Narasi Male Pregnancy di Medsos: Dari Fanfiksi Jadi Kritik Perempuan terhadap Patriarki

narasi-male-pregnancy-di-medsos:-dari-fanfiksi-jadi-kritik-perempuan-terhadap-patriarki

Akhir-akhir ini, di media sosial khususnya X, kata “Mpreg” muncul sebagai suatu istilah yang kini banyak digunakan. Istilah yang merupakan singkatan dari male pregnancy itu merupakan suatu fenomena yang berangkat dari kisah fiksi di mana laki-laki digambarkan memiliki kemampuan untuk mengandung. 

Mulanya, istilah “Mpreg” itu banyak digunakan dalam media menulis cerita fiksi atau alternative universe dan fan fiction. Terdapat genre khusus yang menciptakan suatu karakter laki-laki, dalam hubungan homoseksual, dalam cerita tersebut memiliki kemampuan mengandung selayaknya perempuan. 

Istilah ini pun sebenarnya dikritik karena adanya kecenderungan heteronormatif dalam hubungan homoseksual. Tak jarang juga fenomena istilah Mpreg ini menjadi sarana objektivikasi dan fantasi oleh seseorang kepada kelompok homoseksual di kehidupan nyata. 

Tren bergerak dengan sangat cepat di media sosial. Beberapa minggu ke belakang, kita banyak melihat penggunaan istilah Mpreg atau laki-laki hamil secara masif, khususnya di media sosial X. Uniknya, konteks penggunaan istilah Mpreg ini bukan lagi sebatas suatu genre dalam fan fiction. Tetapi sebagai bentuk sarkasme yang digunakan para perempuan pengguna X

Berbagai cuitan yang menyebutkan male pregnancy atau laki-laki hamil muncul dengan nada humor dan satir. Hal ini pun membuat istilah Mpreg yang tidak biasa dilihat oleh orang awam menimbulkan tanda tanya. Apa itu Mpreg dan mengapa kini sangat ramai penggunaannya?

Male Pregnancy dalam Fanfiksi Non-Binary

Tulisan S.K Liem dalam Qbuka Tabu ‘Fandom Cerita Non-Biner: Gerbang Penerimaan atau Pengukuhan Stereotip?’ mengulas terkait sub genre fanfiksi termasuk omegaverse. Sub genre ini mengusung pembagian gender yang unik dan berbeda dari norma yang umumnya dikenal. Omegaverse menonjolkan karakteristik hewani seperti hasrat seksual berdasarkan feromon, siklus musim kawin maupun hirarki dominasi serigala. 

Ada dua karakter gender yang berbeda pada tokoh dalam omegaverse. Pertama, gender berdasarkan organ seksual yaitu laki-laki dan perempuan. Kedua, gender yang dibagi ke tiga jenis yaitu alpha dominan, beta netral dan omega submisif. 

Laki-laki atau perempuan alpha sebagai karakter gender paling dominan, digambarkan punya kemampuan menghamili individu dari gender manapun. Ini mencakup kemampuan untuk menghamili laki-laki yang secara biologis tidak mungkin terjadi di realitas kita. Maka dari itu, pada omegaverse dikenal juga istilah male pregnancy (mpreg) alias laki-laki omega yang dihamili oleh laki-laki ataupun perempuan alpha.  

Banyaknya ketertarikan karakter gender itu dalam fanfiksi, bisa dimaknai sebagai upaya mengeksplorasi peran gender dan seksualitas di luar apa yang sudah dinormakan selama ini. Meskipun, ini juga bisa jadi ‘pedang bermata dua’ bagi kelompok LGBTIQ. 

Baca Juga: Aku Ingin Merdeka, Bahasa Aksi dan Perjuangan Queer Lepas dari Kolonialisme

Satu sisi, fanfiksi non-biner ini mampu menyoroti keberadaan minoritas dan seksual. Tapi di sisi lain, narasi cerita dalam genre itu sering juga mengukuhkan stereotip negatif yang melekat pada non biner. Yaitu, cerita yang berfokus pada hubungan seksual dan adegan seks secara vulgar dapat menguatkan stereotip relasi sesama jenis yang dikonstruksikan melulu soal seks. Padahal, sebagaimana relasi romantis lawan jenis, relasi mereka juga punya kompleksitas emosi dan peran gender. 

Hirarki dominasi dan naluri hewani kaum alpha yang digambarkan dalam omegaverse bisa juga disalahartikan sebagai pengukuhan stereotip si kuat. Di mana dia bebas berkuasa dan bertindak atas nafsu birahi. Sementara, omega yang lemah dan tak berdaya harus tunduk pada keinginan si alpha. 

Dalam omegaverse, kebetulan peran gender ini bisa digambarkan oleh karakter dari gender yang sama. Tapi, tema kekuatan yang terkesan ‘sesuai kodrat’ ini dalam dunia nyata bisa membatasi pergerakan kesetaraan gender yang mengeksplorasi fluiditas peran gender dan seksualitas. 

Bentuk Protes Perempuan Terhadap Patriarki 

Dari fanfiksi non-binary, narasi Mpreg pada sosial media kini bergeser pada bentuk protes terhadap patriarki. Ini utamanya soal pengasuhan heteronormatif yang dibebankan tanggung jawabnya pada perempuan. 

Maraknya penggunaan istilah Mpreg di media sosial, dapat dilihat sebagai bentuk kritik perempuan terhadap tekanan sosial yang dihadapi oleh perempuan. Cuitan satir yang banyak muncul biasanya berupa keluhan perempuan tentang “mengapa laki-laki tidak bisa hamil”. 

Beberapa juga memberikan komentar kepada laki-laki yang tidak bisa mengerjakan pekerjaan domestik, khususnya ketika sedang mengandung, selayaknya perempuan. 

Komentar-komentar mengenai laki-laki hamil memang banyak muncul dari para perempuan yang merasa menjadi korban dari sikap diskriminatif masyarakat dalam menilai peran perempuan dan laki-laki, khususnya dalam kehidupan domestik. Tak jarang pula ujaran-ujaran diskriminatif yang menyudutkan perempuan muncul dari laki-laki. 

Istilah Mpreg ini pun digunakan oleh banyak perempuan pengguna X sebagai ‘bumerang’ bagi laki-laki yang kerap kali mengomentari tubuh dan pengalaman perempuan. 

Baca Juga: Tubuh Perempuan Dijadikan Polemik: Dipilihkan, Tak Bisa Memilih

Pada intinya, guyonan mengenai male pregnancy ini hanya mengulang kalimat yang biasanya diutarakan oleh laki-laki kepada perempuan. Komentar tersebut antara lain mengenai kondisi tubuh perempuan saat dan setelah hamil, pengalaman perempuan yang sedang mengandung sehingga memiliki kesulitan untuk mengerjakan pekerjaan yang lain.

Di sisi lain, bahkan disinggung pula mengenai infertilitas, di mana perempuan seringkali menjadi pihak yang disudutkan. Begitupun jadi pihak yang dituduh mandul sehingga tidak “berfungsi” sebagai istri yang baik karena tidak dapat memberikan keturunan. 

Hal-hal di atas yang biasanya terjadi pada perempuan, kini seakan-akan juga terjadi pada laki-laki. Seakan hidup dalam “dunia terbalik”, mayoritas perempuan pengguna X secara kolektif bersikap bahwa laki-laki pun harusnya bisa hamil dan mengurus pekerjaan domestik juga melayani istri. 

Walau hanya sebatas candaan, fenomena istilah Mpreg ini nyatanya menggambarkan pedihnya hidup perempuan dalam kesehariannya. Fenomena ini digunakan sebagai kritik pedas bagi masyarakat yang masih mereduksi nilai perempuan sebatas peran-peran domestik, sehingga ketika perempuan tidak mampu untuk memenuhi ekspektasi tersebut, ia akan mendapatkan stigma dan sanksi sosial. 

Sarkasme yang terkandung dalam fenomena istilah Mpreg ini juga menjadi bentuk senjata bagi para perempuan untuk melawan dan menunjukkan bahwa mereka terdapat ketidakadilan dengan adanya tekanan-tekanan sosial yang selama ini dirasakan.

Baca Juga: Seksisme Terhadap Tubuh Perempuan di Masa Kini

Berbagai respon pun muncul menanggapi fenomena ramainya istilah Mpreg di media sosial. Banyak yang merespon dengan rasa bingung karena tidak memahami konteks dalam penggunaan istilah Mpreg. Pun ada yang heran mengapa banyak orang berbondong-bondong “menormalisasi” situasi yang menyebutkan bahwa laki-laki dapat mengandung. 

Tentunya, respon negatif pun banyak muncul dari laki-laki yang tidak terima dengan sarkasme mengenai laki-laki hamil ini. Oleh karenanya, muncul kembali perdebatan mengenai peran antara laki-laki dan perempuan juga stigma yang didapatkan oleh perempuan dari masyarakat. 

Respon negatif dari laki-laki perihal istilah Mpreg ini pun menunjukkan bahwa bahkan laki-laki pun nyatanya merasa tidak nyaman dengan bayangan berada di situasi yang selama ini dirasakan perempuan. Mereka pun tidak nyaman mengalami tekanan-tekanan sosial mengenai pengalaman pribadi dan tubuhnya. 

Mengkritik dengan membalikkan situasi nyatanya berhasil menumbuhkan rasa tidak nyaman kepada orang-orang yang selama ini berperan besar dalam tumbuhnya diskriminasi dan stigma buruk pada perempuan di tengah-tengah masyarakat. 

Tekanan Sosial yang Dihadapi Perempuan

Dalam kehidupan sehari-hari, stigma buruk perempuan mengenai tubuh dan pengalaman hidupnya masih banyak terdengar. Tekanan sosial dari masyarakat yang telah lama hidup berdampingan dengan patriarki banyak mengatur atau bahkan memaksakan jalan hidup perempuan harus seperti apa. 

Beban yang dipikul di pundak seorang perempuan sedari ia kecil hingga dewasa pun berbeda-beda. Saat masih kecil, anak perempuan diharuskan untuk didandani sebagaimana “perempuan” harus terlihat juga diatur sedemikian rupa agar tidak menjadi seperti “laki-laki”. 

Beranjak remaja, anak perempuan harus menjaga diri, seperti berpakaian yang “sopan” agar aman dari bahaya di luar sana. Bahkan sejak dini pun selalu anak perempuan yang dituntut menjaga diri dan bukan anak laki-laki yang harus diedukasi untuk tidak menyakiti. 

Dan ketika dewasa, perempuan pun diatur jalan hidupnya. Perempuan yang memilih untuk bekerja atau mengurus urusan domestik di rumah akan selalu mendapatkan jalannya masing-masing untuk dihakimi pilihan hidupnya oleh masyarakat.

Menyuarakan isi hati dan kepedihan kondisi mengenai bagaimana perempuan dinilai di tengah-tengah masyarakat pun terus dilakukan. Bersatu dan menyatukan suara banyak dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya ialah maraknya penggunaan istilah Mpreg di media sosial yang menimbulkan cukup banyak perhatian. 

Dengan begitu, semoga segala bentuk suara perempuan yang diteriakkan di mana pun dapat menjadi pengingat masyarakat bahwa tindak diskriminatif terhadap perempuan, dalam bentuk apapun, harus segera dihentikan. 

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Narasi Male Pregnancy di Medsos: Dari Fanfiksi Jadi Kritik Perempuan terhadap Patriarki

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us