Mubadalah.id – Perbudakan atau dalam bahasa Inggris kita sebut slavery merupakan sebuah kondisi di mana seseorang diperdaya atau diperalat oleh manusia lain, sehingga kehilangan hak-hak hidupnya.
Budak dianggap sebagai barang bergerak atau properti, sehingga mereka kehilangan sebagian besar hak yang dimiliki oleh orang bebas pada umumnya. Budak harus patuh dan taat kepada majikannya, bahkan sampai menanggung resiko kematian.
Fenomena perbudakan
Perbudakan dapat terjadi karena berbagai alasan, seperti: Pelanggaran hukum, terlilit hutang, maupun kekalahan militer. Hal ini bisa kita kaitkan dengan kasus peperangan yang terjadi di masa lalu, di mana mereka yang kalah akan dijadikan budak.
Meski PBB telah melarang adanya perbudakan atas dasar HAM, namun fenomena perbudakan telah bertransformasi di era modern, seperti para pegawai yang bekerja non-stop siang dan malam sebagaimana di Jepang. Begitu juga para pemain sepak bola yang terpaksa untuk bermain tanpa henti sebagaimana di klub-klub Eropa.
Melalui narasi di atas, perbudakan modern adalah kondisi di mana seseorang tereksploitasi oleh orang lain untuk keuntungan pribadi atau komersial. Seseorang yang menjadi korban perbudakan modern dapat mengalami penipuan, paksaan, atau pengekangan.
Perbudakan Modern
Perbudakan modern merupakan masalah yang meluas dan terus menimpa jutaan orang di seluruh dunia, melampaui batas geografis dan struktur masyarakat. Meskipun ada kemajuan dalam undang-undang hak asasi manusia dan kesadaran global, bentuk-bentuk perbudakan kontemporer—seperti perdagangan manusia, kerja paksa, dan jeratan utang—masih sangat lazim.
Penulis berpendapat bahwa perbudakan modern tidak hanya merupakan pelanggaran hak asasi manusia yang mendasar, tetapi juga merupakan hambatan bagi pembangunan ekonomi dan kemajuan sosial. Mengatasi masalah ini memerlukan pendekatan multifaset yang melibatkan kerja sama internasional, kerangka hukum yang kuat, dan kampanye kesadaran publik.
Salah satu aspek perbudakan modern yang paling mendesak adalah pelanggarannya terhadap hak asasi manusia dasar. Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), diperkirakan 40 juta orang terperangkap dalam perbudakan modern secara global (Organisasi Perburuhan Internasional [ILO], 2017).
Orang-orang ini sering mengalami eksploitasi ekstrem, termasuk kekerasan fisik, manipulasi psikologis, dan penolakan kebebasan. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa “tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan” (Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa [UNGA], 1948). Namun jutaan orang masih hidup dalam kondisi yang melanggar prinsip ini.
Hadis tentang Sikap Rasulullah kepada Pada Budak
Salah satu sumber utama untuk memahami perspektif Islam tentang masalah apa pun adalah Al-Quran. Al-Quran mengakui keberadaan perbudakan selama pewahyuannya. Tetapi secara bersamaan mempromosikan prinsip-prinsip yang mendorong emansipasi dan perlakuan yang adil.
Misalnya, ada banyak ayat yang menganjurkan pembebasan budak sebagai tindakan amal (QS. An-Nūr[24]:33). Selain itu, lebih spesifik terdapat hadis yang menyatakan perlakuan yang baik terhadap budak perempuan sebagaimana dalam hadis Bukhari nomor 2329:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ عَنْ صَالِحٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا رَجُلٍ كَانَتْ لَهُ جَارِيَةٌ فَأَدَّبَهَا فَأَحْسَنَ تَأْدِيبَهَا وَأَعْتَقَهَا وَتَزَوَّجَهَا فَلَهُ أَجْرَانِ وَأَيُّمَا عَبْدٍ أَدَّى حَقَّ اللَّهِ وَحَقَّ مَوَالِيهِ فَلَهُ أَجْرَانِ
Artinya:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Shalih dari Asy-Sya’biy dari Abu Burdah dari Abu Musa Al Asy’ariy radliallahu ‘anhu berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa saja dari seseorang yang memiliki seorang budak wanita lalu dididiknya dengan sebaik-baik pendidikan, kemudian dibebaskannya lalu dinikahinya maka baginya mendapat dua pahala, dan siapa saja dari seorang hamba yang menunaikan hak Allah dan hak tuannya maka baginya mendapat dua pahala.”
Hadis tersebut secara jelas memberikan arahan bagaimana cara beretika seorang tuan kepada budaknya, yakni tidak serta memanfaatkannya semata. Namun juga memikirkan tumbuh kembang kemampuan si budak, memberikannya kebebasan dan bahkan menikahinya.
Nilai-nilai seperti ini sudah Rasulullah perkenalkan sejak zaman dahulu. Tentunya dengan bertransformasinya bentuk perbudakan di era kontemporer, maka bisa jadi makna etika relasi tuan dengan budak ikut serta berkembang.
Reinterpretasi Etika Berelasi antara Bos dan Karyawan di Era Modern
Perbudakan modern, istilah yang mencakup berbagai bentuk perdagangan manusia, kerja paksa, dan eksploitasi, menimbulkan tantangan etika dan moral yang signifikan dalam masyarakat kontemporer.
Jika kita kaitkan dengan eksploitasi karyawan oleh seorang bos perusahaan atau majikan dengan pembantu bukankah itu juga termasuk perbudakan? Hal yang sering terdengar bagaimana beban kerja yang berlebihan bagi pekerja-pekerja di Jepang menjadikan mereka bunuh diri.
Secara jelas terdapat tantangan untuk merumuskan sebuah etika yang baik antara atasan dengan bawahan sebagai wujud manifestasi kesetaraan dalam bingkai Hak Asasi Manusia. Mengambil nilai penting dalam hadis di atas, dapat kita simpulkan beberapa poin:
Pertama, atasan memberikan hak pengembangan diri bagi bawahannya, semisal dengan mengikutkan mereka dalam perlatihan-pelatihan yang bisa menunjang kemampuan dan keilmuan mereka.
Kedua, memberikan mereka hak untuk resign atau pengunduran diri jika mereka memang merasa tidak kuat dengan beban yang ada di pekerjaan mereka. Selagi hal itu tidak merusak perjanjian yang sudah menjadi kesepakatan. Hal ini jika menuntut adanya perjanjian kerja yang manusiawi antara atasan dengan karyawan sehingga tidak ada unsur-unsur merugikan antara dua belah pihak.
Ketiga, adanya peluang kenaikan jabatan. Nilai ini dapat kita lihat dari redaksi hadis di atas tentang “menikahi budak” yang secara tidak langsung memberikan makna adanya kenaikan kelas sosial bagi budak yang kita anggap kaum rendahan pada zaman Nabi.
Dengan menikahi mereka tentu kelas sosial para budak akan meningkat. Makna tersebut dapat kita korelasikan dengan adanya kenaikan jabatan yang bisa kita berikan kepada para pekerja yang memang kinerjanya bagus. Selain itu, aspek menaikkan kelas sosial bisa berupa berbagai macam, semisal adanya bantuan kendaraan bagi mereka yang tidak mempunyai kendaraan dan fasilitas-fasilitas lainnya. Wallahu A’lam. []