Oleh: Raihan Muhammad
Sosok Abdurrahman Wahid atau akrab dipanggil Gus Dur (Presiden ke-4 RI), sang pejuang hak asasi manusia (HAM) yang telah tiada, kembali dirindukan. Semangatnya dalam memperjuangkan HAM dan keadilan bagi semua golongan, kini terasa semakin relevan.
Gus Dur, dengan segala kebijaksanaannya, selalu mengingatkan kita bahwa setiap manusia berhak diperlakukan dengan bermartabat, tanpa memandang suku, agama, ras, atau golongan. Ia tak henti-hentinya menyuarakan perdamaian dan toleransi, bahkan di tengah situasi yang penuh gejolak.
Kini, ketika kita dihadapkan pada kenyataan pahit sejumlah isu mengenai pelanggaran HAM, ajaran Gus Dur bagaikan oase di tengah padang pasir. Semangatnya mendorong kita untuk terus memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan, demi mewujudkan Indonesia yang damai dan sejahtera bagi semua.
Gus Dur Sang Pejuang HAM
Gus Dur dikenal sebagai salah satu pejuang HAM paling vokal di Indonesia. Ia selalu berani menyuarakan kritik terhadap kebijakan Orde Baru, di bawah komando Presiden Soeharto kala itu. Gus Dur selalu lantang ketika ada masyarakat yang ditindas oleh penguasa.
Kemudian, Gus Dur diamanatkan menjadi Presiden Republik Indonesia. Kala itu, Indonesia mengalami ancaman disintegrasi yang nyata, terutama setelah lepasnya Timor Timur (menjadi Timor Leste) dan munculnya gerakan separatisme di Aceh dan Papua.
Di tengah konflik etnoreligius di Maluku dan ketegangan politik di Jakarta, Gus Dur dihadapkan pada situasi yang membutuhkan kepemimpinan yang kuat untuk mempertahankan kesatuan wilayah Indonesia.
Meskipun dihadapkan pada tantangan yang berat, Gus Dur berhasil mempertahankan Aceh dan Papua agar tetap menjadi bagian integral dari Indonesia. Pendekatan yang diambilnya adalah dengan memperkenalkan konsep “kewarganegaraan bineka”, yang mengakui dan memenuhi hak-hak khusus dari komunitas-komunitas yang memiliki keberagaman budaya dan identitas.
Dalam catatan “Gus Dur, Pahlawan HAM Gus Dur” pun telah ditegaskan bahwa Gus Dur sebagai pahlawan HAM karena membuka paradigma baru dengan menegaskan prinsip kesetaraan dalam hukum tanpa memandang warna kulit, etnis, agama, atau ideologi.
Ia menghargai setiap individu sebagai sesama manusia dan warga negara, serta membubarkan lembaga ekstrayudisial yang memiliki kewenangan untuk menindas, seperti Bakorstanas. Gus Dur juga menghapus penelitian khusus (litsus) yang digunakan untuk menakuti pegawai negeri agar tidak bersikap kritis.
Selama masa pemerintahannya, Gus Dur mencabut kebijakan diskriminatif yang telah berlangsung lama, seperti Tap MPRS No. XXV/1966 yang mengenai pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran ajaran Marxisme dan Leninisme.
Ia pun menghapus diskriminasi terhadap penduduk pada atas usia 60 tahun di DKI Jakarta yang terkait dengan peristiwa G30S, serta mengupayakan pencabutan pasal-pasal diskriminatif dalam undang-undang pemilihan anggota legislatif.
Gus Dur membangun visi untuk Indonesia yang baru, damai, dan bebas dari prasangka serta kebencian. Ia pun mengajukan permintaan maaf kepada korban 1965 yang diserang oleh Banser NU, sebagai langkah awal dalam proses rekonsiliasi untuk membangun Indonesia yang kuat dan menyeluruh.
Gus Dur pun berupaya menghilangkan stigma dan kecurigaan terhadap suatu kelompok dengan mendengarkan suara korban dan mengupayakan pencabutan tindakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa. Melalui langkah-langkah ini, Gus Dur berusaha membangun fondasi yang lebih inklusif dan menghargai HAM bagi semua individu di Indonesia.
Gus Dur dan HAM di Papua
Gus Dur punya perhatian yang besar terhadap Papua dan selalu menyuarakan hak-hak masyarakatnya. Pendekatan keamanan yang mengedepankan operasi militer dan represif terbukti tidak efektif dalam menyelesaikan konflik di Papua. Justru, pendekatan ini semakin memperparah situasi dan memicu lebih banyak pelanggaran HAM. Maka, diperlukan pendekatan humanis yang mengedepankan dialog, damai, dan penghormatan terhadap HAM.
Kala itu, Gus Dur senantiasa menggunakan pendekatan-pendekatan yang humanis, yakni dengan merangkul bukan “memukul”. Dalam menangani konflik di Papua, Gus Dur pun mengambil langkah-langkah inovatif dan berani. Salah satunya adalah dengan mendengarkan aspirasi dari pelbagai elemen masyarakat Papua, termasuk yang berasal dari gerakan Papua Merdeka, sebagai bagian dari upaya memahami beragam pandangan.
Selain itu, Ia pun mengubah nama Irian Jaya menjadi Papua sebagai bentuk penghargaan terhadap budaya lokal, serta memperbolehkan pengibaran bendera Bintang Kejora bersama dengan bendera merah putih, menganggapnya sebagai simbol kultural bukan politik.
Selain itu, Gus Dur juga memberikan ruang bagi dialog dan ekspresi aspirasi dari masyarakat Papua melalui penyelenggaraan Kongres Rakyat Papua (KRP) II dan pembebasan tahanan politik Papua.
Meskipun mendapat penolakan dari beberapa pihak di pemerintahan, termasuk dari parlemen dan militer, Gus Dur tetap gigih dalam mendorong penyusunan RUU Otonomi Khusus Papua sebagai langkah menuju penyelesaian masalah Papua.
Melalui pendekatan dialogis, pengakuan hak-hak khusus, dan penghormatan terhadap identitas budaya, Gus Dur telah memberikan kontribusi besar dalam menyelesaikan konflik di Papua dan memperkuat kesatuan wilayah Indonesia.
Kendati visinya belum sepenuhnya terealisasi, upaya dan visinya tetap menjadi inspirasi bagi penyelesaian masalah Papua di masa yang akan datang.
Pendekatan humanisnya yang mengutamakan dialog dan saling menghormati menjadi landasan utama dalam menyelesaikan konflik, dengan tujuan agar warga Papua merasa nyaman dengan identitasnya dan menjadi bagian yang bermartabat dalam Indonesia.
Melalui pendekatan ini, Gus Dur memberikan contoh tentang bagaimana dialog dan penghargaan terhadap budaya dapat menjadi kunci untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan.
Meneladani Gus Dur
Gus Dur telah menunjukkan kepada kita bahwa dengan keberanian, tekad, dan komitmen yang kuat, kita dapat melawan ketidakadilan dan memperjuangkan hak asasi manusia. Teladan Gus Dur dapat kita jadikan inspirasi untuk terus memperjuangkan HAM di Indonesia, khususnya dalam konteks situasi yang kelam seperti penyiksaan di Papua.
Gus Dur sosok yang dirindukan karena sangat menginspirasi bangsa Indonesia dengan pendekatan humanis dan dialogisnya dalam menyelesaikan konflik serta melindungi HAM. Ia pun menegaskan pentingnya menghormati identitas budaya suatu masyarakat, seperti yang ditunjukkan dengan pengakuan terhadap budaya Papua. Sikap keterbukaan terhadap aspirasi masyarakat juga diajarkan oleh Gus Dur, yang memberikan ruang bagi partisipasi dalam proses politik, seperti melalui Kongres Rakyat Papua.
Pengakuan hak-hak khusus, seperti otonomi khusus untuk Papua, juga menjadi instrumen penting dalam memperjuangkan HAM dan membangun kesetaraan dalam masyarakat.
Dengan mengambil contoh dari pendekatan dan nilai-nilai yang diajarkan oleh Gus Dur, kita bisa memperjuangkan HAM dengan cara yang humanis, dialogis, dan menghargai keberagaman budaya, menuju masyarakat yang adil, damai, dan bermartabat bagi semua individu.
Artikel ini ditulis oleh Raihan Muhammad
Raihan Muhammad adalah Direktur Eksekutif Amnesty UNNES
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.