Masalah Konsekuensialisme Menurut Judith Jarvis Thomson

masalah-konsekuensialisme-menurut-judith-jarvis-thomson

1600_JudithJarvisThomson_ThreeAgesSyarif Maulana, Filsuf, Pengusaha Kuliner

Konsekuensialisme merupakan salah satu gagasan dalam etika normatif yang menilai, bahwa suatu tindakan dapat disebut etis, jika menghasilkan konsekuensi terbaik (Guttman, 2001: ix). Konsekuensialisme kerap dibedakan atau bahkan dipertentangkan dengan etika deontologi yang menyandarkan tindakan pada prinsip, tanggung jawab, atau aturan, tanpa peduli konsekuensinya (Waller, 2005) atau etika keutamaan yang menekankan bahwa tindakan baik hanya bersumber dari karakter seseorang yang di dalamnya telah memenuhi syarat terkait pengetahuan tentang apa yang baik (Statman, 1997). Judith Jarvis Thomson (1929 – 2020), pemikir kontemporer dalam bidang etika memfokuskan proyek filsafatnya untuk mengritik konsekuensialisme yang dipandangnya tidak punya dasar memadai untuk menentukan apa yang dipandang sebagai “konsekuensi terbaik”.

Masalah dalam Aspek Evaluatif

Dalam teksnya yang berjudul Normativity (2008), Thomson memulai gagasannya dengan membedakan terlebih dahulu antara putusan normatif dan putusan non-normatif. Saat kita berpikir bahwa A semestinya bersikap baik pada adiknya, B sebaiknya memindahkan bentengnya (dalam permainan catur), dan C seharusnya dicukur rambutnya, keseluruhannya itu adalah bentuk putusan normatif. Putusan normatif dibedakan dari putusan non-normatif seperti A menendang adiknya, B sedang bermain catur, dan C memiliki rambut coklat. Dalam contoh lain, saat kita memikirkan bahwa D adalah orang baik, E adalah petenis yang baik, dan F adalah pemanggang roti yang baik, hal tersebut disebut sebagai putusan normatif. Sementara itu, lanjut Thomson, saat menilai bahwa D adalah manusia, E adalah petenis, dan F adalah pemanggang roti, putusan tersebut bukanlah termasuk ke dalam normatif (Thomson, 2008: 1).

Berdasarkan ilustrasi tersebut, dapat dilihat bahwa putusan normatif berkaitan dengan apa yang “seharusnya” (ought) dilakukan, dan berkenaan dengan penilaian apakah A adalah sesuatu / seseorang / perilaku yang baik atau buruk. Sementara itu, putusan non-normatif berangkat dari fakta tentang A atau perilaku A, tanpa memasukkan penilaian apapun tentangnya. Kita akan meninggalkan putusan non-normatif, dan hanya akan fokus pada putusan normatif. Bagi Thomson, kita membuat berbagai macam putusan normatif. Saat mengatakan, “A, kamu sudah seharusnya berbuat baik pada adikmu,” kita mungkin sedang melakukan putusan moral. Sementara, dalam contoh lain, yakni B sebaiknya memindahkan bentengnya atau C seharusnya dicukur rambutnya, kedua hal tersebut kemungkinan bukanlah putusan moral.

Kata “mungkin” di sini ditekankan, karena mana yang moral dan mana yang bukan moral bisa saja berubah tergantung kondisi yang mengikutinya. Misalnya, pernyataan “B sebaiknya memindahkan bentengnya” bukan putusan moral, jika kondisi yang mengikutinya masih terkait dengan aturan permainan catur (misalnya: “B sebaiknya memindahkan bentengnya, karena perpindahan tersebut akan menyebabkan posisi skak mat”). Putusan B untuk tidak memindahkan benteng tidak akan menjadi problem moral, karena hal buruk yang mungkin terjadi adalah B kalah bermain catur.  Namun, pernyataan “B sebaiknya memindahkan bentengnya” menjadi putusan moral, jika kondisi yang mengikutinya punya kaitan erat, misalnya dengan nasib ratusan orang (misalnya: “B sebaiknya memindahkan bentengnya, karena jika tidak, ratusan orang akan mati”).

Dalam hal ini, Thomson akan fokus untuk mengurai putusan normatif tanpa perlu sibuk membedakan mana yang moral dan mana yang bukan moral. Sebagai titik permulaan, Thomson menamai segala bentuk penilaian tentang apa yang “seharusnya” (ought) sebagai aspek arahan (directives), sementara terkait penilaian apakah A itu baik atau buruk dilabeli sebagai aspek evaluatif (evaluatives). Mari kita mulai dengan pembahasan tentang aspek evaluatif terlebih dahulu.

Thomson mengutip pernyataan G.E. Moore dari bukunya yang berjudul Principia Ethica (1903). Etika, menurut Moore, berurusan dengan apa yang dimaksud dengan “perilaku baik” (good conduct). Namun, untuk memahami apa yang dimaksud dengan “perilaku baik”, perlu kiranya untuk menjernihkan apa yang dimaksud dengan “perilaku” dan apa yang dimaksud sebagai “baik”. Untuk mengartikan masing-masing dari dua konsep tersebut tidaklah sederhana, karena tidak semua perilaku kemudian dapat digolongkan sebagai baik, dan tidak semua yang baik dilakukan dalam bentuk perilaku (Moore, 1993: 54).

Moore dalam Principia Ethica (yang banyak terinspirasi oleh teks Henry Sidgwick berjudul The Methods of Ethics) menguliti pandangan tentang konsep “baik” yang menurutnya kerap terjebak pada apa yang disebut sebagai kesesatan naturalistik (naturalistic fallacy). Sebagai contoh, saat seseorang mendefinisikan apa itu “baik” sebagai sesuatu yang “menyenangkan” (pleasurable), seseorang tersebut telah mempraktikkan kesesatan naturalistik, karena berasumsi bahwa “baik” dan “menyenangkan” mengacu pada objek yang sama. Padahal, “baik”, bagi Moore, tidak dapat didefinisikan oleh sesuatu hal di luar properti “baik” itu sendiri.

Sederhananya, Moore meyakini, bahwa terdapat sesuatu yang disebut “baik” atau “kebaikan” (goodness) dalam dirinya, yang usaha apapun untuk mengartikannya malah akan jatuh pada kesesatan naturalistik, karena menyamakan “baik” atau “kebaikan” dengan sesuatu di luar konsep tersebut. Jadi, bagi Moore, “baik adalah baik”, “kebaikan adalah kebaikan”.

Mengapa Moore repot-repot mendudukkan “baik” atau “kebaikan” sebagai konsep yang berdiri sendiri? Richard Kraut, dalam teks berjudul Against Absolute Goodness (2011), memberikan ilustrasi menarik. Saat kita mengapresiasi penampilan teater atau puisi yang baik, apakah kita benar-benar menikmatinya, karena teater atau puisi itu memang baik, atau lebih disebabkan karena teater atau puisi itu baik untuk kita? Moore kelihatannya ingin mengejar yang pertama, yakni sesuatu disebut baik karena baik titik. Hal yang disebut teater atau puisi yang baik adalah baik, karena kalaupun tidak ada satupun orang yang mengapresiasi, yang baik tetap baik, secara absolut, dan bukan baik bagi segelintir orang saja (Kraut, 2011: 5).

Meski menyatakan, bahwa apa yang baik ini tidak bisa didefinisikan lebih jauh, Moore tetap memberikan justifikasi etiknya dengan menuliskan, bahwa “Satu-satunya alasan yang mungkin dalam membenarkan setiap tindakan,” katanya dalam Principia Ethica, “adalah bahwa melalui tindakan tersebut, jumlah sebanyak mungkin dari apa yang baik secara mutlak harus terwujud.” (Moore, 1993: 153) Disini kita dapat menemukan posisi Moore bahwa pertama, ia mempercayai adanya ide tentang kebaikan mutlak dan yang kedua, bahwa Moore adalah seorang konsekuensialis dengan mengacu pada pernyataannya tentang “… jumlah sebanyak mungkin dari apa yang baik secara mutlak harus terwujud”. Posisi semacam inilah yang nantinya ditolak oleh Thomson.

Jika kata “baik” sedemikian tak bisa diartikan, jadi bagaimana? Tidakkah kita mengalami semacam kebuntuan? Moore bersikeras, bahwa usaha mengartikan “baik” tidak bisa jatuh pada aspek natural (seperti kesenangan) atau supernatural (seperti perintah Tuhan). Untuk mengatasi kesesatan semacam itu, Moore menawarkan argumen pertanyaan terbuka (open-question argument) dalam rumusan “Apakah X baik?”. Contoh pertanyaan yang diajukan misalnya: “Saya tahu bahwa ini adalah kesenangan, tapi apakah itu baik?” Dengan senantiasa mengajukan pertanyaan terbuka, Moore enggan menjadikan “baik” sebagai konsep yang seolah-olah baku padahal jatuh pada pengertian selain “baik” itu sendiri. “Baik”, sekali lagi, bagi Moore adalah sesuatu yang tak terdefinisikan.

Thomson melanjutkan penyelidikannya dengan mengajukan pertanyaan, bahwa jika untuk mengetahui “perilaku baik” mensyaratkan properti “perilaku” dan “baik”, sama halnya dengan mengetahui “petenis yang baik” mensyaratkan properti “petenis” dan “baik” atau “pemanggang roti yang baik” mensyaratkan properti “pemanggang roti” dan “baik”, maka tidakkah konsep “baik”, yang tak terdefinisikan itu, dengan sendirinya menjadi bagian dari properti “perilaku”, “petenis”, dan “pemanggang roti” (Thomson, 2008: 3)?

Berdasarkan contoh-contoh yang diberikan Thomson tersebut, Moore kemungkinan mengafirmasi, bahwa memang ada yang dinamakan “perilaku baik”, “petenis yang baik”, dan “pemanggang roti yang baik”, tanpa harus dikaitkan dengan properti natural, seperti “perilaku baik adalah perilaku yang menyenangkan” atau “petenis yang baik adalah petenis yang memenangkan Grand Slam”.  “Baik” bagi Moore adalah “baik” titik, dan sekaligus senantiasa terbuka terhadap pertanyaan, misalnya, “Petenis itu gagal memenangkan Grand Slam, tapi dia rajin berderma ke panti asuhan, apakah itu baik?” Moore kemungkinan akan mengatakan: Petenis yang baik adalah petenis yang baik, “baik” itu ada dalam properti “petenis”, sebagaimana “baik” itu juga ada pada “perilaku” dan pada “pemanggang roti”.

Bagi Thomson, Moore telah melakukan kekeliruan. Thomson mengutip Peter Geach yang menyatakan, bahwa Moore telah menempatkan “baik” sebagai kata sifat yang predikatif (predicative adjective), alih-alih atributif (attributive adjective). Apa itu kata sifat predikatif dan kata sifat atributif? Kraut memberi ilustrasi bagus untuk membedakan keduanya. Saat kita menyebut “buku merah”, maka meskipun buku tersebut halamannya dirobek-robek sampai tak berbentuk, sifat “merah”-nya tetap melekat pada si (mantan) buku (Kraut, 2011: 178). Itulah yang dimaksud sebagai kata sifat predikatif, yaitu sifat yang melekat pada objek itu sendiri. Lain halnya dengan label seperti “tikus besar”. “Besar” bukanlah sifat yang melekat pada si tikus, melainkan sifat yang muncul, karena membandingkannya dengan tikus lain, misalnya. Demikian halnya dengan “tinggi”, “lamban”, atau “berat” (Thomson, 2008: 5).

Lewat pembedaan antara sifat predikatif dan sifat atributif, kekeliruan apa yang hendak ditunjukkan Geach, sebagaimana dikutip Thomson? Menurut Geach, Moore bermasalah, karena menempatkan “baik” sebagai kata sifat predikatif, seolah-olah terus melekat pada A sebagai subjek/ objek. Geach bersikeras, bahwa “baik” adalah kata sifat atributif, dalam artian ukurannya bergantung pada hal lain. Geach kemudian mengajukan tesisnya, bahwa “tidak ada yang dinamakan baik atau buruk (dalam arti mutlak), yang ada hanya baik atau buruk (versi) seseorang.” (Kraut, 2011: 179)

Thomson melanjutkan kritik Geach dengan mengujinya pada rumus silogisme sebagai berikut:

  • A adalah kata sifat K1
  • A adalah K2
  • A adalah kata sifat K2

Rumus tersebut berlaku untuk kata sifat predikatif seperti misalnya:

  • A adalah mobil merah
  • A adalah Mercedes
  • A adalah Mercedes merah

Namun rumus tersebut menjadi kurang tepat untuk kata sifat atributif sebagaimana dicontohkan berikut ini:

  • A adalah tikus besar
  • A adalah hewan
  • A adalah hewan besar

Thomson kemudian memberikan contoh lain masih dari kata sifat atributif dengan memasukkan konsep “baik”:

  • A adalah petenis yang baik
  • A adalah pecatur
  • A adalah pecatur yang baik

Disinilah argumen Moore mulai kolaps. “Baik” sebagai kata sifat atributif tidak mungkin dilekatkan pada K yang berbeda. Properti “baik” dalam petenis tidak bisa disamakan dengan properti “baik” dalam pecatur. Thomson tidak berhenti sampai di sana. Ia kemudian mengajukan serangannya yang kedua dengan menuliskan, bahwa “K yang baik” ini tidak pernah mutlak. Sebagai contoh (dimodifikasi oleh penulis):

  • A adalah baik dalam membuat cheesecake
  • A adalah baik untuk dilihat
  • A adalah baik dengan anak-anak
  • A adalah baik untuk Indonesia

Bagi Thomson, saat menyebutkan “A adalah K yang baik”, tidak pernah ada K yang tepat untuk merangkum semuanya. K adalah selalu K dalam hal sesuatu, sehingga makin jelaslah bagi Thomson, bahwa tidak ada properti “baik” yang melekat pada subjek/ objek A. Demikian halnya saat kita mengatakan “Pilih Asep, dia baik,” dalam katakanlah, pemilihan line-up untuk pertandingan sepakbola, kita tidak sedang menunjuk properti “kebaikan” (goodness) dalam Asep, tetapi mungkin hanya mengatakan, bahwa Asep ini “baik dalam hal bermain sepakbola” atau “baik dalam mengintimidasi lawan”.

Sedikit berbeda misalnya dalam kasus “pemanggang roti yang baik”. Saat kita mengatakan “itu baik” dengan menunjuk pemanggang roti, maka pemanggang roti bisa jadi punya properti “baik”, dalam artian fungsinya untuk membuat roti menjadi terpanggang. Pemanggang roti yang rusak, yang gagal memanggang roti, bisa jadi kehilangan properti “baik” pada dirinya. Namun lewat contoh tersebut, Thomson justru hendak menekankan, bahwa properti “baik” menjadi mungkin, bila dilekatkan pada A suatu fungsi, yang jika fungsi tersebut tidak dijalankan, maka A menjadi “tidak baik”. Pertanyaan etisnya, apa fungsi manusia? Apa fungsi yang membuat manusia bisa dikatakan “berfungsi baik” dan “tidak berfungsi baik”? Pertanyaan semacam ini makin membuat tawaran Moore sukar diterima.

Masalah dalam Aspek Arahan

Berdasarkan uraiannya terhadap aspek evaluatif dari putusan normatif, terlihat bahwa properti “baik” ternyata tak punya pijakan absolut. Terhadap aspek arahan (directives) yang umumnya berisi kata seperti “seharusnya” (ought), Thomson menemukan bahwa gagasan ini pun bermasalah. Seperti telah disinggung, saat kita menyatakan “pemanggang roti seharusnya memanggang roti dengan baik”, maka kita sedang mengatakan hal yang seharusnya tentang pemanggang roti dalam arti fungsinya sebagai pemanggang roti.

Namun, masalah menjadi lebih rumit, saat Thomson mencontohkan terdapat seekor anjing yang disebut sebagai anjing yang tenang atau anjing yang tidak berisik (quiet dog). Namanya, sebutlah, Fido. Menurut penjualnya, pita suara Fido telah dioperasi, sehingga Fido tak mampu bersuara. Itu sebabnya, Fido adalah anjing yang cocok untuk dipelihara di apartemen, sehingga anjing tersebut tak dapat mengganggu tetangga yang jaraknya berdekatan. Kita bisa mengatakan, bahwa fungsi anjing yang tenang adalah untuk tidak menyalak, sehingga sekaligus dapat dikatakan, bahwa jika Fido tiba-tiba bisa menyalak, maka fungsi anjing yang tenang menjadi rusak atau tak berfungsi (defective). Kita juga bisa menyimpulkan dalam kalimat arahan bahwa: “Anjing yang tenang seharusnya tidak menyalak.”

Namun bagaimanapun, Thomson menantang, Fido adalah jenis anjing terrier yang seharusnya bisa menyalak, dan, dalam hal ini, anjing terrier yang tidak bisa menyalak adalah anjing terrier yang tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Artinya, Fido menjadi anjing terrier yang tak berfungsi, padahal (salah satu) hal yang membuat anjing terrier dapat berfungsi, karena seharusnya memiliki kemampuan untuk bisa menyalak (Thomson, 2008: 211 – 214). Disini, Thomson menjelaskan, bahwa Fido adalah anjing terrier yang tak berfungsi sebagaimana mestinya, karena tak berfungsi secara fisik (physically defective).

Sekarang, bagaimana dengan manusia? Seorang pencuri perhiasan, misalnya, seharusnya mencuri perhiasan. Itu adalah arahan yang pas dalam konteks fungsi. Pencuri perhiasan adalah bagian dari kelas manusia yang, dengan demikian, memunculkan pertanyaan: Apakah fungsinya sebagai manusia sudah pas? Tetapi, apa fungsi manusia? Pada kondisi apa manusia dapat dikatakan sudah bertindak sesuai fungsinya?

Thomson mengajukan kategori-kategori yang membuat manusia dapat dibayangkan memiliki disfungsi. Kategori pertama adalah kategori fisik, dan yang kedua adalah kategori intelektual. Seseorang dikatakan memiliki masalah pada fungsi fisik (physically defective), jika, katakanlah, tidak memiliki tangan, karena sudah seharusnya manusia normal adalah memiliki tangan. Kemudian seseorang dikatakan memiliki masalah pada fungsi intelektual (intellectually defective), jika, sebut saja, tidak mampu menyerap pelajaran secara sempurna, meski sudah diulang-ulang selama bertahun-tahun.

Kedua kategori tersebut agaknya tidak sulit untuk dipahami. Namun, Thomson mengajukan kategori ketiga, yakni kategori moral. Bagaimana seseorang bisa dikatakan memiliki masalah pada fungsi moral (morally defective)? Jika memang terdapat apa yang dinamakan sebagai moral yang “rusak”, maka mestinya terdapat moral yang “tidak rusak”, yakni moral yang seharusnya dijalankan.

Saya tidak menemukan solusi yang ditawarkan Thomson perkara fungsi moral. Thomson hanya menunjukkan, bagaimana konsep yang “rusak” dan “tidak rusak” mesti dilihat dalam kacamata fungsi. Saat kita bertanya, “Apakah saya harus menelpon ibu malam ini?” Thomson mengajak kita untuk mempertanyakan, apakah dengan tidak menelpon ibu, kemudian “fungsi” seorang anak terhadap ibunya menjadi “rusak”? Jika kita bisa mengatakan ya untuk pertanyaan tersebut, maka kita harus menelpon ibu malam ini.

Tawaran Thomson

Dalam kuliahnya di UC Berkeley tahun 2005, Thomson menekankan bahwa konsekuensialisme adalah paham yang menawarkan, bahwa segala bentuk aspek arahan (tentang apa yang seharusnya dilakukan) mesti berujung pada aspek evaluatif (tentang penilaian akan apa yang baik), dalam artian bahwa segala tindakan yang seharusnya dilakukan adalah tindakan yang lebih bernilai ketimbang tindakan lain yang mungkin dilakukan di waktu yang bersamaan. Apa yang “bernilai” ini, bagi para konsekuensilis, bisa sangat beragam. Ada aliran yang membela kenikmatan tubuh (hedonisme), ada juga yang membela kesenangan untuk makin banyak orang (utilitarianisme), dan banyak lagi ragamnya. Sekilas, konsekuensialisme tampak seperti pendekatan etika yang menggiurkan, dan lebih simpel untuk dipertimbangkan.

Seperti telah disinggung, konsekuensialisme bermasalah, karena dalam aspek arahan, tidak ada arahan moral yang seharusnya untuk manusia, kecuali jika dikaitkan dalam fungsi spesifik. Problemnya, manusia, sebagai dirinya sendiri, tidak memiliki fungsi moral spesifik. Berdasarkan aspek evaluatif, apa yang baik sebagai dirinya sendiri (sebagaimana tawaran Moore), tidak mungkin bisa diketahui, karena “baik”, bagi Thomson, adalah kata sifat yang atributif.

Dengan menghancurkan bangunan konsekuensialisme, etika apa yang kemudian ditawarkan oleh Thomson? Menariknya, Thomson tidak secara eksplisit menawarkan apa-apa, pun tidak sekalipun mengarahkan pembacanya untuk menjadi pengikut etika deontologi atau etika keutamaan sebagai opsi. Tulisan Amy Guttman dalam pengantar Goodness and Advice (2001) mungkin patut dipertimbangkan sebagai penjelasan atas maksud Thomson.

Menurut Guttman, Thomson menawarkan cara pandang lain untuk memikirkan moralitas. Konsekuensi dalam tindakan kita memang penting, tetapi konsekuensi bukan satu-satunya hal yang penting. Kita memiliki hidup kita sendiri ,dan apa yang seharusnya kita lakukan kerap berdiri independen dari segala konsekuensi baik di dunia. Meski demikian, bukan artinya kita boleh melakukan apapun. Thomson menekankan, bahwa kita punya kewajiban yang tegas untuk tidak menyakiti pihak lain, meskipun dalam menjalankan kewajiban itu, kita sekaligus membiarkan kerusakan lainnya terjadi.

Sumber bacaan:

Guttman, A. (2001). Introduction. Goodness and Advice by Judith Jarvis Thomson. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Kraut, R. (2011). Against Absolute Goodness. New York, NY: OUP USA.

Moore, G. E. (1993). Principia Ethica. Edited by Thomas Baldwin. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

Statman, D. (1997). Introduction to virtue ethics. In Virtue Ethics: A Critical Reader, edited by Daniel Statman. Edinburgh, UK: Edinburgh University Press.

Thomson, J. J. (2008). Normativity. Edited by Russ Shafer-Landau. Open Court.

Waller, B. N. (2005). Consider Ethics: Theory, Readings, and Contemporary Issues. London, UK: Pearson Longman.

===

Rumah Filsafat kini bertopang pada Crowdfunding, yakni pendanaan dari publik yang terbuka luas dengan jumlah yang sebebasnya. Lebih lengkapnya lihat di https://rumahfilsafat.com/rumah-filsafat-dari-kita-untuk-kita-dan-oleh-kita-ajakan-untuk-bekerja-sama/

cropped-rf-logo-done-rumah-filsafat-2-1.png

0
joy
Joy
0
cong_
Cong.
0
loved
Loved
0
surprised
Surprised
0
unliked
Unliked
0
mad
Mad
Masalah Konsekuensialisme Menurut Judith Jarvis Thomson

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Install App

By installing our application, you can access our content faster and easier.

Login

To enjoy Kabarwarga privileges, log in or create an account now, and it's completely free!

Follow Us