal 1 Rabiul Awal sudah banyak mushala dan masjid yang menggema dengan pembacaan marhabanan.
Anak-anak, remaja laki-laki dan perempuan, ibu-ibu serta bapak-bapak sebagian besar ikut terlibat dalam setiap ada marhabanan. Adapun waktu pembacaan marhabanan ini setiap selesai Shalat Maghrib maupun Shalat Isya.
Tradisi Maceti
Namun dalam setiap pembacaan marhabanan ini, ada tradisi unik yang biasa sebagian masyarakat di desaku lakukan. Tradisi tersebut adalah “Maceti”. Secara bahasa kata maceti berasal dari pacetan, atau dalam bahasa Ngapak, Jawa Tengah, artinya adalah suguhan.
Lalu kata paceti itu diubah dengan maceti yang berarti memberikan suguhan. Sehingga dalam tradisi maceti dengan sendirinya dan penuh kesadaran masyarakat akan memberikan suguhan kepada orang-orang yang akan melakukan marhabanan. Baik yang dilaksanakan di mushala maupun masjid.
Namun sebelum adanya tradisi maceti ini, orang-orang yang hendak melakukan marhabanan biasanya akan membawa suguhan (makanan) masing-masing. Namun dengan seiring berjalanannya waktu, ada inisiatif dari tokoh agama setempat untuk membuka kepada masyarakat umum, bahwa siapa saja boleh memberikan suguhan tersebut. Sehingga dari sinilah mulai terciptanya tradisi maceti.
Adapun cara yang dilakukan oleh tokoh agama atau imam muslaha/masjid tersebut biasanya akan memberikan informasi kepada para jamaah, bahwa setelah Shalat Isya akan diadakan marhabanan. Maka dengan sendirinya masyarakat sekitar akan berbondong-bondong memberikan suguhan makanan seperti gorengan, teh gelas, wafer, makaroni, dan jajanan lainnya.
Bahkan dari tradisi maceti menjadi wadah bagi masyarakat sekitar untuk saling berlomba-lomba untuk bersedakah sebanyak-banyak dalam rangka meramaikan tradisi maulid Nabi. Terlebih saat memasuki hari kelahiran Nabi Muhammad Saw, 12 Rabiul Awal, setiap mushala akan membuat nasi tumpeng. Nasi ini sebagai bentuk rasa syukur atas kelahiran manusia yang paling mulia.
Kemudian, setelah pembacaan marhabanan, nasi tumpeng tersebut akan kami para masyarakat sekitar nikmati bersama. Kita makan bersama.
Sungguh momen maulid Nabi Muhammad Saw menjadi waktu bagi aku dan masyarakat bisa saling bersilahturahmi dan bersatu untuk memeriahkan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. Bahkan melalui tradisi maceti menjadi ruang bagi kita semua untuk bisa saling berbagi antar sesama.
Marhabanan Bersama Hadrah Annashwa
Aku sebagai salah satu pendiri dari musik rabana Hadrah Annashwa selalu mendapatkan keberkahan dengan datangnya bulan maulid. Biasanya aku dan teman-teman tim hadrah selalu siap untuk mengiringi pembacaan Kitab Maulid Barzanji.
Aku berharap dengan diiringi dengan tim hadrah, pembacaan marhabanan bisa semakin meriah dan penuh suka cita. Sehingga orang yang datang ke mushala kami ikut khusu’ dan menghayati setiap bait-bait, pujian-pujian dan shalawat kepada Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Sehingga orang-orang yang hadir bisa bershalawat kepada manusia yang paling mulia. Sebagaimana perintah Allah Swt:
اِنَّ اللّٰهَ وَمَلٰۤىِٕكَتَهٗ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّۗ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
Artinya: Sesungguhnya Allah dan para Malaikat–Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman. Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya. (QS. al-Ahzab ayat 56)
Semoga dalam bulan penuh keberkahan ini, kita semua benar-benar diakui sebagai umatnya Kanjeng Nabi Muhammad Saw dan mendapatkan syafaatnya di akhir hayat kelak… Amin. []