Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Terpilihnya Anindya Bakrie sebagai Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia menggantikan Arsjad Rasjid meninggalkan ruang tafsir atas adanya intervensi serta deal politik tertentu. Namun, benarkah demikian? Dan mengapa intrik ini bisa terjadi?
Momentum dan mekanisme terpilihnya Anindya Bakrie sebagai Ketua Umum (Ketum) Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia menarik sorotan. Terutama, karena petahana Arsjad Rasjid terkesan “dikudeta” serta jamak dinilai bertendensi politis.
Musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) yang diselenggarakan pada 15 September kemarin lusa menjadi legitimasi terpilihnya putra Aburizal Bakrie (ARB) itu.
Selain dihadiri 28 dari 34 Kadin provinsi dan 25 asosiasi, Munaslub KADIN Indonesia dihadiri dan mendapat restu para elite internal sekaligus pengusaha kelas kakap seperti Bambang Soesatyo, Erwin Aksa, Nurdin Halid, Bayu Priawan, hingga Rosan Roeslani.
Tak spesifik menjelaskan alasan pergantian Ketum yang seharusnya baru dilakukan pada 2026, Bamsoet selaku Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan, dan Keamanan KADIN Indonesia mengatakan organisasinya telah membutuhkan ketua baru yang diklaim tercantum dalam AD/ART.
Namun, secara terpisah, pimpinan Munaslub Nurdin Halid menyinggung pelanggaran yang dilakukan Arsjad karena menjadi Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Padahal, menurut Nurdin, KADIN Indonesia wajib independen di tengah proses persaingan elektoral.
Arsjad sendiri langsung merespons dan menegaskan bahwa hasil Munaslub tidak sah dan akan menempuh jalur hukum untuk menyelesaikannya.
Sebagai catatan, bukan kali ini saja KADIN Indonesia dilanda intrik internal. Pada tahun 2013 silam, misalnya, saat terpilihnya Suryo Bambang Sulisto memantik kubu tandingan yang digawangi Rizal Ramli hingga Oesman Sapta Odang (OSO).
Sementara itu, pada transisi Ketum pada 2021, intrik pun sempat terjadi. Menariknya, kala itu Arsjad dan Anin juga head-to-head namun “angin” saat itu lebih berpihak ke nama pertama. Bahkan, transisi saat itu diliputi isu intervensi pemerintah melalui lembaga telik sandi.
Lalu, dengan dinamika politik yang telah berubah dan tengah berjalan dinamis menjelang pemerintahan baru, mengapa intrik KADIN Indonesia kali ini terjadi?
KADIN Sangat Strategis?
Sebagai organisasi yang mewadahi pengusaha, KADIN Indonesia selalu memiliki nilai strategis bagi pemerintah, terlebih saat berinteraksi dengan para aktor politik.
Setidaknya, terdapat lima signifikansi KADIN Indonesia yang memiliki korelasi dengan politik. Pertama, tentu, organisasi ini mewakili kepentingan pengusaha yang memiliki dampak besar pada perekonomian nasional, sehingga mereka memiliki pengaruh signifikan dalam kebijakan pemerintah, khususnya terkait regulasi bisnis, investasi, dan fiskal.
Kedua, terkait dengan jejaring dengan elite politik saat aktor prominen KADIN Indonesia sering memiliki hubungan erat dengan politisi atau bahkan adalah politisi itu sendiri., Hal ini membuat KADIN menjadi aktor kunci dalam lobi kebijakan dan penyokong kampanye politik.
Ketiga, organisasi ini kerap menjembatani dialog strategis di antara sektor swasta dan pemerintah untuk memastikan kebijakan yang lebih kondusif bagi pengusaha sekaligus menjaga stabilitas politik.
Keempat, KADIN Indonesia juga berperan dalam pasang surut dan kesuksesan proyek infrastruktur serta berbagai program ekonomi, yang sering kali menjadi bagian dari agenda politik pemerintah.
Terakhir, jaringan elite bisnis KADIN Indonesia dianggap dapat memobilisasi dukungan politik melalui para anggotanya, dengan memberikan dukungan finansial dan logistik bagi kandidat tertentu maupun perantara ke elemen elektoral atau ceruk suara yang lebih spesifik.
Dalam publikasi berjudul Conceptualizing Political Clientelism: Political Exchange and Democratic Theory, Jonathan Hopkin menyiratkan konsep political clientelism yang mana dapat diadopsi untuk menganalisis hubungan antara aktor bisnis yang strategis dan memiliki signifikansi seperti KADIN Indonesia dengan para aktor politik yang didasarkan pada pertukaran keuntungan timbal balik.
KADIN Indonesia sebagai organisasi bisnis besar memiliki akses ke sumber daya finansial yang dapat digunakan untuk mendukung kampanye politik atau mendanai proyek-proyek pemerintah yang menguntungkan bagi politisi.
Sebagai gantinya, politisi memberikan akses ke regulasi yang lebih menguntungkan, subsidi, atau kontrak pemerintah.
Hal tersebut menciptakan hubungan simbiosis di mana KADIN Indonesia menjadi alat politik yang digunakan oleh elite politik untuk mengamankan dukungan bisnis dan keuangan dalam pemilu atau kebijakan.
Bahkan, dalam dimensi tertentu, pertukaran itu pun tak hanya dalam dimensi ekonomi-politik atau politik-ekonomi, tetapi juga dapat berupa simbiosis politik-politik. Ihwal yang kiranya dapat menjadi pijakan bagi interpretasi alasan pergantian Ketum KADIN Indonesia dari Arsjad Rasjid ke Anindya Bakrie yang diliputi narasi kontroversial.
Sebagai Bargain Jokowi?
Setidaknya terdapat beberapa probabilitas yang menyebabkan intrik KADIN Indonesia saat melihat berbagai variabel di meja analisis. Terutama, yang mungkin berkaitan dengan aspek politik mengingat elite kelas kakap adalah politisi di antaranya Bamsoet, Erwin Aksa, hingga Nurdin Halid.
Saat diurai satu persatu berdasarkan hubungan di antara para aktor tersebut, terdapat proyeksi interaksi dengan aktor lain. Bamsoet, Erwin Aksa, Nurdin Halid, dan Anin – melalui ARB – memiliki korelasi langsung dengan Partai Golkar.
Kemudian, aktor dalam politik kekuasaan sebagai variabel terkait dinilai besar kemungkinan mengarah pada Presiden Joko Widodo (Jokowi) serta Prabowo Subianto.
Sementara itu untuk menjelaskannya, konsep political exchange dan power network agaknya dapat menjadi pintu masuk analisis yang tepat.
Political exchange yang menyatakan bahwa hubungan antar-aktor dalam politik sering didasarkan pada pertukaran sumber daya agaknya dapat menjadi pintu masuk analisis pertama.
Lalu, teori power network berfokus pada bagaimana kekuasaan beroperasi melalui jejaring aktor-aktor sosial, politik, dan ekonomi.
Dalam konteks politik, sumber daya tersebut dapat berupa kekuasaan, dukungan, informasi, atau bahkan posisi strategis. Dalam hubungan antara Jokowi, Golkar, dan Arsjad Rasjid, kita dapat melihat adanya proses pertukaran politik antara Jokowi dan elite Golkar.
Dalam kasus Arsjad Rasjid, Golkar, dan Jokowi, kita bisa memahami bahwa kekuasaan di Indonesia tidak beroperasi secara linear, tetapi melalui jaringan yang kompleks yang melibatkan berbagai aktor dari berbagai sektor, termasuk bisnis, politik, militer, dan intelijen.
Probabilitas pertama yang kiranya relevan dan mengacu pada variabel dan teori di atas adalah kemungkinan keterkaitan dengan Presiden Jokowi.
Dalam hal ini, eks Wali Kota Solo bisa saja merestui Munaslub dan terpilihnya Anin sebagai barter (political exchange) agar dirinya atau trahnya kelak memiliki tempat maupun dukungan dari Partai Golkar.
Ihwal tersebut cukup memungkinkan kala Jokowi kiranya memiliki kepentingan untuk memiliki perpanjangan tangan yang semakin kuat di partai beringin demi daya tawar pasca-presidensi, termasuk bargain di hadapan Prabowo.
Kedua, secara sederhana, selain berasal dari Jokowi, pemberian karpet merah bagi Anin pun mungkin saja direstui oleh Prabowo. Dalam hal ini terkait dengan power network dan dukungan di Pilpres 2024 agar keberlanjutan simbiosis ekonomi-politik dapat terus berjalan.
Apalagi, Prabowo dinilai akan membutuhkan orang-orang kepercayaan dan telah berkontribusi konkret dalam kemenangannya di kontestasi elektoral lalu.
Ketiga, berkorelasi dengan dua probabilitas di atas, naiknya Anin boleh jadi untuk menghilangkan potensi atau kemungkinan pengaruh politik “kubu merah” di KADIN Indonesia saat Arsjad bisa saja dilihat menjadi “agen” PDIP, tentu dengan berkaca pada relasi keduanya di Pilpres 2024.
Di titik ini, pergantian Ketum KADIN Indonesia yang penuh intrik kiranya dipengaruhi oleh tarik menarik para aktor dan melibatkan jejaring kepentingan yang kompleks.
Dalam konteks ini, terpilihnya Anin menggantikan Arsjad, terlepas dari disahkan atau tidak nantinya oleh pemerintah melalui Kemenkumham, dapat dilihat sebagai bagian dari pertarungan bargain politik kekuasaan yang lebih besar. Terutama, di antara elite bisnis dan politik, dengan implikasi yang melibatkan masa depan hubungan Jokowi, Partai Golkar, dan Prabowo.
Akan tetapi, penjelasan di atas merupakan interpretasi semata berdasarkan variabel kekinian yang paling mungkin memiliki keterkaitan. Namun, akan sangat menarik menantikan pengaruh transisi kepemimpinan KADIN Indonesia terhadap transisi pemerintahan Jokowi-Prabowo. (J61)