Kebijakan publik yang selama ini dirumuskan oleh pemerintah berdampak besar terutama bagi perempuan. Namun, hingga saat ini, pelibatan perempuan dalam pembuatannya masih sangat minim. Patriarki dan bias gender dalam kehidupan sehari-hari jadi penyebabnya.
Dalam pelaksanaan politik, tokoh-tokoh yang duduk di bangku pemerintahan memiliki tanggung jawab untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang efektif. Peraturan sejatinya disusun agar masyarakat dapat patuh sekaligus terlindungi. Selain itu, kebijakan diperlukan untuk merespon isu-isu yang dihadapi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Seperti isu keamanan, ekonomi, pendidikan, dan sebagainya. Hal tersebut sangat menentukan keberlangsungan hidup masyarakat. Urgensi kebijakan pun beragam, mulai dari penetapan norma sampai larangan yang memiliki konsekuensi serius.
Di satu sisi, pemerintah mulai mengakomodir partisipasi perempuan dalam politik, mengacu pada tuntutan pengarusutamaan gender. Namun, hal itu belum cukup. Nyatanya, perempuan masih diremehkan dalam keterlibatan politik hingga perumusan kebijakan. Penyingkiran perempuan membuat produk kebijakan justru membahayakan alih-alih melindungi perempuan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia.
Kebijakan Harus Melindungi Hak Rakyat
Idealnya, fungsi berdirinya pemerintahan adalah untuk melindungi hak-hak rakyat. Dalam hal ini, kebijakan menjadi salah satu alat yang penting untuk melaksanakan tugas tersebut. Dengan bentuk negara demokrasi parlementer, para tokoh politik yang terlibat diharapkan dapat membentuk kebijakan-kebijakan yang melindungi hak dan mewakili kebutuhan rakyat dalam lingkup otoritasnya.
Legislatif memiliki andil besar dalam pembuatan kebijakan. Mereka mengemban tanggung jawab untuk menentukan kebijakan yang sesuai, terkait isu-isu yang menjadi tantangan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Proses perumusan dan penetapan kebijakan sendiri melibatkan banyak peran dari berbagai aktor dan institusi. Salah satunya pejabat pemerintahan yang berperan dalam perumusan, menyusun, dan implementasi kebijakan. Juga akademisi yang berperan memberi masukan berdasarkan keahliannya. Serta tentu kelompok kepentingan yang mewakili berbagai elemen masyarakat seperti buruh, pengusaha, dan warga sipil. Artinya, masyarakat juga harus ikut andil dalam proses pembuatan kebijakan. Selain itu, media perlu hadir untuk mengawal dan memberikan transparansi kepada masyarakat. Proses kompleks ini membutuhkan kolaborasi dan koordinasi dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk perempuan.
Akomodasi dan Pelibatan Perempuan Terbentur Stereotipe Gender
Peran perempuan secara spesifik diperlukan dalam perumusan kebijakan. Sebab, beberapa produk hukum memerlukan sudut pandang perempuan sendiri sebagai sasaran kebijakan tersebut. Seperti dalam kebijakan pendidikan terkait kesetaraan akses pendidikan, pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di sekolah, serta pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi. Pun dalam sektor ekonomi, peran perempuan diperlukan secara spesifik untuk pemberdayaan ekonomi perempuan dan perumusan kebijakan yang mendukung kesetaraan upah.
Indonesia sendiri adalah negara yang hukum yang menuntut kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Hal ini termaktub dalam pada UU No. 2 tahun 2008, UU No.7 tahun 1984, Komisi Nasional dan Rencana Aksi Nasional tentang Pengarusutamaan Gender (RAN-PG) dan pasal serta peraturan lainnya. Maka sudah seharusnya Indonesia mengakomodir ruang untuk partisipasi perempuan dalam proses pembuatan kebijakan. Sebab, perempuan memiliki urgensi tinggi atas perlindungan dan pemberdayaan. Dengan kapasitasnya, perempuan sudah seharusnya mendapatkan ruang berpolitik yang sama dengan laki-laki. Namun bagaimana dengan keadaan politik Indonesia sekarang?
Memang, pemerintah Indonesia telah membuat beberapa peraturan yang mengakomodir ruang untuk perempuan dalam politik dan proses pembuatan kebijakan. Misalnya, ketetapan kuota 30% untuk perempuan dalam pencalonan legislatif dan jabatan politik lainnya. Dukungan juga diberikan dengan bentuk lain. Seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) Afirmasi untuk mendukung program dan kegiatan yang meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik. Selain itu, pemerintah juga terus mengupayakan program pendidikan politik untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan perempuan dalam politik.
Baca juga: Catatan Akhir Tahun Aliansi Perempuan Bangkit: Kebijakan Pemerintah Makin Jauh Dari Cita-Cita Perempuan
Saat ini pun, sudah banyak perempuan yang duduk di posisi yang penting dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, jumlah perempuan yang terdaftar di DPR dan DPD telah meningkat. Pada tahun 2024, 122 perempuan (21 persen) di DPR dan 43 perempuan (24 persen) di DPD. Beberapa posisi kepemimpinan dalam lembaga eksekutif juga tak jarang diduduki oleh tokoh-tokoh perempuan. Bahkan pada posisi-posisi penting dalam kabinet pemerintahan seperti menteri keuangan, menteri sosial, dan menteri luar negri. Selain itu, semakin banyak perempuan yang berpartisipasi dalam organisasi masyarakat yang ikut andil dalam mengadvokasi kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kaum-kaum marginal.
Namun, keterlibatan perempuan dalam pelaksanaan politik dan pembuatan kebijakan di Indonesia masih jauh dari kata cukup. Tokoh politik perempuan tetap dipandang sebelah mata meski memiliki kemampuan mumpuni yang tersertifikasi, maupun bukti pengalaman dari pembuatan kebijakan-kebijakan yang efisien. Peran perempuan di Indonesia masih terikat dengan stereotipe domestikasi perempuan.
Alhasil, banyak sekali perempuan dengan kemampuan strategis yang luar biasa, harus berakhir mengorbankan mimpi dan kariernya. Mereka dituntut kembali sekadar mengurus rumah tangga lantaran tidak didukung oleh lingkungan terdekatnya. Tidak ada kesadaran bahwa perempuan memiliki hak dan kapasitas yang sama dengan laki-laki untuk bekerja di sektor-sektor pemerintahan. Mirisnya, pemikiran patriarkis seperti itu juga terinternalisasi dalam diri sesama perempuan. Muncul kecaman bahwa perempuan yang mengejar karier politik tidak akan diminati oleh laki-laki dan sebagainya.
Baca juga:
Tantangan lainnya bagi perempuan adalah identitas yang selalu dikaitkan dengan laki-laki. Kenapa setiap pencapaian dan karir perempuan harus selalu dilekatkan dan dibandingkan dengan laki-laki? Dalam perumusan kebijakan, misalnya, identitas gender kerap dibandingkan sebagai rasionalitas versus emosional. Muncul stereotipe bahwa laki-laki cenderung mengambil keputusan dengan rasional, sedangkan perempuan cenderung menggunakan perasaan. Padahal, hal ini juga tidak terbukti benar. Keputusan atau reaksi yang dilakukan perempuan jadi selalu dianggap berlebihan akibat stigma yang bias gender. Sehingga, ketika ada perempuan yang menyampaikan keresahannya atas stigma tersebut, masyarakat cenderung merespon negatif.
Tantangan-tantangan untuk menciptakan ruang yang mendukung perkembangan perempuan pun menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Sebaik apapun kemampuannya, perempuan tetap membutuhkan ruang yang cukup dan dukungan agar dirinya dapat terus mengembangkan diri. Bias gender, khususnya dalam partisipasi politik dan pembuatan kebijakan, harus dihapuskan. Bagaimana pun, perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti laki-laki. Sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk menciptakan ruang yang adil untuk setiap golongan. Baik dalam politik maupun kehidupan sehari-hari, dengan meninggalkan pemikiran patriarkis dan diskriminatif terhadap perempuan.
Referensi
A. (2023, December 7). Pemilu 2024 dan Keterwakilan Perempuan yang Makin Minim. Kumparan. https://kumparan.com/qimnaaraart/pemilu-2024-dan-keterwakilan-perempuan-yang-makin-minim-21iSAXsNex5
Dewi, S. M. (2014). Peran Perempuan dalam Formulasi Kebijakan: Studi Kasus pada Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Temulus, Kecamatan Mejobo, Kabupaten Kudus, Tahun 201. 7.
Firdausia, B. M. (t.t.). PERAN ANGGOTA LEGISLATIF PEREMPUAN DALAM PEMBUATAN KEBIJAKAN KETAHANAN KELUARGA DI DPRD KABUPATEN SEMARANG PERIODE 2019-2024.
Kiftiah, A. (2019). PEREMPUAN DALAM PARTISIPASI POLITIK DI INDONESIA. 6(2). OPTIMALISASI PERAN PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN | Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan. (n.d.). https://www.kemenkopmk.go.id/optimalisasi-peran-perempuan-dalam-pembangunan
Partisipasi Perempuan dalam Perumusan Kebijakan di Era Otonomi Daerah Kabupaten Sorong | Jurnal Fase Kemajuan Sosial dan Politik: Faksi. (t.t.). Diambil 22 April 2024, dari https://www.ejournal.um-sorong.ac.id/index.php/jf/article/view/2242