Generasi muda sangat lantang bicara krisis iklim dan lingkungan. Mereka sadar atas ancaman yang sedang dan akan mereka hadapi akibat kerusakan lingkungan yang terjadi. Mulai dari cuaca ekstrem, bencana yang makin intens, pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat tambang, hingga perampasan hutan dan alih fungsi lahan oleh korporasi.
Konde.co berbincang dengan enam perempuan muda dari berbagai daerah yang bergerak di isu lingkungan dan menuliskan kisah mereka. Mereka adalah Antonia Maria Oy, Cindy Silviana Br.Sihotang, Hamra, Qatrunnada H. Melati, Sucia Lisdamara dan Tri Oktafiani.
Keenam perempuan muda dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan NTT ini melakukan kampanye, edukasi, pendampingan dan advokasi. Sebagian besar dari mereka sudah selesai kuliah dan memilih pulang ke kampung halaman. Ada juga yang masih menyelesaikan kuliahnya.
Perempuan-perempuan muda ini tidak ingin menjadi korban sekaligus pelaku yang mewarisi dan merusak lingkungan. Mereka ingin memutus mata rantai kejahatan lingkungan dan penghancuran ruang hidup yang dibuat generasi sebelumnya. Mereka melakukannnya lewat aktivitas dan gerakan bersama komunitas di lingkaran terdekat.
1. Antonia Maria Oy: Bersama Komunitas Lakukan Edukasi Krisis Iklim
Mengantongi gelar Sarjana Pertanian dari Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang, Antonia Maria Oy memutuskan untuk pulang ke kampung halaman. Perempuan yang biasa disapa Nia ini (25 tahun) lahir dan besar di Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Ia merantau ke Malang, Jawa Timur untuk kuliah.
Nia sempat bekerja—setelah lulus kuliah sembari menunggu wisuda—di bidang promosi produk pertanian selama enam bulan di Malang. Namun pada akhirnya Nia memilih mengikuti panggilan hatinya.
“Ini mungkin lebih keputusan pribadi ya, kak. Memang sudah sangat nyaman dan sempat bekerja juga di Kota Malang. Tapi kayak ada kerinduan untuk kembali ke tanah (kampung),” ujar Nia kepada Konde.co, Selasa (13/8/24).
“Memang bukan karena ada cita-cita besar mau bangun daerah, tidak juga. Tapi melihat hampir semua anak muda kok betah di luar begitu, padahal di tanah kita ada lapangan pekerjaan. Jadi ya memilih untuk oke berani pulang sajalah, pasti cepat atau lambat mendapatkan pekerjaan,” tuturnya.
Setelah wisuda pada 2023, Nia akhirnya pulang ke Waingapu. Ia pun makin aktif bersama Koalisi Kelompok Orang Muda untuk Perubahan Iklim (KOPI) melakukan edukasi soal iklim dan lingkungan. Ketika masih di Malang, aktivitas Nia bersama Koalisi KOPI dilakukan secara online. Setelah pulang, Nia dipercaya menjadi koordinator Koalisi KOPI untuk wilayah Waingapu.
Koalisi KOPI merupakan gerakan bersama yang terdiri dari sejumlah komunitas di NTT. Selain komunitas lingkungan ada juga komunitas transpuan, komunitas budaya, komunitas teater, komunitas taman baca, dll. Koalisi KOPI fokus melakukan kampanye dan edukasi kreatif terkait perubahan iklim khususnya di kalangan anak-anak muda.
Kondisi Lingkungan Tumbuhkan Kesadaran
Tinggal di Sumba, NTT yang sebagian besar masyarakatnya masih punya ketergantungan besar terhadap alam menyadarkan Nia akan pentingnya merawat alam. Apalagi Sumba Timur termasuk daerah yang punya hari tanpa hujan yang cukup panjang sehingga kekeringan ada dimana-mana.
“Nenek-nenek saya, perempuan-perempuan tradisional yang punya kedekatan dengan alam itu akhirnya sekarang kayak mengalami banyak kesulitan,” tutur Nia.
Keberadaan perusahaan-perusahaan di Sumba yang merampas hak ulayat masyarakat adat dan membabat hutan membuat mereka kehilangan penghidupan. Ini lantaran bagi masyarakat, hutan sebenarnya adalah tempat mereka mencari makan. Sementara sumber-sumber mata air diprivatisasi, akibatnya krisis air di masyarakat makin parah. Diantara perusahaan tersebut adalah PT Muria Sumba Manis (PT MSM) yang membuka bisnis perkebunan tebu dan pabrik gula, paparnya.
Sementara di Kota Waingapu, tempat Nia tinggal, ia melihat belum banyak tempat penampungan sementara (TPS) sampah. Pengelolaan sampah masih sangat buruk bahkan hanya ada satu tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dengan lokasi yang jauh.
Situasi ini membuat Nia jadi miris, karena itu ia tergerak untuk berbuat sesuatu.
“Karena saya tahu saya dan teman-teman yang menentukan masa depan kami. Jadi kami tidak mau ke depannya tuh kami sudah menjadi korban dan menjadi pelaku lagi,” tegasnya.
Nia bergabung dalam komunitas Ana Humba Community sejak duduk di bangku SMA. Ana Humba Community adalah komunitas seni dan sastra yang menjadi wadah bagi anak-anak SMA untuk menggali potensi mereka. Komunitas ini juga fokus pada isu pendidikan dengan memberikan bantuan alat tulis dan buku-buku pada anak-anak di desa. Setelah lulus SMA dan kuliah, Nia menjadi pembina di komunitas ini.
Ketika masyarakat adat menolak keberadaan PT MSM, Nia bersama Ana Humba Community ikut mendukung perjuangan masyarakat adat. Mereka juga mengadakan diskusi dengan masyarakat adat. Selain itu bekerja sama dengan LSM dan organisasi lain, mereka mendatangkan Haris Azhar, Direktur Lokataru untuk bersama-sama mengadvokasi kasus tersebut.
Fokus Edukasi Anak Muda
Pada 2021 komunitasnya, Ana Humba Community bergabung dengan Koalisi KOPI. Koalisi ini menghimpun lebih dari 100 anak muda di NTT yang tersebar di 10 wilayah. Mereka fokus untuk kampanye dan edukasi terkait isu perubahan iklim dengan menyasar anak-anak muda. Karena itu edukasi juga dilakukan lewat media sosial seperti Instagram yang banyak dipakai anak muda.
“Kami juga melakukan edukasi lewat media sosial di Instagram khususnya karena fokus kami kan lebih ke anak-anak muda. Dan Instagram ini sedang hype di anak-anak muda. Jadi ya kami menggunakan tren-tren masa kini untuk melakukan sosialisasi dan edukasi,” urai Nia.
Saat menjadi koordinator untuk wilayah Waingapu, Nia bersama komunitasnya melakukan sejumlah kegitan. Seperti penanaman pohon di sekitar mata air yang debit airnya mulai meyusut, melakukan kegiatan beach clean-up atau bersih-bersih pantai. Selain itu juga menggelar diskusi terkait isu iklim dan lingkungan serta melakukan edukasi lewat media sosial dan media seni.
Edukasi juga dilakukan dengan mendatangi sekolah dan kampus lewat kegiatan yang diberi nama Koalisi KOPI Goes to Campus and School. Mereka menggelar nonton bareng (nobar) lalu disambung dengan diskusi. Mereka juga mengajak para mahasiswa dan adik-adik SMA membuat kesepakatan bersama untuk menjaga iklim khususnya di Sumba Timur.
Ketika badai Seroja menghantam NTT pada April 2021, wilayah Sumba Timur ikut terdampak. Sekitar 5.000 rumah warga di Sumba Timur rusak diterjang badai. Nia dan komunitasnya mendatangi sekolah-sekolah yang terdampak, mendengarkan anak-anak menceritakan pengalaman mereka.
Pada Mei 2024 lalu Koalisi KOPI menggelar Jambore Gotong Royong Untuk Flobamoratas (Jambore GRUF). Ajang tahunan yang mempertemukan komunitas anak muda di NTT untuk berjejaring, meningkatkan kapasitas dan mendiskusikan agenda bersama terkait upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Flobamoratas mencakup Flores, Sumba, Timor, Rote, Alor, Lembata dan Sabu.
Baca juga: Edisi Kemerdekaan: 6 Perempuan Muda Marjinal Bergerak, Jauh Dari Hingar-Bingar (1)
Sumba Timur menjadi tuan rumah bagi ratusan perwakilan komunitas dari sejumlah daerah di NTT serta Kalimantan dan Papua. Tahun ini acara berfokus pada seni sebagai media untuk lakukan kampanye dan edukasi terkait perubahan iklim.
Ada 20 seniman muda dari sejumlah komunitas seni di NTT yang memberikan workshop kepada peserta terkait kerja-kerja mereka selama ini. Yakni memasukkan isu perubahan iklim dalam karya seni mereka, seperti lagu, lukisan, teater, dan dongeng.
Di acara ini juga dilangsungkan pemilihan pengurus Koalisi KOPI karena mereka sudah bersepakat untuk menjadikan Koalisi KOPI sebagai organisasi, bukan sebatas program. Dalam pemilihan tersebut Nia dipercaya menjadi Sekretaris Komite Eksekutif Flobamoratas.
Koalisi KOPI berdiri pada 2021, awalnya merupakan program yang diinisiasi oleh Hutan Itu Indonesia dan Teras Mitra dengan dukungan Yayasan Humanis. Setelah program berjalan dan akan selesai, para anggota Koalisi KOPI bersepakat untuk membentuk Koalisi KOPI menjadi satu organisasi atau perkumpulan.
“Kami anggota-anggota Koalisi Kopi menyepakati untuk menjadikan ini organisasi begitu, satu perkumpulan yang legal. Jadi tidak sebatas program tapi memang bagian dari pelayanan anak-anak muda NTT untuk upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” papar Nia.
Tahun ini Koalisi KOPI sedang dalam proses transisi untuk menjadi mandiri dalam melakukan kerja-kerjanya.
Pentingnya Gerakan Kolektif
Aktivitas yang dilakukan bersama komunitas membuat Nia sadar akan pentingnya gerakan kolektif. Nia menuturkan bersama komunitas Ana Humba Community, selama ini ia melakukan hal-hal sederhana seperti clean-up dan tanam pohon. Ketika bergabung di dalam Koalisi, ia melihat ternyata banyak anak muda NTT yang hebat-hebat.
“Adanya gerakan kolektif ini menyadarkan bahwa kita selama ini bergerak sendiri-sendiri. Padahal ketika kita bergabung dan kita bergerak sama-sama, itu memiliki dampak yang besar,” katanya.
Bagi Nia aktivitas yang ia lakukan membawanya pada refleksi pribadi untuk tidak mewariskan lingkungan yang buruk bagi generasi mendatang.
“Kenapa kami mau bergerak menjadi relawan melakukan pelayanan lewat edukasi terkait isu perubahan iklim? Karena kami, perempuan dan anak muda khususnya, adalah korban dari ketidakadilan generasi. Dan kami tidak mau mewariskan lingkungan yang buruk kepada generasi mendatang setelah kami,” ujar Nia.
Nia menuturkan posisinya sebagai perempuan kadang membuatnya dipandang sebelah mata, tapi itu tak menyurutkan langkahnya.
“Karena saya anak muda, perempuan lagi, jadi kayak double kerjanya dan cukup berat. Ada banyak keraguan ketika perempuan dan dia anak muda mengurus sebuah gerakan.”
Baca juga: Edisi Kemerdekaan: 6 Perempuan Muda Marjinal Bergerak, Jauh Dari Hingar-Bingar (2)
Belum lagi adanya pandangan bahwa aktivitas yang ia lakukan bersama komunitas sia-sia belaka. Sayangnya anggapan ini justru datang dari orang-orang yang melek terhadap isu lingkungan.
“Misalnya ketika kita lakukan clean- up ke pantai atau ke kota. Ada orang-orang yang sebenarnya paham tapi justru bilang, ‘percuma begitu karena sampahnya akan ada lagi’,” tutur Nia.
Padahal menurut Nia yang mereka lakukan bukan hanya memungut sampah tapi secara tidak langsung kampanye lewat tindakan.
Nia juga melihat belum ada keseriusan dari pemerintah dalam menyikapi krisis iklim dan lingkungan. Meskipun gerakan edukasi gencar dilakukan pada anak muda, tetapi ketika pemerintah sebagai pemangku kebijakan tidak bersikap pro iklim, maka sulit untuk mengatasi persoalan ini.
“Kalau pemerintah memang benar-benar mau mengatasi krisis iklim ya jangan hanya kayak berkoar-koar tapi ayo buktikan,” kata Nia.
Karena itu Nia berharap pemerintah mau melibatkan anak-anak muda khususnya anak muda daerah dalam ruang-ruang pengambilan keputusan terkait isu iklim. Ia juga berharap makin banyak anak muda yang sadar terhadap isu perubahan iklim.
2. Hamra: Mengadvokasi Masyarakat Adat Melawan Korporasi dan Bank Tanah
Melihat wilayah-wilayah adat yang diklaim dan dirampas oleh korporasi tambang membuat Hamra tak tinggal diam. Dengan bekal Sarjana Hukum dan Pendidkan Khusus Profesi Advokat yang diperoleh, Hamra bertekad mengadvokasi masyarakat adat.
Hamra (24 tahun) adalah anggota masyarakat adat Padoe, di Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Ia menyelesaikan pendidikan di Fakultas Hukum, Universitas Tadulako, Palu, Sulawesi Tengah pada 2022 dan diwisuda pada 2023. Setelah wisuda, Hamra ikut Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diadakan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) selama sebulan.
Meski sudah ikut PKPA, Hamra belum bisa beracara, pasalnya untuk diambil sumpah minimal harus berumur 25 tahun. Sedang Hamra baru 24 tahun jadi belum memenuhi syarat. Karena itu Hamra melakukan advokasi non litigasi.
Hamra bergabung menjadi anggota PPMAN Region Sulawesi. PPMAN adalah organisasi sayap dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), terdiri dari advokat dan ahli hukum yang bekerja untuk pembelaan masyarakat adat. Ia juga bergabung dengan Pengurus Wilayah AMAN Tana Luwu yang berlokasi di Palopo.
Wilayah Adat Dirampas dan Dirusak
Hamra adalah anggota komunitas adat Padoe yang tinggal di Kabupaten Luwu Timur. Di wilayah adatnya beroperasi PT Vale Indonesia yang menambang nikel. Perusahaan tersebut mencaplok wilayah adat seluas 12.000 hektar. Selain itu ada PT CLM (Citra Lampia Mandiri) yang juga menambang nikel.
Selain merampas wilayah adat keberadaan korporasi tambang tersebut menimbulkan kerusakan lingkungan. Seperti polusi udara akibat aktivitas penambangan, pencemaran air sungai akibat limbah, dan banjir akibat penggundulan hutan.
Hamra menuturkan banjir terakhir terjadi pada Maret 2024 lalu. Sementara sungai yang tercemar membuat masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih karena mereka mengandalkan kebutuhan air dari sungai tersebut.
“Perusahaan membuang limbah sembarangan jadi membuat air sungai kotor. Orang-orang di sekitar sungai jadi sulit mendapatkan air bersih. Apalagi kalau hujan, sekarang meski hujan sedikit saja, air sungai itu langsung kotor. Padahal dulunya kalau hujan sedikit, airnya masih jernih,” tutur Hamra kepada Konde.co pada Sabtu (10/8/24).
Situasi ini membuat Hamra tergerak untuk bertindak. Ia tidak ingin hutan dan tanah adat yang menjadi sumber penghidupan rusak serta komunitas adatnya tergusur. Karena siapa lagi yang akan berjuang kalau bukan dirinya dan komunitasnya.
“Saya berpikir bahwa daerahku adalah tanggung jawabku yang harus saya jaga. Komunitas yang harus saya jaga, adat dan budaya yang harus saya lestarikan. Jika saya membiarkan wilayah adat diambil dan dirampas oleh perusahaan, itu sama saja menyatakan bahwa saya bukan komunitas adat yang berasal dari daerah tersebut,” papar Hamra.
“Karena itu saya menginisiasi diri sebagai perempuan untuk bergerak, melindungi dan menjaga wilayah adat dari perampasan-perampasan yang dilakukan korporasi,” tandasnya.
Sebagai anggota PPMAN, Hamra juga melakukan advokasi bersama masyarakat adat Rampi dan masyarakat adat Seko di Kabupaten Luwu Utara. Masyarakat adat Rampi menolak penambangan di wilayah adat. Sedang masyarakat adat Seko menolak bank tanah.
Masyarakat Adat Rampi Menolak Tambang Emas
Wilayah adat Rampi memiliki kekaayan alam berupa emas. Ini membuat perusahaan-perusahaan ingin masuk ke wilayah tersebut untuk menambang. Salah satunya PT Kalla Arebamma yang mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi seluas 12.010 hektar di Rampi dan 6.812 hektar di Seko.
Izin konsesi PT Kalla Arebamma terbagi dalam tiga blok. Di dalam wilayah konsesi, terdapat kebun, sawah bahkan perkampungan masyarakat.
Meski sudah mengantongi izin, tapi masyarakat adat Rampi tidak pernah mendapatkan informasi dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Proses penerbitan izin PT Kalla Arebamma dilakukan tanpa partisipasi dari masyarakat Rampi.
Masyarakat juga tidak pernah diberikan informasi yang lengkap terkait rencana pertambangan perusahaan. Masyarakat bahkan tidak pernah dimintai persetujuan dan tidak pernah diperlihatkan apalagi diberikan dokumen perizinannya.
“Masuknya PT Kalla Arebamma itu tanpa ada kesepakatan dari masyarakat adat. Tapi pemerintah memberikan izin ke perusahaan untuk beroperasi di wilayah itu. Karena itu masyarakat adat Rampi menolak keberadaan PT Kalla Arebamma. Sampai sekarang masyarakat adat Rampi masih berjuang melawan PT Kalla,” jelas Hamra.
Penolakan terhadap kehadiran perusahaan tambang oleh masyarakat adat Rampi merupakan hasil musyawarah khusus adat. Pertemuan tersebut diikuti tujuh komunitas adat yang ada di Kecamatan Rampi dan disepakati bersama.
Mereka punya alasan yang sangat kuat untuk menolak penambangan. Menurut mereka perusahaan tambang akan merusak lingkungan, menghancurkan sumber daya alam, mengakibatkan bencana, dan konflik sosial masyarakat.
Bank Tanah dan Konflik agraria di Seko
Konflik antara masyarakat adat Seko dengan Badan Bank Tanah dimulai pada 2023 ketika dilakukan sosialisasi kepada masyarakat. Bank tanah membuat klaim atas tanah bekas Hak Guna Usaha (HGU) PT Seko Fajar Plantation yang berada di Kecamatan Seko. Klaim yang dilakukan bank tanah ini didasarkan keputusan rapat koordinasi Badan Pertanahan Nasional Sulawesi Selatan pada 2022.
Bank tanah merupakan badan khusus yang dibentuk pemerintah pusat untuk mengelola tanah. Badan tersebut berfungsi untuk melaksanakan perencanaan, pengolahan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan dan pendistribusian tanah.
PT Seko Fajar Plantation masuk ke Seko pada 1985 dan melakukan pengavelingan di wilayah adat Seko. Pada 1996, perusahaan tersebut mendapat Sertifikat HGU dengan luas keseluruhan areal 23.718 hektar. Namun meski telah mendapatkan HGU, PT Seko Fajar Plantation tidak melakukan aktifitas sesuai fungsi dan peruntukannya.
Akhirnya pada 2012, Kepala BPN RI mengeluarkan keputusan yang menetapkan tanah HGU PT Seko Fajar Plantation sebagai tanah terlantar. Keputusan tersebut digugat oleh PT Seko Fajar Plantation dan dimenangkan perusahaan.
Sebenarnya, keberadaan PT Seko Fajar Plantation sejak awal sudah ditolak oleh masyarakat adat seko. Penolakan tersebut sudah disuarakan sejak awal keluarnya izin konsensi tapi diabaikan oleh pemerintah pusat. Meskipun pemerintah daerah juga sudah menyampaikan permintaan pencabutan izin HGU tersebut.
Ketika Bank Tanah melakukan sosialisasi, sikap masyarakat adat Seko tetap seperti semula, menolak. Ini lantaran tanah tersebut merupakan wilayah adat dan selama ini dikelola masyarakat adat dan menjadi sumber penghidupan mereka.
Baca juga: Desa Tenggelam dan Hilang, Perempuan Setengah Mati Bayar Hutang: Akibat Banjir Rob
Meski masyarakat adat menolak, Bank Tanah tetap memasang patok-patok dengan dibantu beberapa aparat desa. Lahan yang dipatok tersebut merupakan perkebunan, persawahan, dan lahan penggembalaan masyarakat. Melihat hal itu masyarakat adat Seko lalu mengadakan musyawarah.
“Masyarakat di sana berembug dan melakukan musyawarah. Mereka sepakat menolak pemasangan patok itu. Mereka juga sepakat untuk mencabut patok tanpa merusaknya,” urai Hamra.
Namun kemudian ada yang melaporkan orang-orang yang mencabut patok ke polisi. Sehingga beberapa anggota masyarakat adat dikriminalisasi dengan tuduhan merusak patok.
“Sekarang ada 14 masyarakat adat di sana yang sudah dikriminalisasi. Jadi kami dari PPMAN yang menangani 14 orang ini sekarang,” katanya.
Mereka sudah dipanggil ke Polda Sulawesi Selatan untuk diminta klarifikasi atas perusakan patok Bank Tanah. Beberapa orang bahkan sudah dapat pemanggilan kedua.
Penguatan Masyarakat Adat
Ketika mengadvokasi kasus-kasus yang dihadapi masyarakat adat, Hamra harus mendatangi mereka. Sementara untuk mencapai beberapa lokasi desa adat harus ditempuh dengan perjalanan yang cukup menantang lantaran infrastruktur jalan yang terbatas.
Seperti perjalanan menuju wilayah Seko. Hamra menuturkan untuk mencapai wilayah tersebut lewat jalur darat, harus menyewa ojek motor rakitan dengan harga yang mahal. Karena perjalanan ke sana harus menembus hutan dan sungai dengan kondisi jalan berupa tanah yang kadang berlumpur.
Sebenarnya ada jalur udara menuju ke Seko dengan pesawat kecil. Harganya pun relatif lebih murah dibanding sewa motor. Tapi kalau pesawat sedang ada masalah atau rusak, maka pilihannya hanya jalur darat. Namun karena lokasi wilayah antara satu komunitas adat dengan komunitas adat lain cukup jauh, maka dirasa perlu menyewa motor. Itu sebabnya jalur darat menjadi pilihan meski penuh tantangan. Bagi Hamra perjalanan ke Seko menjadi pengalaman yang luar biasa.
Saat datang ke komunitas adat, Hamra biasanya ikut di pertemuan-pertemuan adat membicarakan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Termasuk juga membahas pentingnya menjaga wilayah adat. Upaya ini dilakukan tak hanya dalam forum formal tapi juga secara informal lewat kunjungan-kunjungan ke rumah warga.
Menurut Hamra penguatan masyarakat adat menjadi penting karena di wilayah-wilayah konflik biasanya masyarakat dipecah-belah.
“Kondisi masyarakat hari ini sudah terpecah belah karena itu penguatan kampung menjadi penting. Kita harus bersama-sama menjaga wilayah adat dari perampasan oleh korporasi dan oligarki yang membawa musibah bagi masyarakat adat,” tutur Hamra.
Selama ini masyarakat adat mampu mencukupi kebutuhan mereka dari hasil tanahnya. Seperti masyarakat adat Seko yang kebunnya menghasilkan kopi, cokelat, dan padi. Ini adalah penghasilan utama mereka. Bisa dibilang masyarakat Seko mandiri secara ekonomi dan sejahtera. Kalau Bank Tanah datang dan mengambil alih lahan-lahan garapan warga, mereka akan kehilangan sumber penghidupannya.
3. Tri Oktafiani: Perempuan Ditinggalkan dalam Perjuangan Lingkungan, Padahal Krisis Iklim Juga Isu Perempuan
Sudahkah bangsa ini merdeka ketika rakyatnya sendiri, terutama perempuan, ditindas dan dirampas hak-haknya oleh penguasa? Kemerdekaan tidak tampak hadir pada masyarakat lokal yang harus berjuang merebut kembali hak atas tanah mereka. Tri Oktafiani adalah seorang perempuan muda yang menyadari peminggiran perempuan dari upaya perjuangan lingkungan tersebut.
Tri Oktafiani, kerap disapa Ani, sudah tertarik dengan isu lingkungan sejak masih menjadi mahasiswa. Di tahun 2015, Ani bergabung dengan organisasi-organisasi eksternal yang sedikit-banyak membahas isu lingkungan. Ia juga terlibat dalam kerja-kerja CSO yang berkaitan dengan lingkungan. Ani kemudian bergabung dengan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalimantan Tengah pada tahun 2021. Kini ia menjabat sebagai Manager Keorganisasian, Pendidikan dan Monitoring Evaluasi WALHI Kalteng.
Bersama WALHI Kalteng, Ani mendampingi perjuangan warga atas hak lingkungan mereka di berbagai daerah di Kalimantan Tengah. Isu lingkungan yang terjadi di Kalimantan Tengah mencakup kasus perkebunan kelapa sawit, pengakuan masyarakat hukum adat, pelestarian pengetahuan lokal untuk penghidupan masyarakat, dan sebagainya.
Salah satu kasus yang pernah Ani dampingi adalah isu perkebunan sawit di Desa Bangkal, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah. “Awal-awal aku catat ini, cerita perjuangan teman-teman di Bangkal yang menuntut plasma ke perusahaan sawit,” ucap Ani saat wawancara dengan Konde.co, Rabu (14/8/2024). Konflik plasma tersebut bahkan menewaskan seorang warga Bangkal, Gijik, akibat tembakan peluru tajam polisi pada 7 Oktober 2023.
“Sampai hari ini masih belum tahu arah pastinya, keputusannya apa dari perusahaan itu untuk plasma,” lanjut Ani. Selain Bangkal, ia juga mendampingi kasus-kasus perkebunan sawit di Penyang dan wilayah lainnya di Kalimantan Tengah.
Baca juga: Cerita Perempuan Terdampak Tambang Nikel: Sumber Penghidupan Hancur, Kesehatan Terancam
Selain itu, Ani juga turut mengadvokasi kasus larangan pembakaran lahan di Desa Kalumpang, Kabupaten Kapuas sejak tahun 2022. Ia menjelaskan, masalah bermula sejak pemerintah Orde Baru mengubah fungsi lahan gambut di Kalimantan Tengah menjadi area pertanian dan perkebunan pada tahun 1995. Proyek tersebut pada akhirnya merusak ekosistem lingkungan. Lahan gambut yang seharusnya senantiasa basah, kini jadi kering dan sangat mudah terbakar. Kondisi ini lalu diperparah dengan proyek pemerintah baru, yakni food estate.
Kasus alih fungsi lahan hutan dan gambut di Kalimantan Tengah berujung pada krisis lingkungan pada berbagai aspek. Mulai dari kebakaran lahan, krisis pangan lokal, kekeringan, hingga hilangnya penghidupan masyarakat, terutama perempuan.
Ketika food estate masuk ke wilayah warga, hanya beberapa pihak yang diajak berkoordinasi. Pemerintah secara sepihak menggarap lahan dengan dalih status kawasan hutan negara. Padahal, otoritas hak kelola hutan dan lahan dimiliki oleh masyarakat.
Pembukaan hutan dan lahan dengan metode pembakaran juga membuat pemerintah menuding kebakaran lahan sebagai salah warga. Pemerintah menempatkan warga sebagai kambing hitam dalam pembakaran lahan, yang dituding jadi penyebab pelepasan gas emisi. Padahal, masyarakat lokal sesungguhnya punya pengetahuan sendiri mengenai metode pembukaan lahan yang tetap selaras dengan alam dan telah berlangsung turun-temurun. Larangan membakar lahan jadi alat kriminalisasi terhadap warga yang memperjuangkan hak diri dan komunitasnya.
Tentu krisis tersebut, tutur Ani, paling terasa oleh perempuan. Aliran air yang surut dan tercemar mengganggu sanitasi perempuan. Kondisi air tidak layak bagi perempuan yang menstruasi, hamil, dan mengurus anak. Belum lagi pencemaran air akibat kehadiran proyek pemerintah maupun perusahaan. Hal itu mengakibatkan perubahan habitat dan fisiologis berbagai spesies flora dan fauna yang selama ini jadi sumber penghidupan warga. Alhasil, warga sekitar mulai beralih profesi demi menyambung hidup. Dalam situasi ini, perempuan pun seakan ‘didorong’ mundur untuk kembali mengurusi urusan domestik.
Baca juga: Petani Digusur Aktivis Dibungkam, Merdeka Harusnya Tidak Begini
Tukas Ani, ketimpangan penguasaan lahan menjadi salah satu akar krisis lingkungan di Kalimantan Tengah. “Akarnya itu ketimpangan penguasaan lahan. Itu pasti asal-muasal, sebab dari semua masalah yang terjadi di konflik agraria, deforestasi yang mula-mulanya terjadi di Kalimantan Tengah,” jelas Ani. “Konflik tenure, sampai ke krisis pangan yang terjadi.”
Sementara itu, meski jelas bahwa krisis iklim dan lingkungan berdampak pada perempuan, Ani melihat bahwa perempuan di Kalimantan Tengah masih ditinggalkan dalam perbincangan mengenai isu lingkungan.
“Kelompok-kelompok perempuan itu masih ditinggalkan dalam upaya-upaya, perjuangan-perjuangan,” katanya. “Meskipun sekali, dua kali, mereka juga dimunculkan atau ditampilkan. Tapi juga jarang kondisi, posisi perempuan itu… Bukan karena kesepakatan ‘dia perempuan’ untuk mau melakukan perjuangan. Tapi misal kayak dipaksa, ‘ayo ikut turun!’. Jadi bukan karena keinginan dia sendiri.”
Perjuangan perempuan menghadapi krisis lingkungan di Kalimantan Tengah bukannya tidak ada. Ani mencontohkan keberadaan Endang, sosok pemimpin perempuan di Riam Tinggi. Endang menjabat sebagai Kepala Desa Riam Tinggi selama dua periode. “Dia itu getol banget untuk memperjuangkan wilayah mereka agar diakui oleh negara. Entah dalam hal ini hutan desa ataupun hutan adat yang sampai hari ini pun masih belum ada kejelasannya,” Ani menjelaskan.
Resistensi juga dilakukan para perempuan di Desa Kalumpang. Salah satunya adalah tetap bercocok tanam sebagai suatu perlawanan. Namun, ternyata maraknya hama membuat tanaman mereka terusik dan gagal panen. Selain itu, para perempuan berusia lanjut, yang punya relasi lebih erat dengan hutan dan alam, lebih cenderung untuk turun beraksi memperjuangkan hak-hak mereka.
Sementara itu, bagi Ani sendiri sebagai perempuan, tantangannya adalah menghadapi patriarki dalam perjuangan lingkungan. Keterlibatan perempuan dalam isu lingkungan kerap terbentur bias gender hingga misoginisme.
Baca juga: Aksi Buka Baju, Para Perempuan Dapat Stigma Seksis: Stop, Mereka Berjuang untuk Tanah yang Dirampas
“Terlahir sebagai perempuan aja, itu udah pasti; tidak ada satu pun perempuan di bumi ini yang tidak mengalami opresi,” tegas Ani. “Hanya karena kamu perempuan, maka kamu akan menjadi manusia kedua di bumi ini. Apa lagi kalau kita mau kaitkan sama kondisinya di Indonesia, yang masih amat sangat feodal dan patriarkinya masih sangat mengakar.”
Hal itu, lanjut Ani, membuat keterlibatan perempuan dalam advokasi lingkungan menghadapi beban berkali-kali lipat. Pertanyaan-pertanyaan yang menjurus pada keharusan perempuan didampingi laki-laki dalam advokasi lingkungan—dan tidak sebaliknya—kerap menyasar perempuan. Seakan-akan perempuan tidak memiliki hak prerogatif atas tubuhnya sendiri. “Perempuan itu, ya, diatur harus patuh dengan kesadaran kita itu,” kata Ani.
Namun hal itu tidak membuat Ani mundur. Ia tetap aktif mengadvokasi isu lingkungan dengan pendekatan komunitas. Ia bersama WALHI Kalteng memetakan berbagai kebutuhan dan masukan dari warga. Mereka juga mengadakan Diskusi Kamisan bersama warga untuk terus mengasah daya pikir kritis, khususnya bagi para orang muda di sana.
Ani juga mengadakan pelatihan agar warga dapat lebih siap dan kritis menghadapi krisis iklim. “Yang bisa kita lakukan adalah berupaya terus-menerus, secara komitmen dan konsisten, untuk melakukan perlawanan dan bergerak bersama dengan rakyat. Apa pun itu,” pungkas Ani.
“Kalau kita tidak bisa menjadi batu besar untuk menghalangi penguasa dan pengusaha, maka paling tidak, kita bisa menjadi batu-batu kecil yang kasih mereka rasa sakit di telapak kakinya.”
Foto: koleksi pribadi Nia, Hamra dan Ani
Keterangan foto cover: (kiri ke kanan) Antonia Maria Oy, Hamra, Tri Oktafiani